Ghista menuruni anak tangga dan tersenyum ke arah Ibunya yang sudah terlihat cantik di pagi hari. Usia pernikahan Ranti dan Dika kini telah memasuki bulan keempat. Di tengah pernikahan itu, kini telah tumbuh buah cinta mereka yang menjadi prioritas utama bagi Ghista.
"Selamat pagi calon Adikku tersayang," sapa Ghista, sambil mencium perut Ibunya dengan penuh cinta.
"Selamat pagi Kakakku yang cantik. Hari ini Ibu akan membawaku ke Dokter kandungan untuk diperiksa. Apakah Kakak mau ikut?" tanya Ranti, seakan mewakili janin yang tengah dikandungnya.
"Aduh, hari ini Kakak lagi enggak bisa menemani kamu, Sayang. Kakak ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda," sesal Ghista.
Ranti pun tertawa melihat ekspresi putrinya yang begitu kecewa dengan dirinya sendiri saat itu.
"Ya sudah, kalau kamu enggak bisa temani Ibu, biar Ayah saja yang menemani. Pekerjaanmu jangan diabaikan, nanti malah jadi masalah kalau tidak kamu urus dengan benar," saran Ranti.
Ghista pun memeluk Ibunya dengan erat, sambil mendaratkan ciuman penuh kasih sayang di pipi kiri Ranti.
"Insya Allah dipemeriksaan berikutnya, aku akan menemani Ibu dan Ayah untuk check-up ke Dokter. Hari ini Ibu dan Ayah ditemani oleh Theo saja, ya. Biar Ayah fokus menjaga Ibu dan Theo yang fokus membawa mobil," saran Ghista.
Dika mendekat ke arah istri dan putrinya.
"Ide yang bagus. Tapi, bagaimana dengan kamu, Nak? Siapa yang akan membawa mobilmu jika Theo ada bersama kami?" tanya Dika, agak khawatir.
Ghista pun tersenyum.
"Tenang saja, Yah. Aku yang akan bawa mobil sendiri. Ayah fokus saja menjaga Ibu dan jangan lupa kabari aku kalau ada hal-hal yang dibutuhkan," jawab Ghista, berusaha meyakinkan Dika dan Ranti.
"Kalau begitu, ayo sarapan dulu," ajak Ranti.
"Aku sarapan di jalan saja ya, Bu. Aku benar-benar buru-buru sekali hari ini. Aku bawa bekal saja dan akan kumakan di jalan," tanggap Ghista.
"Baiklah, ambil ini," Ranti menyerahkan sekotak pancake kesukaan Ghista. "Hati-hati di jalan ya, Sayang," pesannya.
"Iya, Bu. Insya Allah aku akan hati-hati. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ghista pun mencium tangan Ranti dan Dika bergantian, lalu kembali menyempatkan diri untuk mencium perut Ibunya seperti tadi. Ranti dan Dika hanya bisa tertawa pelan melihat tingkah putri mereka yang selalu saja penuh perhatian terhadap keluarga.
"Aku benar-benar bangga karena bisa memiliki Putri seperti Ghista. Meskipun dia bukan darah dagingku, tapi dia tidak pernah merasa asing dengan keberadaanku. Terlebih, karena dia juga sangat menantikan kelahiran Adiknya," ujar Dika.
"Ghista akan selalu mencintai kita seperti kita yang selalu mencintai dia, Mas. Insya Allah, dia juga akan menjadi Kakak yang baik untuk Adiknya nanti," Ranti meyakinkan Dika seraya menggenggam tangannya dengan lembut.
"Tentu. Kamu telah mendidiknya dengan sangat baik selama ini, Sayang. Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, bahwa Ghista adalah cerminan dari seluruh kebaikan di dalam dirimu? Ya, itulah Ghista sejak aku mengenalnya ketika di masih SMP," Dika pun mencubit ujung hidung Ranti dengan lembut.
Hal itu tentu membuat Ranti tersipu-sipu malu seperti biasanya.
"Sudah, sekarang ayo kita sarapan. Nanti kita terlambat untuk pergi ke Dokter," Ranti kembali mengingatkan suaminya.
Ghista menatap ke arah Theo, saat baru saja sampai di halaman rumah. Theo yang sudah tahu kalau dirinya akan ditugaskan untuk mengantar Ranti dan Dika, hanya menyerahkan kunci mobil ke tangan Ghista.
