26 | BERBATAS LUKA DAN TAKUT

136 21 0
                                    

Ghista meletakkan dos lainnya ke dalam bagasi, setelah dos tersebut diberi perekat oleh Dika.

"Ayah enggak keberatan 'kan, kalau harus pindah dari sini?" tanya Ghista.

Dika tersenyum.

"Enggak kok. Ayah enggak keberatan," jawab Dika, sambil menatap ke arah rumah yang sejak kecil telah ia tempati bersama Almarhum kedua orangtuanya. "Hanya saja, Ayah merasa berat kalau harus menjual rumah ini. Rumah ini sangat berarti bagi hidup Ayah, ada banyak kenangan di dalamnya yang tidak bisa Ayah lupakan," ujar Dika.

Ghista bisa menangkap getar kesedihan yang tergambar jelas dari apa yang dikatakan oleh Dika saat itu. Ia tahu betul, bahwa kenangan takkan bisa diulang dan takkan kembali lagi meski begitu diinginkan.

"Ya jangan dijual dong, Yah. Ayah pindah dari sini, bukan berarti rumahnya harus dijual. Rumahnya dibiarkan saja seperti biasa, nanti kucarikan orang yang mau jaga biar sering dibersihkan. Rumah ini bisa Ayah pakai menjadi rumah liburan bersama Ibu. Sekali-sekali Ayah dan Ibu tentu harus berlibur, supaya enggak penat setelah terus menghadapi pekerjaan sehari-hari," saran Ghista.

Dika pun tertawa pelan, setelah mendengar saran dari Ghista.

"Kamu itu masih sama persis seperti Ghista yang Ayah kenal saat mengajar di SMP dulu. Kamu selalu saja punya ide-ide yang brilian untuk semua hal sehingga menjadi terlihat sangat mudah. Dan kamu benar, bahwa rumah ini bisa kita jadikan sebagai rumah liburan. Jadi, saat Ayah dan Ibu berlibur nanti, kamu juga harus ikut bersama kami ke sini," putus Dika.

"Ayah dan Ibu enggak akan jadi liburan kalau aku ikut. Ayah lihat sendiri, aku harus bawa Vika dan Theo. Lalu mereka mencekoki aku dengan pekerjaan yang tiada hentinya. Mana bisa disebut liburan kalau seperti itu?" protes Ghista.

"Kalau begitu gampang, ambil saja ponsel dan I-Pad milik Vika. Sembunyikan sampai waktu liburan habis. Ayah jamin, tidak akan ada pekerjaan yang bisa Vika laporkan padamu," saran Dika.

Ranti akhirnya selesai menelepon, lalu kembali mendekat pada suami dan putrinya yang masih mengatur strategi.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Ranti, sangat riang.

"Kami sedang membicarakan taktik liburan yang tepat, agar tidak terganggu dengan pekerjaan," jawab Dika.

"Hm ... dan aku setuju dengan saran Ayah, tentang menyembunyikan ponsel dan I-Pad milik Vika. Agar saat liburan, tidak ada laporan pekerjaan yang harus kudengar," tambah Ghista.

Ranti pun tertawa lepas, usai mendengar apa yang dikatakan oleh suami dan putrinya.

"Kenapa harus repot-repot menyembunyikan ponsel dan I-Pad milik Vika? Kalau memang tidak ingin terganggu dengan pekerjaan, maka Vika ditinggal saja di rumah dan kamu hanya perlu mematikan ponsel agar tidak bisa dihubungi," ujar Ranti, memberi pilihan lain.

"Enggak mau. Vika harus ikut, Bu. Nanti enggak ada yang bisa kugangguin saat bangun tidur, kalau Vika enggak ikut," tanggap Ghista, sambil mengikuti langkah Ibunya yang kembali masuk ke dalam rumah bersama Dika.

Vika hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan Theo menertawainya dengan sangat puas.

"Baru pertama kali aku melihat, Bu Ghista bisa satu pemikiran dengan orang lain. Sayangnya, pemikiran itu adalah untuk hal-hal jahil dan bukan untuk hal-hal positif," ujar Vika, tak habis pikir.

"Intinya ke mana pun Bu Ghista pergi, kamu dan aku wajib untuk ikut dengannya," sahut Theo.

"Ish! Itulah yang kusesali, karena kamu juga harus ikut!" sebal Vika, blak-blakan.

Theo melotot sambil mencibir ke arah Vika.

