25 | BULAN MADU DI LEMBANG

147 19 0
                                    

HOAAAAMMMHHH!!!

Ghista menggeliat di tengah dinginnya udara Lembang disaat subuh. Diguncang-guncangnya tubuh Vika yang berbaring di sampingnya sejak semalam.

"Bangun, Vi. Shalat Subuh," ujar Ghista, setengah mengantuk.

"Dingin, Bu. Sebentar lagi, ya," rajuk Vika.

"Kalau mau panas di Neraka, Vi, dan jalan menuju Neraka adalah dengan tidak melaksanakan Shalat Subuh," Ghista menasehati.

Vika pun bergegas menyibak selimutnya dan terduduk di tempat tidur dengan wajah kusut tak karuan. Ia menatap Ghista dengan bibir manyun dan hidung yang kembang kempis.

"Bu Ghista kasih nasehatnya terkesan gelap sekali. Ibu memang tidak cocok untuk jadi motivator," protes Vika.

"Saya juga enggak berniat ingin jadi motivator, Vi. Ayo bangun, kita shalat lalu buat sarapan sebelum yang lain bangun," ajak Ghista, sambil menarik tangan Vika yang masih lemas.

Usai shalat subuh, mereka berdua segera membuka jendela-jendela yang terdapat pada rumah itu. Ghista beranjak ke dapur untuk membuat sarapan, sementara Vika menyapu lantai sambil membangunkan Theo dengan ceramah yang sama, seperti ceramah yang disampaikan oleh Ghista, tadi. Theo bangun sambil menatap sengit ke arah Vika.

"Biar kutebak, pasti Bu Ghista yang memberikan nasehat seperti itu padamu. Lalu kamu menyampaikannya kembali padaku, agar aku juga ikut merasakan penderitaan karena bangun disaat udara masih sedingin ini. Ya, 'kan?" selidik Theo.

"Tepat sekali! Sekarang bangun dan Shalat Subuh, atau kuseret kamu ke Neraka!" ancam Vika, dengan sapu tergenggam kuat di tangannya.

Theo pun akhirnya mengalah, lalu segera bangkit dari tempat tidurnya untuk mengambil air wudhu. Ghista menyajikan nasi goreng bakso sapi beserta telur mata sapi, pada setiap piring yang ia isi. Harum masakan yang Ghista hidangkan, membuat Ranti dan Dika terbangun di kamar mereka.

"Wah, pantas saja sudah tercium wangi masakan. Ghista pasti sudah bangun lebih awal untuk Shalat Subuh, sejak tadi," ujar Ranti.

"Ghista selalu on time, ya?" tanya Dika.

"Ya, selalu. Kecuali kalau dia sedang datang bulan, maka dia akan bermalas-malasan karena menahan sakit pinggang," jawab Ranti.

Dika pun terkekeh pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka untuk mandi sebelum Shalat Subuh. Ranti membereskan tempat tidur dan melipat selimut yang semalam mereka pakai. Lima belas menit kemudian Dika keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk shalat.

"Mas shalat duluan ya, Sayang. Maaf karena kali ini kita tidak bisa shalat berjamaah. Kamar ini sempit," ujar Dika.

Ranti pun mengangguk sambil tersenyum.

"Iya, Mas. Tidak apa-apa," jawab Ranti, yang kemudian masuk ke kamar mandi.

Setelah semua selesai dilakukan, Ranti dan Dika keluar dari dalam kamar mereka. Ghista, Vika, dan Theo yang tengah sarapan pun menoleh kompak seraya menatap bingung pada mereka.

"Loh? Kok pagi-pagi sekali sudah bangun, Bu? Ibu dan Ayah istirahat saja, tidur kembali," saran Ghista.

"Eh? Tidak boleh begitu dong. Masa kamu dan Vika saja yang mengerjakan pekerjaan rumah, sementara Ibu dan Ayah tidur?" protes Ranti.

"Ya ... kalian 'kan pengantin baru. Nikmatilah saja waktu berduaan. Urusan pekerjaan biar kami yang urus. Ya 'kan, Vika ... Theo ...?" Ghista meminta dukungan.

"Duh, tanganku pegal," keluh Vika.

"Duh, leherku tegang karena menyetir terus sejak kemarin," tambah Theo.

