27 | SEBUAH PENERIMAAN

129 21 0
                                    

Pukul delapan malam, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Theo tiba di halaman rumah. Indra telah menantikan kedatangan mobil itu, ditemani oleh satpam yang berjaga sejak pagi. Indra mendekat saat Ghista akhirnya turun bersama Ranti dan juga Dika.

"Assalamu'alaikum, Bibi Ranti ... Paman Dika ...." sapa Indra seraya mencium tangan Ranti dan Dika.

"Wa'alaikumsalam. Eh, Nak Indra. Sudah menunggu sejak tadi?" tanya Ranti.

Ghista hanya acuh tak acuh dengan keberadaan Indra dan mulai mengeluarkan barang-barang milik Ayahnya dari dalam bagasi.

"Iya, Bi. Aku sudah menunggu sejak tadi. Aku mau bantu Ghista dulu ya, Bi. Boleh?" tanya Indra.

"Tentu saja boleh, silakan. Tapi jangan terlalu banyak mengangkat barang, ya. Nanti kamu capek," jawab Dika.

Indra pun hanya tersenyum, lalu beranjak menuju ke arah tempat Ghista berada. Malam itu, Indra tidak memakai setelan lengkap seperti biasanya. Dia hanya memakai kaos biasa dan celana jeans pudar. Membuatnya terlihat jauh lebih tampan ketimbang saat berada dalam balutan pakaian kantor. Theo dan Vika berinisiatif menjauh, agar Indra dan Ghista bisa memiliki waktu berdua.

"Hai, Is-ta. Pesanku benar-benar enggak kamu balas. Kamu membuat aku jadi kepikiran dan ingin bertemu," ujar Indra.

"Aku sedang lanjut menulis, saat pesanmu masuk. Aku enggak bisa balas karena sedang berkonsentrasi pada tulisan," balas Ghista, mencoba berbohong.

"Hm, begitu rupanya. Jadi bukan karena rasa takut kehilangan, seperti yang Gracie rasakan terhadap Raksa, ya?" pancing Indra.

Ghista pun terdiam, tiba-tiba ia menoleh dan menatap Indra yang sudah berada tepat di sampingnya--entah sejak kapan.

"Entah bagaimana Gracie akan membalas pesannya, jika rasa takut akan kehilangan Raksa, jauh lebih besar dari rasa cintanya pada pria itu," tutur Indra, sangat lembut.

Lengan kokoh milik Indra merangkul Ghista dengan penuh perasaan. Membawanya ke dalam pelukan hangat yang tak pernah Ghista bayangkan sebelumnya. Perasaannya meluap-luap kembali dan ia kembali merasa takut kalau pada akhirnya ia takkan mampu lagi untuk bertahan.

"Kamu membuat Mamaku menangis saat membaca episode itu tadi sore. Episode yang kubaca belum sampai sejauh itu, dan kalau bukan karena Mama yang membacanya, aku tidak akan pernah tahu kalau Aghista Mahardika begitu takut kehilangan diriku," ujar Indra.

"Siapa yang bilang, kalau Gracie itu aku dan Raksa adalah kamu? Jangan suka menebak-nebak tidak jelas," balas Ghista.

"Kamu sendiri yang bilang padaku waktu itu, Ta. Saat perjalanan ke Lembang, sebelum kamu ketiduran. Raksa itu aku, Indra Laksana yang kamu singkat menjadi Raksa."

Ghista terbelalak saat mendengar hal itu. Ia pasti sedang mengantuk berat saat itu, hingga tak sadar telah mengungkapkan yang sebenarnya pada Indra. Indra meregangkan pelukannya dan membuat wajah Ghista menatap tepat ke hadapannya.

"Is-ta, Sayang. Percayalah, aku jauh lebih takut kehilangan kamu sekarang. Aku takut kehilangan kamu, seperti aku kehilangan kamu saat kita masih kecil dulu. Aku takut hal itu akan terulang. Dan jika sampai hal itu terulang, aku bisa pastikan sama kamu bahwa aku enggak akan bisa bertahan lagi," tutur Indra, atas semua hal yang tengah dirasakannya.

Kedua mata Ghista mulai berembun kembali. Ia tersenyum, sambil memainkan ujung kaos yang Indra pakai dengan jemarinya.

"Kamu akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari aku, Kak. Aku ... aku enggak akan pernah pantas untuk mendampingi kamu. Aku ...."

