Hari itu, Ghista meminta izin pada Ibunya untuk pergi seharian dengan Indra. Alasan yang ia gunakan adalah jalan-jalan di hari Sabtu. Padahal yang sebenarnya, ia dan Indra akan mendatangi alamat rumah Dika yang baru di dapat oleh Indra dua hari yang lalu.
"Kamu mau bilang apa sama Pak Dika, kalau berhasil ketemu sama orangnya?" tanya Indra.
"Entahlah, Kak. Aku belum tahu," jawab Ghista, jujur.
Indra pun mengerenyitkan keningnya.
"Jadi, kita akan datang ke hadapan Pak Dika tanpa rencana apa pun?"
"Ya, kurang lebih begitu. Aku ini perempuan yang kurang mengerti bagaimana menjabarkan perasaan orang lain. Jadi, aku memutuskan datang ke hadapan Pak Dika tanpa rencana apa pun. Dan menurutku, akan lebih baik jika semua berjalan secara alami," jelas Ghista, agar Indra mengerti akan keputusannya.
Indra pun mengangguk-anggukan kepalanya demi membuat Ghista tetap nyaman, meski sebenarnya ia kurang setuju jika harus datang ke hadapan Dika tanpa perencanaan sama sekali. Namun, bagaimanapun juga, ia harus tetap menghargai keinginan Ghista. Ia tak mau membuat Ghista menjadi pesimis, hanya karena rasa tidak setujunya.
"Perjalanannya agak jauh, nanti kita mampir untuk makan siang dulu, ya," usul Indra.
"Boleh. Tapi kita enggak makan di restoran ya, Kak. Kita makan di mobil saja, karena aku tadi bawa bekal makan siang untuk kita berdua," tanggap Ghista, sekaligus memberi saran.
"Oh, ya? Kamu serius jadi benar-benar suka memasak, ya? Aku masih ingat betul kalau dulu saat masih kecil kamu itu paling takut pergi ke dapur, terutama saat ada orang memasak. Kamu selalu takut mendengar suara minyak goreng meletus, dan bahkan Mamaku masih ingat juga akan hal itu. Mama terus membahas rasa tidak percayanya, bahwa kamu telah bertransformasi menjadi wanita yang bisa mengurus dapur. Seakan kamu adalah sosok Wonder Woman sekarang di matanya," ujar Indra, terlihat sangat bahagia saat mengutarakan segalanya pada Ghista.
Ghista tersenyum santai, usai mendengar hal itu.
"Setelah aku dan Ibu ditendang oleh Widya Rahaja dan Saga Rahaja, aku jadi lebih sering memperhatikan Ibu dan berhenti bermain. Kami tinggal di rumah kontrakan yang berukuran sangat kecil, karena uang yang Ibu miliki hanya cukup untuk menyewa rumah kecil itu," Ghista mulai bercerita.
Indra mendengarkannya dengan seksama, tanpa ingin menyela ataupun menghentikan Ghista. Ini pertama kalinya, Ghista bersedia berbicara tanpa diminta sama sekali. Jadi Indra jelas takkan menyia-nyiakan momen tersebut.
"Saat itu aku masih berusia lima tahun, dan aku memang takut pada suara minyak goreng meletus seperti yang Kakak bilang tadi. Tapi saat kulihat bagaimana Ibu yang begitu serius membuat bermacam-macam jenis kue, baik itu kue yang dipanggang ataupun digoreng tanpa kenal lelah, hatiku pun terketuk. Aku bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan aku harus takut pada suara letusan minyak goreng itu? Sampai kapan akan kubiarkan Ibuku melakukan pekerjaannya sendirian? Kalau Ibuku saja bisa menaklukkan rasa sakit di dalam hatinya, kenapa aku harus begitu takut hanya pada suara letusan minyak goreng?"
Ghista pun tertawa, dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Indra bisa melihatnya dengan jelas, rasa sakit dan pedih itu bercampur menjadi satu dalam sorot mata Ghista.