"Giliran aku enggak ada, kamu enggak berhenti chat dan telepon! Jangan sok enggak butuh deh!" balasnya, tak kalah sengit.

* * *

Tepat pukul satu siang, semua keperluan sudah terpenuhi. Barang-barang yang akan diangkut pun sudah rapi di dalam bagasi.

"Sudah, Bu. Nanti saat Ayah dan aku libur kerja, kita akan ke sini lagi," ujar Ghista, merayu Ranti yang belum mau pulang.

"Benar kata Ghista, Bu. Insya Allah nanti kita akan ke sini lagi saat musim liburan," janji Dika.

"Satu hari lagi saja. Biar besok saja kita pulang," pinta Ranti.

"Besok Ayah harus mulai mengajar, Bu. 'Kan Ibu sudah mempersiapkan segala sesuatunya di rumah untuk Ayah. Masa Ibu lupa, sih?" Ghista masih berupaya membujuk.

Ranti pun akhirnya tak punya pilihan selain setuju untuk pulang dan mengakhiri liburan. Dika merangkulnya dengan mesra, sementara Ghista diam-diam mengambil foto mereka menggunakan ponselnya. Ia mengirim foto itu ke Instagram, Facebook, dan juga status pada akun WhatsApp-nya.

Theo mengemudikan mobil dengan santai, Vika ada di sampingnya sambil memeriksa pekerjaan melalui I-Pad. Ranti duduk di tengah, tepat di antara Dika dan Ghista. Ghista sibuk bersandar pada pundak Ranti, sambil membaca laporan yang Vika kirimkan di ponselnya, sementara Dika terus merangkul Ranti yang sepertinya begitu menikmati pemandangan di luar jendela.

"Kamu suka suasana kebun teh, Sayang?" tanya Dika, pelan.

Ranti pun mengangguk.

"Iya, Mas. Aku suka," jawab Ranti.

"Kalau begitu nanti kita sekalian jalan-jalan ke kebun teh ya, kalau berlibur lagi. Mau, 'kan?" saran Dika.

"Iya, Mas. Aku mau," Ranti tentu saja setuju dan bahagia dengan saran tersebut.

Ghista hanya mendengarkan, tanpa berniat mengusik kemesraan kedua orangtuanya. Ia hanya bisa tersenyum-senyum sendiri, karena baru kali ini menyaksikan kemesraan secara langsung.

Tring!!!

Sebuah pesan masuk melalui Whatsapp. Ghista pun segera membuka chat tersebut.

INDRA
Tega!!! Liburan enggak ngajak-ngajak aku!!!

Ghista membacanya sambil tersenyum, namun jemarinya enggan untuk membalas.

INDRA
Jangan cuma dibaca saja, Ta. Balas, lah. Kamu kok tega sekali membiarkan hatiku kering kerontang tanpa kasih sayangmu. ;-(

Lagi-lagi, Ghista tetap tak membalasnya. Ia menutup chat tersebut, lalu membuka tulisannya yang belum selesai.

~Gracie tersenyum-senyum sendiri, saat melihat kemesraan kedua orangtuanya. Hal yang selama ini tak pernah ia saksikan sama sekali. Ibunya terlihat begitu bahagia, membuatnya tak berani mengusik kebahagiaan itu. Ia ingin Ibunya lebih banyak menghabiskan waktu dengan Ayah sambungnya, demi menebus waktu mereka yang telah banyak terlewat karena pahitnya masa lalu.

Raksa mengiriminya pesan, usai melihat foto yang terpampang pada media sosial milik Gracie. Gracie membaca pesannya dengan penuh perasaan, karena pria itu sempat-sempatnya melancarkan protes tentang dirinya yang tak jua membalas pesan meski telah membacanya. Raksa mengatakan bahwa Gracie begitu tega karena telah membiarkan hatinya kering kerontang tanpa kasih sayang. Entah bagaimana Gracie akan membalas pesannya, jika rasa takut akan kehilangan Raksa, jauh lebih besar dari rasa cintanya pada pria itu.~

Ghista pun kembali menutup aplikasi pada ponselnya, usai menyimpan apa yang ditulisnya barusan. Ia menatap ke arah luar jendela dan berusaha menikmati setiap detik yang ia lalui saat itu.

"Hatiku jauh lebih kering dari hatimu. Andai saja kamu tahu, bahwa hatiku dan hatimu hanya berbatas oleh luka serta rasa takut," batin Ghista.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang