14 | MENUMPAHKAN RASA SAKIT

126 18 0
                                    

Mobil itu kembali melaju pelan di tengah hujan yang tidak terlalu deras. Kebisuan yang terjadi di antara Ghista dan Indra tak juga mencair, sejak Indra memberikan jawaban atas pertanyaan yang Ghista ajukan. Kedua insan itu sedang berkelana dengan pikiran mereka masing-masing. Memikirkan pertanyaan yang diajukan, memikirkan jawaban yang diberikan. Tak satu pun yang memikirkan tindakan tepat untuk memecah kesunyian yang sedang terjadi.

Drrrttt... drrrttt... drrrttt!!!

Ponsel Ghista bergetar di dalam jaketnya yang telah ia pakai kembali, setelah Indra bangun tidur tadi. Wanita itu segera membuka ponselnya, lalu mengangkat panggilan video dari Ibunya.

"Halo, Bu. Assalamu'alaikum," sapa Ghista, berusaha terlihat ceria di depan Ranti.

"Wa'alaikumsalam, Putri Ibu sudah di mana sekarang? Sepertinya kamu sedang senang, ya?" tebak Ranti.

"Iya, Bu. Aku dan Kak Indra baru saja selesai beristirahat di pinggir kebun teh, Puncak. Sekarang kami sedang melanjutkan perjalanan menuju, Lembang," jawab Ghista, tanpa kebohongan.

Meski begitu, Ranti tahu kalau ada yang sedang disembunyikan oleh Ghista saat itu. Batinnya sebagai seorang Ibu, tahu betul bahwa ada yang tengah terjadi pada putrinya dan juga Indra. Namun, ia tetap berusaha tersenyum, karena tak ingin Ghista khawatir terhadap keadaannya di rumah.

"Baiklah. Kalau begitu tetap hati-hati di jalan ya, Nak. Dan satu lagi, jika kamu memang sedang menghadapi sesuatu, sebaiknya kamu menghadapi hal itu dengan kepala yang dingin. Emosi tidak akan pernah menyelesaikan apa pun, malah akan semakin memperburuk keadaan. Semoga kamu mengerti apa yang Ibu maksud. Assalamu'alaikum," pamit Ranti.

"Wa--wa'alaikumsalam, Bu," balas Ghista.

Sambungan pangilan video itu pun akhirnya terputus, menyisakan kedua tangan Ghista yang gemetar tak terkendali usai berbicara dengan Ibunya. Ia tahu betul, kalau Ibunya dapat merasakan adanya masalah di antara dirinya dan juga Indra. Maka dari itu, Ranti memberinya nasehat secara halus sebelum berpamitan. Hal itu membuat Ghista kembali menangis, dan kali ini disertai dengan rasa sesak yang begitu kuat di dalam dadanya.

"Kenapa kamu menangis lagi, Ta? Apakah jawabanku belum ...."

"Hatiku sakit, Kak. Hatiku sakit ...." ungkap Ghista, mengakui segalanya tanpa peduli lagi dengan harga diri.

Indra terus mengemudikan mobilnya, sambil mendengarkan apa yang akan Ghista katakan.

"Aku selalu berusaha tampil kuat di hadapan banyak orang, hanya demi menjaga Ibu agar tidak ada lagi yang berani menyakitinya. Nyatanya, aku tidak sekuat itu. Aku terkadang berhenti di jalan buntu dan tidak tahu harus mengambil arah yang mana. Tapi aku harus tetap berdiri, aku tidak boleh terjatuh. Karena Ibu ada bersamaku dan aku yang harus menopangnya agar tidak ikut terjatuh. Tapi semakin lama, entah kenapa aku semakin sulit untuk bertahan. Aku merasa bahwa seharusnya aku bisa beristirahat sejenak dari semua rasa sakit yang kurasakan. Tapi keadaan tidak pernah mengizinkanku untuk beristirahat barang satu detik pun, Kak. Aku ... aku ...."

"Beristirahatlah sejenak, Ta. Beristirahatlah sejenak, jika kamu mulai merasakan penat. Tidak akan ada yang mencacimu, jika kamu beristirahat sejenak. Kamu manusia biasa, Ta. Kamu punya rasa lelah dan kamu berhak untuk melepaskan lelah itu dari dalam diri kamu," potong Indra.

Pria itu kembali menepikan mobilnya, lalu meraih Ghista ke dalam pelukanya. Agar wanita itu bisa menangis sepuasnya di sana, di dalam dekap hangatnya.

