Indra menghentikan mobilnya di tepi perkebunan teh yang ada di sepanjang jalur kawasan Puncak, Bogor. Ghista terbangun saat sadar kalau mobil sudah berhenti. Indra terlihat tengah membuka sedikit jendela, dan memejamkan mata untuk melepaskan penat setelah menyetir hampir setengah hari penuh.
"Kakak mau tidur dulu atau mau makan siang dulu?" tanya Ghista.
"Aku tidur dulu sebentar ya, Ta. Agak capek rasanya menyetir sejauh ini," jawab Indra, lirih.
Ghista pun segera memberikan jaketnya untuk menyelimuti tubuh Indra, agar tidak masuk angin. Karena jendela yang terbuka, mulai mengembuskan angin yang cukup dingin meski waktu masih menunjukkan pukul setengah satu. Ghista membuka laptopnya, lalu mulai melanjutkan tulisannya yang belum selesai.
~Gracie duduk dengan tenang di samping Raksa yang tengah tertidur, akibat lelah karena terus menyetir sejak pagi. Angin dingin yang berhembus melalui jendela, membuat Gracie segera memberikan jaketnya untuk menyelimuti Raksa. Gracie sendiri memilih untuk membuka laptopnya dan melanjutkan tulisan yang belum ia selesaikan.
Sesekali, ia menatap ke arah Raksa yang masih tertidur. Pikirannya begitu tak tenang, karena Raksa belum makan siang. Sejenak, Gracie menimbang-nimbang, apakah ia harus membangunkan Raksa dan memintanya untuk segera makan siang? Atau membiarkannya tetap tertidur, lalu menatapnya dalam hening yang membangkitkan perasaan lama, yang terus berusaha dikuburnya dalam-dalam akibat krisis kepercayaan terhadap pria?~
Ghista kembali menutup laptopnya, usai menyimpan apa yang sudah ditulisnya barusan. Dilihatnya Indra sekali lagi yang tengah terlelap dalam tidurnya, dan membuatnya kembali mengingat sakit hati pertama di dalam hidupnya.
"Wah, Cucuku yang cantik datang!" seru Wahyu, heboh saat melihat Ghista dengan gaun mungil berwarna biru muda.
Ghista hanya tersenyum saja, dan tidak mengatakan apa pun kecuali mencium tangan Wahyu. Ajeng berlari keluar dari dapur, begitu pula dengan Dimas yang awalnya sedang bermain dengan Indra. Mereka semua menyambut kedatangan Keluarga Mahardika, terutama kedatangan Ghista.
Wahyu menggendong Ghista, setelah Ghista mencium tangan Ajeng dan Dimas. Indra menatap ke arahnya, namun tidak tersenyum sama sekali meski Ghista tersenyum ke arahnya. Wahyu mengambil sebuah kotak yang telah dibungkus oleh kertas kado, lalu menyerahkannya pada Ghista.
"Ini, Kakek ada hadiah untuk Ghista. Semoga Ghista suka, ya," ujar Wahyu, seraya mencium kening Ghista dengan lembut.
"Shuka, is-ta shuka," jawab Ghista saat itu, padahal belum melihat isi kado tersebut.
Hal itu tentu membuat Wahyu, Ajeng, dan Dimas tertawa bahagia setelah mendengar jawaban dari Ghista.
"Duh, gemasnya keponakan Tante," ujar Ajeng sambil mencubit kedua pipi Ghista.
Ketika Wahyu menurunkan Ghista dari gendongannya, Ghista segera mendekat pada Ranti untuk meminta tolong dibukakan kadonya. Ranti pun membukakan kado tersebut, dan mengeluarkan isinya. Kedua mata Ghista terlihat berbinar bahagia, saat melihat bola kristal berisi air dan juga butiran salju bersama seorang tuan putri di dalamnya. Berulang-ulang kali, Ghista membolak-balik bola ktistal itu, agar salju di dalamnya berhamburan dan menjatuhi sekeliling si tuan putri.
Indra tampak cemburu, namun Ghista tak mengerti apa itu kecemburuan. Ghista dengan tawa bahagianya mendekat pada Indra, dan hendak memperlihatkan bahwa dunia si tuan putri begitu indah di dalam bola kristal tersebut. Hanya saja, tanpa Ghista duga, Indra justru mengambil bola kristal itu dari tangan Ghista dan membantingnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
Hal itu tentu membuat semua orang berteriak karena kaget, dan segera meraih Ghista agar tak menginjak pecahan beling dari bola kristal yang sudah pecah. Indra melakukan itu dan berharap Ghista akan menangis karena kadonya telah rusak. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Ghista tidak menangis sama sekali dan tetap memegangi si tuan putri yang tersisa dari bola kristal tadi. Indra jelas dimarahi habis-habisan oleh Wahyu, Dimas, dan bahkan oleh Ajeng atas perbuatannya yang hampir membuat Ghista celaka.