Kedua mata Ghista pun menyipit karena sebal, saat kedua orang kepercayaannya justru tidak memberikan dukungan seperti yang ia harapkan. Dika dan Ranti tentu saja tertawa saat melihat Ghista yang berekspresi aneh seperti itu.

"Sudah, tidak apa-apa. Istirahat 'kan bisa dilakukan kapanpun yang kami mau. Ayo, sekarang kalian sarapan saja. Nanti pekerjaan rumah biar kami yang urus," saran Dika, sambil mengusap-usap puncak kepala Ghista dengan lembut.

Ranti dan Dika pun ikut duduk di meja makan untuk sarapan.

"Wah, masakan buatan Ghista memang enak ternyata. Pantas saja Indra selalu membicarakannya sambil memuji-muji di setiap ada kesempatan," ujar Dika.

UHUKKK!!!

Ghista pun tersedak seketika, usai mendengar apa yang Dika katakan tentang Indra.

"Oh, ya? Wah, Indra itu hanya berani memuji-muji di belakang saja. Sekalinya bertemu dengan Ghista, selalu bertingkah serba salah seperti anak remaja," tanggap Ranti.

Theo dan Vika hanya bisa menahan-nahan senyuman mereka, agar tidak meledak di depan Ghista. Wajah Ghista kini sudah menjadi semerah kepiting rebus.

Drrrttt!!!

Alarm peringatan di ponsel Vika bergetar, membuat si empunya ponsel membuka isi alarm peringatan tersebut dengan cepat.

"Bu Ghista, hari ini adalah deadline akhir novel yang sedang Bu Ghista tulis. Apakah Bu Ghista akan menamatkan ceritanya, atau akan kembali berlanjut ke bulan depan?" tanya Vika, mengkonfirmasi.

"Akan saya lanjutkan, Vi. Ceritanya masih panjang dan masih belum berakhir," jawab Ghista.

"Oh ya? Padahal Bu Ghista sudah menulis novel itu selama hampir enam bulan, loh," Vika terlihat sangat tak percaya dengan jawaban yang Ghista berikan.

Dika menatap Ghista.

"Novel yang mana, Nak? Bentang Luka Dunia Gracie?" tanya Dika.

Ghista kini ikut menatap ke arah Dika.

"Ayah dengar judul itu dari Kak Indra, juga?" Ghista balik bertanya.

Dika menggelengkan kepalanya.

"Ayah berlangganan novel itu dan membacanya. Ayah baru tahu kalau kamu adalah penulisnya, setelah membicarakan semua dengan Keluarga Wiratanto," jawab Dika, jujur.

Ghista pun kini terdiam, selama beberapa saat.

"I feel hurt, when I know that the world is so hard to conquer. But I can't stop here. I still have to move, to ensure the happiness of the people I love. Itu yang Gracie katakan pada dirinya sendiri, saat pertama kali naskahnya tidak diterima oleh penerbit. Dan jujur saja, kata-kata itu juga yang Ayah pakai untuk memotivasi diri sendiri ketika merasa gagal menjalani hidup ini."

Ghista menatap tak percaya ke arah Dika pada saat itu. Ia pikir, Dika hanya main-main saat mengatakan bahwa dirinya telah membaca novel karangan Ghista, hanya untuk menutupi kalau Indra yang memberitahu tentang novel itu. Tapi nyatanya, Dika tahu persis isi paling menyentuh dari novel yang masih belum ia selesaikan tersebut.

"Ayah suka novelmu. Isinya sederhana, tapi tepat untuk mengajarkan para pembaca tentang bagaimana indahnya sebuah kesabaran. Setiap kalimat yang kamu tulis di sana, mampu membuat orang lain ingin terus mengikuti jalan ceritanya. Jadi, jangan pernah menyerah dan lanjutkan apa yang kamu bisa," saran Dika.

Ghista pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya, untuk memberitahu Dika bahwa ia akan mengikuti saran dari Ayah sambungnya tersebut. Ranti tersenyum penuh kebahagiaan, saat melihat putri dan suaminya benar-benar bisa saling menerima tanpa saling merasa asing.

"Semua akan semakin membaik, seiring dengan bertambah dewasanya Putriku yang manis," batin Ranti, penuh doa.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang