Ranti membuka buku catatannya yang masih ia simpan sejak remaja dari dalam lemari. Semua tulisan tangannya tentang kenangan dalam menjalani masa remaja selalu indah untuk dikenang. Tentang bagaimana hidupnya yang dulu dipenuhi kasih sayang dari kedua orangtua. Tentang bagaimana ia menghabiskan waktu dengan teman-teman yang sering datang ke rumah. Juga tentang bagaimana kisah cintanya dengan Sang Pangeran baik hati di sekolahnya. Semua itu mampu membuat Ranti tersenyum lagi, setelah bertahun-tahun berkubang dalam lara tak berujung.
Digoresnya ujung pena pada lembaran kertas yang masih kosong, di dalam buku tersebut. Mengungkapkan seluruh isi hati yang tak mungkin ia ungkap secara nyata, terlebih jika itu di hadapan Ghista. Ia takut Ghista kecewa, karena dirinya masih mencintai Sang Pangeran baik hati yang menjadi cinta pertamanya. Ia takut Ghista akan memberi penilaian buruk tentangnya, lalu pergi meninggalkannya sendiri.
|| Lagi-lagi, aku merasakan rindu yang hebat saat teringat tentangmu. Lagi-lagi, aku merasakan debaran penuh cinta di dalam dada ini saat mengingat kenangan tentang kisah cinta kita. Lagi-lagi, aku begitu tidak tahu diri. Aku telah meninggalkanmu hanya demi memenuhi impian kosong kedua orangtuaku. Aku telah menyakitimu, dengan mengirimkan undangan pernikahanku secara tiba-tiba. Dan aku telah membuatmu terluka, dengan membuatmu menyaksikan pernikahanku dengan pria lain.
Betapa tidak tahu dirinya aku, setelah semua luka yang kuberikan padamu, lalu dengan berani aku menyatakan masih mencintaimu. Maafkan aku, Dika. Maaf karena telah membuatmu kecewa atas banyak hal. Maaf karena aku telah menghancurkan semua impian yang telah kita bangun. Aku menjalani hidup dengan penuh keterpaksaan, menikah pun karena terpaksa. Yang membuatku tetap kuat setelah mereka mengusirku adalah Ghista, Putriku. Andai aku tidak memilikinya, maka entah apa yang akan terjadi padaku. Aku mungkin akan kehilangan akal sehat dan lebih memilih mati bersama kedua orangtuaku.
Hanya Allah masih begitu baik padaku. Ada Ghista di sisiku, yang membuatku kuat dan bertahan selama dua puluh tahun terakhir. Juga kenangan tentangmu, Dika. Kenangan itu membuatku bahagia di sela-sela penderitaan yang pernah ada di dalam hidupku. Sekali lagi, aku minta maaf atas semua kesalahanku padamu, Dika. Maafkan aku, yang telah melukai perasaanmu. 23 Juni 2021. ||
Ranti menyeka airmatanya, kemudian menutup kembali buku itu dan menyimpannya ke dalam lemari. Ghista--yang sejak tadi berdiri di ambang pintu--pun segera membuka lebar pintu kamar Ibunya.
"Ibu, sudah bangun?" tanyanya, berpura-pura tidak tahu.
Ranti pun menoleh lalu tersenyum ke arah putrinya yang sedang berjalan mendekat.
"Sudah, Nak. Baru saja Ibu selesai shalat subuh. Kamu sudah shalat?" Ranti bertanya balik.
"Aku lagi enggak bisa shalat, Bu. Ini mau balik lagi baring-baring sebentar. Pinggangku agak sakit," jawab Ghista, seraya berbaring di atas tempat tidur Ibunya.
Ranti pun segera duduk di tepi tempat tidur dan mengusap-usap pinggang Ghista dengan lembut.
"Mau Ibu buatkan, jamu?" tawar Ranti.
"Enggak usah, Bu. Nanti kerjaan Ibu enggak akan selesai kalau harus membuat jamu untukku," tolak Ghista.
"'Kan Ibu sudah punya dua karyawati, sekarang. Itu mereka sudah siap-siap duluan mau buat kue. Biar Ibu buatkan kamu jamu, ya," bujuk Ranti.