"Sejak itu aku memutuskan untuk memberanikan diri mendekat ke dapur. Meskipun awalnya aku hanya membantu Ibu membentuk kue-kue yang akan dipanggang, ataupun membantu Ibu mengaduk adonan untuk kue yang akan digoreng. Sejak itulah aku belajar, Kak. Belajar untuk membiasakan diri dan melawan ketakutanku. Aku enggak tega melihat Ibu kelelahan setiap malam, setelah selesai bekerja. Meski mungkin yang kulakukan tidak seberapa, setidaknya Ibu tidak lelah sendirian karena ada aku yang akan selalu menemaninya."
Airmata itu akhirnya bergulir juga di wajah Ghista, setelah ia mati-matian berusaha menahannya sejak tadi. Perasaan Indra pun ikut menjadi seperih hati Ghista saat itu. Ia merasa hatinya seakan tengah diremas-remas oleh emosi yang bercampur aduk, antara rasa tak tega dan juga marah pada Keluarga Rahaja. Penyebab utama semua itu adalah ketamakan Keluarga Rahaja, yang sejak awal mungkin sudah menargetkan harta Keluarga Mahardika ketika menjodohkan Saga Rahaja dengan Ranti Mahardika.
Indra tak bisa menghilangkan kecurigaan itu dari dalam kepalanya, terlebih setelah mendengar bagaimana perjuangan Ranti untuk bertahan hidup bersama Ghista selama dua puluh tahun belakangan. Rasanya, ia ingin sekali membongkar semua kebusukan keluarga itu, dan membuat mereka porak-poranda tak bersisa.
"Maka dari itu, aku sengaja membukakan Ibu MHD Bakery, saat uang hasil menulis novel yang aku kumpulkan sudah cukup. Aku senang karena Ibu bisa menyalurkan bakatnya, agar dia juga tidak stress. Jika dia punya kegiatan, maka Ibu akan selalu bersemangat. Aku akan tetap membantunya, meskipun kini Ibu sudah punya karyawati di toko ataupun di rumah."
Ghista mengatakannya dengan penuh cinta yang begitu dalam pada Ranti. Dia menangis sambil tersenyum, seakan tengah berusaha kembali menguatkan diri. Indra pun menyodorkan kotak tisu pada Ghista, agar wanita itu bisa menghapus airmatanya.
"Kamu memang wanita yang tangguh, Ta. Aku sudah mengakui itu sejak kita bertemu di SMP, meski saat itu aku belum tahu kalau kamu adalah Ghista yang selama ini kami cari. Kamu sosok yang kuat dan tidak manja, itulah kenapa dulu aku selalu mendorongmu untuk melakukan hal lebih dari yang kamu bisa. Karena aku tahu, kamu memang bisa dan mampu untuk menangani semua itu," ujar Indra, mengenang masa SMP mereka.
"Ya, aku sadar akan hal itu. Terima kasih. Karena berkat dorongan yang Kakak lakukan terhadapku, aku jadi tidak takut untuk mengatasi semua hal secara bersamaan. Aku selalu ingat apa yang Kak Indra pesankan padaku waktu itu. Bahwa jika kita ingin meraih sesuatu lebih dari yang ada di dalam pikiran kita, maka kita harus memberanikan diri untuk melangkah melewati batas kemampuan kita sendiri. Aku benar-benar masih mengingatnya, Kak," ungkap Ghista, sepenuh hati.
Indra tersenyum bahagia, karena Ghista ternyata masih mengingat kata-katanya hari itu, sebelum meninggalkan SMP lebih dulu. Saat Indra kembali ditahun depan--dihari kelulusan Ghista--wanita itu telah pergi lebih awal dan mereka benar-benar tak pernah bertemu lagi sejak saat itu. Ia pikir Ghista telah melupakannya, namun ternyata tidak demikian.
"Aku mencantumkan apa yang Kakak katakan padaku, pada novel Bentang Luka Dunia Gracie. Aku menuliskannya sebagai kata-kata dari sosok Kakak kelas yang menjadi idola bagi Gracie, saat menjalani masa SMPnya," tambah Ghista.
Kedua mata Indra pun terbelalak seketika, usai mendengar apa yang Ghista katakan.
"Apa? Kamu serius? Jadi benar, ya? Gracie itu kamu, dan Raksa itu ... aku?" tanya Indra, ragu-ragu.
"Hm ... iya ... tokoh Raksa itu adalah Kakak. Indra Laksana, yang kusingkat menjadi, Raksa," jawab Ghista dengan santai, lalu mulai tertidur.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...