Ghista berkacak pinggang di samping Indra yang bermalas-malasan sejak tadi di atas permadani. Indra menatap Ghista yang tengah berdiri, sambil tersenyum-senyum bahagia.
"Kak Indra, ayo cepat bangun! Cobain dulu jas yang mau dipakai besok," paksa Ghista.
"Enggak ah, nanti saja cobanya. Sini, kamu duduk temani aku ngobrol. Bosan dari tadi kerja terus dan enggak ada yang ajak aku ngobrol," balas Indra, setengah merajuk.
Ghista pun memutar kedua bola matanya dengan sebal. Ia mulai kesal sendiri, karena sejak tadi Indra susah sekali diajak kerjasama. Pria itu dengan sengaja mengulur-ulur waktu milik Ghista, agar bisa bermain-main.
"Duh, Kak Indra. Ayo dong. Energiku hampir habis nih, cuma gara-gara bujuk Kakak buat cobain jas," pinta Ghista, dengan wajah memelas.
"Enggak mau, Is-ta. Kakak maunya diajak ngobrol, bukan diajak cobain jas," balas Indra, sambil menirukan cara bicara Ghista saat masih kecil, dulu.
"Tapi Kak, besok kita mau jadi pendamping pengantin. Masa sih, Kakak tega enggak mau coba jas untuk pernikahan Ibuku? Ayolah ... demi aku."
"'Kan cuma untuk jadi pendamping pengantin, Ta. Bukan aku dan kamu yang mau jadi pengantinnya," Indra tetap menolak sambil tertawa-tawa, karena Ghista kini berupaya menarik-narik kedua tangannya.
"Kak Indra, ayolah ... kita coba jasnya sambil ngobrol deh. Gimana?" tawar Ghista.
"Tapi janji, habis cobain jas kita benar-benar ngobrol berdua di sini," pinta Indra.
"Oke, deh," jawab Ghista dengan cepat, agar Indra tidak berubah pikiran lagi.
Indra pun segera bangkit dari permadani dan berdiri dengan tampilan kusut namun tetap berkharisma di mata Ghista. Ghista berusaha menghadapinya sewajar mungkin, karena takut jika sampai ia melewati batas. Saat ini keadaan sudah mulai membaik dan Ghista hanya perlu mempertahankan agar tak lagi kehilangan apa pun, termasuk Indra. Ia tak boleh melewati batas, meski hatinya pernah berharap lebih.
Baginya, Indra sudah terlalu baik karena selalu ada untuknya dan mau berjuang bersamanya. Rasanya, hal itu sudah lebih dari cukup untuk Ghista dan tak perlu ada yang lewat dari batas. Terlebih, Indra adalah cucu dari sahabat baik Almarhum Eyang Kakung dan Almarhumah Eyang Surinya, di mana Ayah dan Ibunya begitu menyayangi Ghista seperti anak mereka sendiri. Hal itu membuat Ghista tak ingin berharap lebih dari sekedar yang sudah ada.
"Tadi janjinya mau ngajak aku ngobrol sambil mencoba jas. Kok sekarang kamu malah diam saja?" tagih Indra.
Ghista pun tersenyum singkat, lalu kembali dari apa yang sedang ia pikirkan tentang Indra.
"Maaf, aku terlalu fokus memasangkan jas pada tubuh Kakak. Memangnya Kak Indra mau ngobrol tentang apa?" tanya Ghista.
"Tentang kamu, tentang aku, tentang kita," jawab Indra.
"Tentang aku? Aku rasa Kakak sudah tahu banyak tentang hidupku, apa lagi yang Kakak ingin tahu?"
Ghista mengukur bagian lengan jas yang sedang Indra kenakan.
"Aku mau tahu, pria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi pendampingmu, kelak," ujar Indra.
Hal itu membuat Ghista langsung berhenti dari kegiatan mengukurnya. Ia menatap Indra sesantai mungkin, untuk mencegah pria itu tahu tentang perasaannya.
"Aku ingin menikahi pria yang baik," jawab Ghista.
"Aku pria yang baik. Aku yakin kamu tahu akan hal itu."
"Aku ingin menikahi pria yang tidak akan pernah meninggalkanku, meski aku tidak lagi memiliki apa pun."