Saat akan pulang, Ghista mendekat pada Indra dan meletakkan si tuan putri ke tangan bocah laki-laki itu.
"Maaf, Kakak. Is-ta ndak mau ambil mainan Kakak. Maaf," ujar Ghista, yang kemudian pergi begitu saja dari hadapan Indra.
Indra tidak tahu, bahwa itu adalah terakhir kalinya ia bisa bertemu Ghista yang bisa tersenyum lepas dan bahagia. Indra tidak tahu, kalau dia adalah pria pertama yang sudah berhasil melukai hati polos milik Ghista.
"Ta? Ghista? Ghista kamu baik-baik saja, 'kan?" tegur Indra, sambil mengguncang-guncang bahu Ghista beberapa kali.
Ghista pun kembali tersadar dari lamunannya tentang Indra kecil yang membencinya. Kenangan itu melekat erat dalam pikirannya, hingga terkadang tak ingin mempercayai bahwa Indra yang tengah berada di sampingnya saat ini adalah Indra yang sama dari masa lalu. Kenangan itulah yang membuat Ghista tak mau memperkenalkan diri sebagai cucu dari Rama Mahardika, saat bertemu Indra di SMP Taruna Jaya. Entah mengapa, saat itu ia begitu takut akan menerima kebencian yang sama seperti yang ia terima saat masih kecil.
"Aku enggak apa-apa, Kak. Aku baik-baik saja," jawab Ghista, begitu tenang.
Diraihnya paper bag yang ada di jok bagian belakang mobil, lalu segera membukakan kotak makanan yang sudah ia siapkan sejak subuh tadi ke hadapan Indra. Pria itu menerimanya, dan segera menyantap makanan itu dengan begitu lahap. Ghista memperhatikannya dalam diam, dan memilih untuk tidak ikut makan karena sedang tidak berselera. Indra sadar, kalau dirinya tengah diperhatikan oleh Ghista, hingga membuatnya menoleh dan menatap tepat pada netra bening milik wanita itu.
"Kenapa kamu melihatku terus? Aku ganteng, ya?" goda Indra, sambil menahan tawanya sendiri.
Ghista hanya tersenyum kecil dan tetap menatap ke arah Indra.
"Aku ingin tahu Kak, apakah selama ini Kakak tidak pernah merasa marah saat Almarhum Kakek Wahyu, Tante Ajeng, dan juga Om Dimas mencari-cari aku dan Ibu? Bukankah, seharusnya Kakak merasa cemburu akan hal itu?" tanya Ghista, sangat ingin tahu.
Pertanyaan itu membuat Indra kehilangan senyumannya. Tatap mata Indra berubah menjadi berkabut dalam sekejap. Ia tak menyangka, kalau Ghista akan mengajukan pertanyaan semacam itu padanya. Ia tak menyangka, bahwa dirinya harus menjawab pertanyaan semacam itu dari Ghista.
"Ta, apa kamu tahu ... waktu kamu pulang terakhir kali dari rumahku hari itu setelah memberikan si tuan putri ke tanganku, aku berlari dari rumah dan mengejar mobil milik Kakekmu untuk meminta maaf karena telah membuatmu terluka?" tanya Indra.
Ghista tak berekspresi dan hanya menatapnya dengan kedua mata berkabut.
"Ya, aku tahu bahwa aku telah melukai hatimu saat itu, meski kamu tidak menangis sama sekali. Aku tahu bahwa aku sudah sangat keterlaluan, hanya karena iri melihatmu diberikan kado oleh Kakekku. Sejak itu, aku selalu menunggu mobil milik Kakekmu di gerbang rumah, pada hari Minggu pagi sampai sore. Aku berharap kamu akan datang lagi dan aku punya kesempatan untuk meminta maaf. Tapi sayangnya, tujuh bulan berlalu dan kamu tidak pernah datang lagi. Yang datang ke rumahku justru kabar duka tentang meninggalnya Kakek dan Nenekmu," ungkap Indra, dengan suaranya yang bergetar hebat tak terkendali.
Gerimis mulai berjatuhan ke bumi, dan dingin mulai merayapi hati para insan yang terluka.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...