Ghista pun akhirnya mengangguk setuju, sambil menahan rasa sakit pada pinggangnya. Ranti menyelimuti Ghista, sebelum akhirnya keluar dari kamar itu dan menuju ke lantai bawah. Ghista segera menyibak selimut itu kembali, lalu turun dari tempat tidur meski pinggangnya sakit. Dibukanya lemari milik Ibunya dan dikeluarkannya buku agenda yang tadi disimpan di sana. Lembaran yang tadi diisi tulisan oleh Ranti berada tepat di tengah-tengah. Ghista membacanya sebentar, lalu memotret lembaran itu menggunakan kamera ponselnya. Setelah selesai, ia segera menyimpan kembali buku agenda itu ke dalam lemari.
Ghista kembali berbaring di tempat tidur dan berselimut, agar Ranti tidak curiga. Hasil foto dari lembaran agenda tadi ia kirimkan pada Indra.
Indra yang baru saja akan keluar dari kamarnya pun, segera membuka ponselnya dan melihat foto yang Ghista kirimkan padanya.
GHISTA<3
Ibuku menyesali semuanya sampai detik ini. Aku ingin sekali menemukan Pak Dika dan mempertemukan mereka.INDRA
Kita akan menemukannya. Aku juga akan ikut mencari. Nanti kutanya ke teman-teman lamaku, siapa tahu mereka ada yang tahu tentang keberadaan Pak Dika.GHISTA<3
Terima kasih, Kak. Maaf karena aku membuat Kakak repot mengenai hal ini.INDRA
It's ok, Princess. Anggaplah hal ini sebagai permintaan maafku karena telah memecahkan bola kristalmu saat kita masih kecil. Aku sangat menyesali hal itu, dan ingin berusaha memperbaikinya. Meskipun kamu bilang, karena hal yang sudah rusak, belum tentu bisa diperbaiki meski kata maaf telah terucap, aku tetap optimis untuk memperbaiki keadaan di antara kita. Aku akan berusaha. Aku meminta kesempatan dari kamu, dan aku harap kamu mau memberikan aku kesempatan itu.Ghista membaca isi pesan itu, namun entah mengapa jemarinya begitu enggan untuk membalasnya. Di seberang sana, Indra tahu dengan pasti bahwa Ghista takkan pernah membalas pesannya yang baru saja ia kirim. Ia kenal betul dengan Ghista, dan memberi kesempatan kedua pada orang lain adalah hal yang tak pernah dilakukannya.
Setengah jam kemudian, Ghista pun turun dari lantai atas bertepatan dengan Ranti yang baru saja akan membawakan jamu untuknya.
"Loh, kirain kamu masih mau istirahat. Baru saja Ibu mau bawakan jamunya ke atas," ujar Ranti.
"Jangan, Bu. Nanti Ibu capek kalau bolak-balik ke atas," balas Ghista, seraya meminum jamu buatan Ibunya.
"Pelan-pelan. Nanti kamu tersedak, loh," Ranti mengingatkan.
Ghista hanya bisa mengacungkan ibujarinya ke arah Ranti, karena saat itu ia sedang minum. Ranti pun hanya bisa terkekeh pelan dengan tingkah putrinya yang tidak pernah berubah sejak kecil. Ghista adalah satu-satunya orang yang tidak suka jika Ranti kelelahan karena harus bolak-balik melakukan sesuatu.
Dulu, saat masih berusia empat setengah tahun, Ghista pernah marah pada Widya Rahaja--Neneknya dari pihak Ayah--karena merasa tidak tega saat melihat Ranti yang terus saja bolak-balik mengangkat belanjaan yang berat dari halaman depan. Hal itulah yang membuat Widya tak lagi suka pada Ghista, dan bahkan tak ingin menganggapnya sebagai cucu meski Ghista adalah darah daging putranya sendiri.
Sayangnya, hal itu juga berimbas pada Ghista saat Widya dan Saga--mantan suami Ranti--mengusirnya. Mereka dengan tega mendorong tubuh mungil Ghista hingga tersungkur ke lantai teras, dan melemparinya dengan tas berisi pakaian yang sudah mereka kemas secara paksa. Ranti masih mengingat hal itu dengan jelas di dalam memorinya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sosok Ghista yang begitu tangguh, dan rela merentangkan kedua tangannya demi melindungi Ranti agar tak terkena pukulan dari Saga Rahaja.
"Itulah luka terbesar yang masih menganga di dalam hatiku. Hatiku terluka, karena dia begitu tega bahkan terhadap darah dagingnya sendiri," batin Ranti, perih.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romansa[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...