Theo memarkirkan mobil tepat di bagian depan teras rumah agar Ranti, Ghista, serta Dika bisa turun dan langsung masuk ke dalam rumah. Ghista kembali merangkul Ibunya seperti biasa dan kembali overprotektif pada calon Adiknya yang tengah dikandung oleh Ranti.
Amanda dan Vika telah menunggu kedatangannya, bersama Keluarga Wiratanto. Ghista menatap kedua wanita itu dan tersenyum seadanya.
"Riko masih di rumah sakit untuk memantau keadaan Leo dan untuk memastikan kalau Rima tidak akan melarikan diri," ujar Amanda.
"Polisi saat ini masih memeriksa mobil milik Almarhum Saga Rahaja dan mencari penyebab kecelakaan itu. Pak Gunardi yang berinisiatif melaporkan hal itu pada Polisi, kemarin," tambah Vika.
Ghista mendengarkan semuanya, namun tak terlalu antusias untuk menanggapi. Duka yang dirasakan wanita itu masih sangat melekat di hatinya. Beberapa kali ia menatap foto Saga yang masih berdiri di dekat meja. Ia masih ingat betul, bagaimana Saga yang tetap menyempatkan diri untuk meminta maaf padanya dan bahkan meminta maaf pada Ibunya. Hatinya begitu sakit, jika kembali mengingat bagaimana semua itu terjadi, kemarin.
"Apakah ada perkembangan dari kondisi Leo?" tanya Ghista.
"Sama sekali belum ada, Bu Ghista. Leo masih koma. Dokter mengatakan bahwa satu-satunya cara agar Leo selamat, adalah dengan menemukan siapa Ayahnya, agar bisa menerima donor ginjal dan menggantikan ginjalnya yang rusak akibat kecelakaan kemarin. Sayangnya, Rima tidak tahu siapa Ayah kandung Leo karena menurut keterangannya, dulu ...."
"Sudah, jangan diteruskan," pinta Ghista, pada Vika.
Vika pun segera berhenti dan tidak lagi melanjutkan penjelasannya. Ghista berupaya menahan airmatanya lagi, hatinya begitu perih saat tahu kalau Ayahnya telah ditipu oleh Rima. Penipuan yang mengakibatkan Saga dengan tega menyiksa dan mengusir Ranti serta Ghista. Semua derita itu benar-benar membekas dalam ingatan Ghista dan terasa nyata meski ia berusaha untuk lupa.
"Coba cari tahu saja tentang hasil pemeriksaan Polisi mengenai kecelakaan itu. Tolong jangan ungkit-ungkit lagi tentang siapa Leo di depan saya. Hati saya tidak akan mampu bertahan, jika harus terus-menerus mendengarnya," pinta Ghista.
Amanda pun merangkul Ghista dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Tangisan Ghista pun akhirnya pecah. Apa yang terus berusaha ditahannya selama ini akhirnya tumpah ruah bersama duka yang tengah dirasakannya. Tubuhnya bergetar hebat dan bahunya terus berguncang akibat menangis. Amanda dan Vika mengusap-usap punggungnya agar merasa nyaman, agar Ghista tak merasa sendirian.
"Luapkan saja, Bu Ghista. Luapkan saja. Menahannya terus-menerus takkan membuat semuanya baik-baik saja. Karena terkadang, memendam luka hanya akan membuat hati semakin terluka, bukan membuat hati melupakan lukanya," saran Amanda.
"Dia mulai berubah, dia mulai menyadari kesalahannya. Saya punya harapan yang besar akan hal itu dan saya tahu bahwa saya akan berhasil mengubahnya. Tapi perempuan itu kembali merenggutnya dari saya. Kebohongannya membuat Ayah saya shock, hingga akhirnya harus benar-benar pergi meninggalkan saya. Hati saya sakit, sangat sakit. Entah bagaimana caranya saya akan menyembuhkan luka yang baru ini, karena luka yang lama pun belum juga mengering," ungkap Ghista, yang masih tidak bisa menerima kenyataan.
"Sabar, Bu Ghista ... sabar. Biar Allah yang membalas semua kejahatan wanita itu. Biar Allah yang memberinya hukuman. Allah tidak tidur, Bu Ghista. Ibu hanya perlu percaya kepada Allah," saran Vika, selaligus mengingatkan Ghista agar tidak goyah.