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu tahu betul kalau aku akan menetap di sisimu meski kamu tak punya apa pun."
"Aku ingin menikahi pria yang tidak akan mengungkit masa laluku yang kelam."
"Aku jelas tidak akan mengungkitnya."
"Dan aku hanya akan menikahi pria yang sama sekali tidak pernah menyakiti hatiku, meski hanya seujung kuku!" tegas Ghista, pada syaratnya yang terakhir.
Syarat itu tentu membuat Indra terdiam di tempatnya dan tak lagi tersenyum bahagia seperti tadi. Ghista menatapnya dengan tenang, lalu tersenyum sambil menyentuh jas yang Indra pakai tepat di bagian dada.
"Kak Indra tentu tidak bisa memenuhi syarat yang terakhir itu, bukan? Sudah kubilang, hal yang sudah rusak belum tentu bisa diperbaiki meski kata maaf telah terucap. Hatiku ini memang sangat rapuh dan ketika terluka tidak akan mudah juga untuk sembuh," ujar Ghista, sambil menahan perasaannya yang sebenarnya siap untuk meledak.
"Jadi meski apa pun usaha yang kulakukan untuk memperbaiki, kamu tetap tidak akan mengizinkan aku untuk merengkuh hatimu?" tanya Indra, yang masih berharap akan ada kesempatan dari Ghista.
"Maaf, Kak Indra. Andai saja waktu bisa diputar dan hatiku tidak perlu merasakan sakit untuk pertama kalinya karena apa yang Kak Indra lakukan, mungkin kesempatan itu akan ada. Sayangnya, waktu adalah hal yang paling tidak bisa kita ganggu gugat di dalam hidup ini," jawab Ghista, menutup semua jalan agar Indra berhenti mencoba.
Ghista masih menatap Indra yang tak juga bergeming dari tempatnya. Pria itu tiba-tiba tersenyum, lalu menangkupkan kedua tangannya pada kedua pipi Ghista yang lembut.
"Hm, enggak apa-apa. Aku ikhlas kok, meski enggak bisa memilikimu. Tapi janji satu hal sama aku ya, Ta. Kalau pada akhirnya kamu capek, kalau akhirnya kamu penat dengan semua hal yang kamu jalani, dan kalau kamu enggak bisa menemukan tempat yang tepat untuk berteduh ... tolong datang padaku. Kapanpun itu, aku akan selalu siap untuk menyambutmu," pinta Indra, dengan sekuat tenaga yang ia miliki untuk bertahan dari rasa sakit yang tengah mendera hatinya.
Ghista tak menjawab, ia hanya tersenyum dan membukakan kembali jas yang tadi dicoba oleh Indra.
"Sudah pas. Besok tinggal Kakak pakai saja dan berjalan bersamaku untuk mengiringi pengantin menuju pelaminan."
"Iya, besok pagi aku akan berjalan bersamamu di belakang pengantin. Meski aku tidak tahu, kapan aku akan berkesempatan untuk berjalan di sampingmu, menuju ke pelaminan itu sebagai sepasang pengantin," balas Indra, dengan penuh kelembutan.
Lagi-lagi, Ghista tak menanggapinya dan malah pergi meninggalkannya sendirian. Ranti masih saja tak bisa berhenti menangisi keputusan putrinya. Ia begitu menyesal karena telah memberikan luka yang teramat dalam pada putrinya sendiri, hanya karena pernah menikahi orang yang salah.
Sekarang, Ghista-lah yang harus menanggung luka itu. Luka yang akhirnya menyebabkan ketakutan untuk menerima cinta dari seorang pria. Luka yang akhirnya membuat dia enggan untuk menjalin ikatan pernikahan. Ranti begitu menyesalinya dan ingin sekali memutar waktu jika saja bisa.
"Dan kini aku akan membuka lembaran hidup yang baru bersama Mas Dika, sementara Putriku tetap tenggelam dalam rasa sakit yang takkan berakhir. Lalu bagaimana caraku menghadapinya nanti, Ya Allah? Tidakkah Engkau akan menanyakan padaku, tentang apa saja upayaku untuk menyembuhkan luka di hatinya? Dan jawaban seperti apa yang harus kuberikan pada-Mu tentang hal itu?" batin Ranti, yang kembali merasa risau.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...