"Tolong jaga Ibu dan Ayah saya ya, Theo. Kabari saya jika ada apa-apa saat di rumah sakit nanti. Jangan lengah dalam mengawasi mereka," pinta Ghista.
"Baik, Bu Ghista. Akan saya jalankan semua yang Bu Ghista minta," balas Theo.
"Terima kasih ya, Theo. Saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Ghista.
"Wa'alaikumsalam, Bu Ghista," balas Theo.
Vika lewat di hadapan pria itu tak lama kemudian, untuk menyusul langkah Ghista. Setelah menyimpan ponselnya ke dalam saku blazer, ia pun hendak membuka pintu mobil.
"Minggir!" perintah Vika, setengah berdesis ke arah Theo.
"Untuk apa dibuka? Langsung tembus saja pintunya!" saran Theo, dengan sengaja pada Vika.
"Ish! Sana pergi! Uruslah pekerjaanmu sendiri!" omel Vika, yang kini merasa sebal pada Theo.
Ghista hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat kelakuan kedua orang kepercayaannya tersebut. Saat Vika telah masuk ke dalam mobil, Ghista pun menatapnya dengan kedua mata yang menyipit.
"Saya kok jadi semakin yakin ya, kalau kamu dan Theo sebenarnya ada hubungan spesial," ujar Ghista, blak-blakan.
"Hah? Apa, Bu? Enggak kok, enggak ada apa-apa antara saya dan Theo," sanggah Vika, dengan cepat.
"Ish, kalau sampai ada apa-apa juga bukan masalah kok buat saya, Vi. Enggak usah sepanik itu, lah," balas Ghista, santai.
Mobil mulai melaju meninggalkan halaman rumah. Vika kembali membuka ponselnya, usai mengeluarkannya dari saku blazer. Ia melihat pada layar dan membuka pesan yang masuk dari Amanda.
"Amanda sudah tiba di restoran Le Meilleur, Bu Ghista. Dia bilang, tidak lama lagi Leo akan segera sampai di sana. Sepertinya ancaman yang Amanda berikan berhasil membuat Leo begitu terburu-buru, pagi ini," ujar Vika.
"Hm ... kalau begitu tolong bilang pada Amanda, jalankan semua sesuai dengan yang sudah kita rencanakan," tanggap Ghista.
"Baik, Bu Ghista."
Ghista mendinginkan pikirannya agar tak perlu meluapkan apa pun. Ia masih merasa marah, setelah mendapatkan informasi buruk tentang kecelakaan yang menewaskan Rama dan Arum dua puluh tahun lalu. Kecelakaan itu bukanlah kecelakaan biasa. Kecelakaan itu sudah direncanakan dengan matang, karena memang sengaja menargetkan kematian Rama dan Arum.
"Semua harus sesuai dengan rencana, Vi. Setelah semua hal yang Widya Rahaja lakukan pada Almarhum Eyang Kakung dan Almarhumah Eyang Suri saya, sekarang adalah saat yang paling tepat untuk menghancurkannya," ujar Ghista.
Vika menoleh ke arah Ghista dan bisa melihat kemarahan yang membara di balik wajah datar wanita itu.
"Saya paham, Bu Ghista. Saya sangat mengerti bagaimana marahnya Bu Ghista saat ini, setelah tahu kalau dalang dari kematian kedua Eyang Bu Ghista, adalah Widya Rahaja," tanggap Vika.
"Ya. Maka dari itu, saya ingin membalasnya. Tapi, saya tidak akan menggunakan tangan saya sendiri untuk membalasnya, melainkan menggunakan tangan cucu laki-lakinya sendiri."
"Saya akan mendukung apa pun yang Bu Ghista putuskan. Kita tidak boleh kalah cerdas dari mereka, orang-orang licik yang tidak punya hati nurani. Mereka tidak boleh selamanya memenangkan semua hal, Bu Ghista. Karena semakin mereka bisa menang, maka semakin besar pula kelicikan yang akan mereka lakukan," pikir Vika.
"Itulah yang sedang saya coba untuk hancurkan saat ini, Vi. Maka dari itu saya butuh bantuanmu dan juga bantuan dari Amanda," balas Ghista.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...