Pukul delapan malam, Dika mengetuk pintu kamar Ghista dan membukanya lebar-lebar. Lampu yang tadi sengaja dimatikan oleh Ghista kembali dinyalakan oleh Dika. Ghista--yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela kamar di dalam kegelapan--pun menatap ke arah ambang pintu. Dika tersenyum le arahnya, sambil membawakan makan malam yang tadi tidak disentuh sama sekali oleh Ghista.
"Ayah boleh bicara sebentar, Nak?" tanya Dika.
Ghista pun menganggukan kepalanya, sambil menerima piring berisi makanan yang Dika berikan. Dika duduk di sebuah kursi yang ditariknya dari bawah meja tulis. Ghista tetap berada ditepi tempat tidurnya, sementara Dika kini menghalangi jendela yang tadi Ghista pandangi.
"Ayah juga pernah berduka, seperti yang kamu alami saat ini," ujar Dika.
Ghista mendengarkannya dan tak ingin menyela.
"Ayah tahu bagaimana rasanya kesedihan yang tengah menghampirimu. Tapi, saat itu Ayah wajib untuk berhenti bersedih. Tahukah kamu, kenapa Ayah merasa wajib untuk berhenti bersedih pada saat itu?" tanya Dika.
Ghista menggelengkan kepalanya.
"Karena pada saat itu, Ayah masih memiliki Ibu yang butuh untuk diperhatikan. Ibunya Ayah saat itu juga sudah tua, sudah sering sakit-sakitan. Beliau tentu juga bersedih, tapi beliau tidak menunjukkan kesedihan itu karena tahu bahwa anaknya butuh diperhatikan. Hal itulah yang membuat Ayah berhenti bersedih meski kesedihan itu takkan hilang dengan mudah," ungkap Dika, tentang apa yang pernah ia lalui.
Ghista kini menundukkan kepalanya, kembali berusaha untuk menyembunyikan airmata agar tak terlihat oleh siapa pun.
"Ghista, Ayah tahu kalau ikatanmu dan Almarhum Ayahmu takkan bisa terputus begitu saja, meski Almarhum Ayahmu telah bercerai dari Ibumu. Ikatan antara orangtua dan anak, tentu jauh lebih kuat dari ikatan apa pun yang ada di dunia ini. Tapi sekali lagi, hidup itu selalu ada batasnya. Ada yang akan datang, pasti ada yang akan pergi. Dan sebagai manusia yang memiliki iman, maka kita harus menerima hal itu sebagai bagian dari hidup yang kita jalani."
Ghista pun menganggukan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti dengan apa yang Dika katakan saat itu.
"Ayah mungkin hanyalah Ayah sambungmu. Tapi Ayah juga punya hati, Nak. Kalau Ayah terus-menerus melihatmu seperti ini, tentu Ayah juga tidak akan merasa tenang. Kamu bisa saja sakit karena tidak makan, kamu bisa saja mulai merasa kami tidak peduli padamu dan bahkan terburuknya adalah kamu akan mulai menjauhi kami. Ayah tidak menginginkan hal itu terjadi, Nak. Ayah ingin kamu kembali seperti yang biasanya. Ibumu merindukanmu, dia sangat takut akan kehilanganmu saat melihatmu seperti ini. Apakah kamu akan tega, membiarkan Ibumu stress seperti itu?" bujuk Dika.
"Enggak Yah, aku enggak berniat seperti itu sama sekali. Aku hanya merasa sedang butuh waktu untuk menyembuhkan luka di hatiku. Hanya saja, aku masih tidak tahu harus melakukan apa untuk menyembuhkannya. Aku minta maaf, Yah. Maaf karena telah membuat Ayah dan Ibu merasa khawatir. Maaf ...." ucap Ghista, penuh penyesalan.
"Kamu tidak perlu meminta maaf, Nak. Kamu tidak berbuat salah sama sekali. Dan kalau kamu ingin tahu bagaimana caranya menyembuhkan luka di hatimu, maka cobalah belajar untuk ikhlas. Ikhlaskan kepergian Ayahmu dan jangan terus menangisi kepergiannya. Karena meratapi yang sudah pergi, hanya akan membuatnya tidak tenang dan tersiksa di dalam kuburnya," saran Dika, mencoba untuk membuat Ghista berhenti berduka.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...