"Kalau kamu enggak bisa menjalani semuanya sendirian, maka kamu enggak perlu memaksakan diri. Kamu bisa meminta bantuanku. Aku siap membantumu, kapan pun itu. Kita sudah sama-sama dewasa, Ta. Kita berdua tahu apa itu sakit, apa itu luka, dan apa itu lelah. Setelah kita tahu tentang ketiga hal itu, selanjutnya kita hanya perlu belajar untuk menyembuhkan sakit, kita hanya perlu belajar menghilangkan bekas luka, dan kita hanya perlu belajar untuk beristirahat dari kegilaan dunia ini," ujar Indra.

Ghista mendengarkannya tanpa ingin menyela sama sekali.

"Dan kalau pada akhirnya kamu tidak bisa menjalani semua hal sendirian, maka kamu tidak perlu memaksakan diri, Ghista. Kamu hanya perlu bilang sama aku, dan aku akan ada untuk kamu bahkan di saat tersulit sekalipun."

Kedua insan itu akhirnya menenggelamkan diri kembali dalam keheningan. Bedanya, kali ini keheningan itu tercipta setelah mereka sama-sama menumpahkan rasa sakit yang telah tersimpan selama dua puluh tahun.

Hujan di luar mulai berhenti. Pelangi bersinar menghias langit yang tadi begitu kelabu. Airmata itu telah mengering dan Ghista jauh merasa lebih baik setelah meluapkan emosi terpendamnya di hadapan Indra.

"Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kamu masih mau mempertemukan Bibi Ranti dengan Pak Dika, 'kan?" tanya Indra.

Ghista pun menganggukan kepalanya, lalu melepaskan pelukan dari tubuh Indra untuk kembali bersandar pada kursinya sendiri. Indra pun kembali melajukan mobilnya ke tengah ramainya jalan raya menuju Lembang. Ghista menghapus airmatanya kembali menggunakan tisu. Berusaha untuk kembali tenang dan tidak lagi emosional seperti tadi.

"Oh ya ... Mamaku mau tanya resep udang saos padang sama kamu, tuh. Cuma dia malu. Katanya udang saos padang buatanmu enak, dan beda sama resep-resep yang di dapatnya di buku masakan ataupun youtube," ujar Indra, berusaha mengembalikan mood Ghista seperti sediakala.

"Oh ya? Perasaan masakanku biasa saja deh, Kak. Sama kok, dengan resep-resep lainnya yang bertebaran di mana-mana," balas Ghista.

"Tapi enggak begitu menurut Mamaku, Ta. Bahkan Papaku juga menikmati udang saos padang dengan lahap untuk pertama kalinya, setelah merasakan masakan buatanmu. Sebaiknya kamu kasih deh resepnya, Mamaku sudah dua hari tuh enggak bisa tidur nyenyak," saran Indra.

Ghista pun tertawa, usai mendengar saran dari Indra.

"Bisa-bisanya Tante Ajeng enggak tidur nyenyak hanya karena udang saos padang? Jangan ngaco deh, Kak. Jangan aneh-aneh," tanggap Ghista.

"Eh? Kamu enggak percaya? Coba saja telepon Mamaku, dan tanyakan sendiri padanya. Untuk apa aku berbohong, Ta? Aku enggak akan pernah bohongin kamu, hanya untuk membuatmu tertawa. Aku memang berniat membuatmu tertawa, tapi enggak harus pakai kebohongan," Indra berusaha meyakinkan Ghista.

Ghista tahu, bahwa Indra memang takkan pernah membohonginya. Ia juga tahu, kalau Indra sedang mencoba mengembalikan keceriaannya. Namun sayangnya, semua takkan bisa kembali dengan semudah itu, dalam kondisi Ghista yang tengah berupaya menyembuhkan luka hatinya.

"Oke, nanti malam aku akan menelepon Tante Ajeng dan memberinya resep udang saos padang yang kumasak waktu itu," Ghista akhirnya menyetujui saran Indra.

Indra pun tersenyum dan terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. Ghista mengabadikan pemandangan itu di dalam memorinya, untuk ia kenang jika suatu saat nanti mungkin Indra akan kembali menjauh dari jangkauannya.

~"Karena apa yang kulihat hari ini, belum tentu bisa kulihat lagi di masa depan. Takdir selalu berbeda dari kenyataan, meski aku sudah berusaha untuk mempertahankan. Dan kenangan, adalah jalan satu-satunya yang bisa mengabadikanmu di dalam hidupku," batin Gracie, dihari kelulusan Raksa.~

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang