Ghista menatap ke arah Vika dengan serius.
"Gaun pengantinnya sudah siap 'kan, Vi?" tanya Ghista, yang masih sibuk mendekorasi dinding.
"Gaun pengantin untuk Nyonya Ranti sudah siap, Bu Ghista. Saat ini Pak Dika tengah mencoba tuksedo yang sudah dipesan tiga hari yang lalu," jawab Vika, sekaligus memberikan informasi.
"Oke, bagus. Pastikan tuksedonya benar-benar pas untuk Pak Dika ya, Vi," pinta Ghista.
"Baik, Bu Ghista."
Vika pun segera berlalu dari hadapan Ghista untuk menghubungi Theo terkait dengan apa yang Ghista pinta, tentang tuksedo milik Dika. Ranti keluar menuju ruang tamu dan melihat Ghista masih saja repot dengan dekorasi dinding, yang dikerjakannya bersama para karyawan dan karyawati.
"Kamu kapan mau istirahatnya, Nak? Ayo dong, makan siang dulu. Jangan kerja terus," pinta Ranti.
"Ibu yang jangan kerja terus. Besok hari pernikahan Ibu, jadi Ibu harus istirahat dan jangan mikirin aku," tanggap Ghista, yang segera turun dari tangga yang tengah dinaikinya.
Ghista merangkul Ranti dan membawanya berjalan menuju ke kamar di lantai atas.
"Bi Asti, tolong awasi Ibu. Jangan biarkan Ibu bekerja terus-menerus," pinta Ghista, setelah tiba di kamar milik Ranti yang sudah selesai dihias dengan sangat cantik menjadi kamar pengantin.
"Duh, seharusnya Ibu yang repot mengurus hari pernikahanmu di masa tua begini. Bukan malah kamu yang repot mengurusi hari pernikahan Ibu," gerutu Ranti.
Ajeng datang mendekat, sambil membawa high hells yang akan Ranti coba.
"Sudah, Mbak. Ikuti saja kemauan Ghista. Ini 'kan juga untuk masa depan Mbak Ranti. Aku dan Mas Dimas mendukung peraturan Ghista sepenuhnya," ujar Ajeng, sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Ghista.
Ghista pun tertawa pelan karena Ajeng membelanya, sementara Ranti hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan Ghista dan Ajeng yang sebelas-dua belas. Ghista akhirnya kembali turun ke lantai bawah, sementara Ajeng tetap menemani Ranti yang sedang mencoba high heels.
"Bagaimana perasaanmu, Mbak? Apakah sekarang semuanya sudah jauh lebih baik?" tanya Ajeng, penuh kelembutan.
Ranti tersenyum ke arah Ajeng, lalu mendekat untuk duduk di sisinya.
"Alhamdulillah, Dek. Semua jauh lebih baik sekarang, setelah Ghista mempertemukanku kembali dengan Mas Dika. Hatiku rasanya begitu bahagia dan hidupku terasa begitu lengkap, Dek. Hanya saja terkadang aku masih saja bertanya-tanya, bagaimana bisa Ghista melakukan semua hal untukku? Dia itu anak gadisku satu-satunya dan dia justru tidak keberatan kalau aku menikah lagi di usiaku yang sudah tidak muda ini," jawab Ranti.
Ajeng merangkulnya dengan lembut.
"Seharusnya dia menentang jika aku mempunyai keinginan untuk menikah lagi, Dek. Tapi ini, justru dialah yang mendorongku dan mencarikan jodoh untukku. Seharusnya dia merasa cemburu, karena aku jelas akan membagi cintaku untuknya dan untuk Mas Dika. Tapi dia tidak merasa begitu, Dek. Ghista tidak cemburu dan malah memintaku untuk mencintai Mas Dika sampai akhir hayatku nanti. Hati macam apa yang Putriku miliki, Dek? Mengapa hatinya begitu besar, bersih, dan tidak dipenuhi dengan hal-hal jahat?" tanya Ranti, dengan kedua mata yang mulai kembali basah.
Disekanya airmata Ranti oleh jemari Ajeng dengan penuh rasa sayang. Ia tersenyum sambil mengusap rambut panjang Ranti yang begitu indah.
"Itu karena Ghista teramat sangat menyayangimu, Mbak. Ghista tidak mau kamu terus merasakan penderitaan di sepanjang hidupmu. Bagi Ghista, bahagiamu itu nomor satu dan bahkan bahagianya sendiri saja tak pernah dia pikirkan. Kamu adalah orang paling istimewa untuk Ghista, sehingga membuatnya mampu melakukan apa pun untuk memberimu kebahagiaan. Hatinya besar, bersih, dan tidak ada hal-hal jahat di dalamnya, karena dia adalah Putrimu, darah dagingmu, yang tentu saja mewarisi sifat-sifat baikmu selama ini," jawab Ajeng, atas semua pertanyaan yang Ranti ajukan.
Ranti memikirkan jawaban itu. Ia merasa kalau apa yang Ajeng katakan tentang Ghista adalah hal yang benar.
"Mbak Ranti tidak perlu khawatir tentang Ghista. Dia sudah dewasa dan sudah bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Seperti yang Ghista inginkan, cintailah Mas Dika dengan sepenuh hati Mbak Ranti sampai akhir hayat nanti. Urusan Ghista serahkan saja padaku dan juga Mas Dimas. Kami akan menuntunnya dengan baik. Karena jujur saja, kami berniat ingin mengambil Ghista sebagai menantu dikemudian hari, ketika waktunya sudah tepat," tutur Ajeng, tanpa ada yang disembunyikan dari Ranti.
Ranti sempat menggeleng-gelengkan kepalanya, karena takut Indra akan menolak jika akan terjadi perjodohan dengan Ghista. Namun Ajeng segera menghentikannya dengan senyuman paling bahagia yang pernah Ranti lihat di seumur hidupnya.
"Cah Bagusku itu, sudah naksir sama Ghista sejak masih SMP. Hanya saja karena bodoh dan culun, makanya dia masih juga tidak berani mengutarakan perasaannya pada Ghista. Terlebih, saat dia tahu kalau Ghista yang disukainya adalah Ghista yang pernah ia pecahkan bola kristalnya saat masih kecil. Saat ini, Indra ataupun Ghista masih mencoba untuk saling terbuka dengan perasaan mereka masing-masing. Kita sebagai orangtua, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk mereka," jelas Ajeng.
Risau di hati Ranti pun kini berganti menjadi perasaan lega yang begitu luar biasa, usai mendengar penjelasan dari Ajeng mengenai Indra dan Ghista. Ia kembali tersenyum bahagia, dan tak lagi takut mendengar kata perjodohan karena Ghista dan Indra sudah sama-sama saling tahu tentang diri mereka satu sama lain.
Indra yang sejak tadi berdiri di luar tembok kamar itu hanya bisa tersenyum-senyum sendiri, usai mendengar apa yang dibicarakan oleh Ibunya terhadap Ibunya Ghista. Hatinya mendadak berbunga-bunga, saat tahu kalau Ayah dan Ibunya akan merestui jika ia akhirnya memilih Ghista suatu hari nanti.
"Sekarang, hanya tinggal bagaimana kamu dan hatimu. Apakah kamu dan hatimu, bisa menerima kehadiranku?" batin Indra, bertanya-tanya tentang perasaan Ghista.
Vika kembali menemui Ghista yang kini tengah mempersiapkan kursi-kursi di halaman samping, depan, dan belakang rumah, agar bisa ditempati oleh para tamu esok hari.
"Bu Ghista, Theo bilang pada saya kalau tuksedo untuk Pak Dika sudah sangat pas dan tidak ada yang perlu diubah lagi," lapor Vika.
"Alhamdulillah. Kalau begitu bilang pada Theo untuk segera mengantar calon Ayah saya pulang ya, Vi. Lalu jangan lupa juga telepon lagi jasa katering yang sudah dipesan. Ingatkan mereka kalau semua makanan harus sudah ada di sini pagi-pagi sekali," pinta Ghista.
"Baik, Bu Ghista. Saya akan hubungi katering, lalu menghubungi Theo untuk segera mengantar Pak Dika pulang," balas Vika.
"Oh ya, satu lagi," ujar Ghista.
"Apa itu, Bu Ghista?"
Ghista tersenyum ke arah Vika.
"Mulai sekarang tolong jangan panggil Beliau Pak Dika lagi, ya. Panggil dia Tuan Dika, karena Beliau akan menjadi Suami Ibu saya, sekaligus Ayah sambung saya," pinta Ghista, dengan tulus.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...