"Siapa yang membuat peraturan seperti itu? Siapa yang menuliskan label, bahwa kamu tidak pantas untukku? Aku tidak pernah menilai dari pantas atau tidak pantasnya kamu ketika hatiku memilih dirimu, Ta. Aku cinta kamu. Dan menjelaskan perasaan cintaku ke kamu adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan di sepanjang hidup ini. Aku mengerti akan ketakutanmu, tapi kamu juga harus mengerti bahwa aku tidak akan membuat ketakutanmu itu terwujud."

"Tante Ajeng dan Om Dimas belum tentu berpikir begitu, Kak. Mereka ...."

"Ada apa dengan pikiran kami, Ghista?" tanya Ajeng, yang kini sedang berjalan mendekat ke arah tempat berdirinya Ghista dan Indra.

Ghista berbalik dan menatap Ajeng dengan penuh ketakutan. Benar-benar tidak seperti biasanya.

"Ayo ... ungkapkan pada Tante mengenai ketakutanmu itu, Sayang. Tante ingin dengar alasan dari rasa takutmu," pinta Ajeng, sambil mendekap Ghista ke dalam pelukannya.

Ghista tak bisa mengatakan apa pun, hanya airmata yang justru mengalir dari pelupuk matanya saat itu.

"Apakah kamu takut, kalau Tante dan Om tidak bisa menerima kehadiranmu di dalam keluarga kami? Apakah kamu takut, kalau Indra memilihmu maka kami akan menentangnya sehingga hubungan kekeluargaan kami dan Ibumu menjadi berantakan? Apakah begitu, Nak?" Ajeng mencoba mencari jawabannya

Ghista pun akhirnya mengangguk di tengah kebisuannya sejak tadi.

"Ya Allah, Ghista. Ghistaku Sayang ... mengapa kamu harus berpikir sampai sejauh itu, Nak? Apakah karena kamu trauma akan perlakuan anggota Keluarga Rahaja terhadap Ibumu?"

Lagi-lagi, Ghista hanya bisa mengangguk di dalam pelukan Ajeng saat itu. Membuat Ajeng semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Ghista dan mengecup puncak kepalanya berulang-ulang.

"Kami bukan mereka, Nak. Kami tentu tidak mungkin akan membencimu. Kami justru bahagia jika kamu yang akan menjadi bagian dari Keluarga Wiratanto, dan mendampingi Indra. Tante bahkan sudah melamarmu pada Ibumu. Karena Tante tahu, kamu adalah pilihan yang terbaik untuk Indra di masa depan. Tidak ada yang perlu kamu takutkan, Sayang. Hati Tante begitu teriris saat membaca ungkapan hatimu melalui novel yang kamu tulis. Rasanya seakan kamu hendak menjauh lagi dari kami, Nak. Hati Tante hancur, Sayangku. Sangat hancur," ungkap Ajeng.

"Maafkan aku, Tante. Maafkan aku," ucap Ghista.

Indra menatap kedua wanita yang paling ia cintai di dunia ini, dengan kedua mata basah. Indra tahu, bahwa trauma dalam diri Ghista takkan mudah untuk dihilangkan begitu saja. Semua butuh proses dan dalam proses itu, ia akan selalu ada untuk mendampingi Ghista.

"Mulai sekarang, berhenti untuk merasa takut. Tante mau, kamu menjadi sosok yang pemberani. Hadapilah semuanya bersama Indra. Jangan berjalan sendirian. Karena Tante tahu, bahwa kamu butuh penopang," ujar Ajeng, memberi kekuatan pada Ghista agar selalu tegar.

Ghista akhirnya menganggukan kepalanya, pertanda bahwa ia akan mengikuti apa yang Ajeng sarankan.

"Ya sudah ... Tante masuk duluan ya, Sayang. Bicaralah berdua dengan Indra."

Ajeng pun benar-benar masuk kembali ke dalam rumah, untuk mengobrol dengan Ranti yang tadi hanya sempat disapanya. Ghista pun kini kembali berbalik menatap Indra, yang sudah merentangkan kedua tangannya dan siap menanti kedatangan Ghista ke dalam pelukannya.

"Kamu tunggu apa lagi, Is-ta? Sini, mendekat padaku dan berhenti untuk takut," pinta Indra, dengan begitu tulus.

Ghista pun kembali mencoba menahan airmatanya, seraya beranjak mendekat ke dalam pelukan Indra yang penuh dengan cinta.

"Aku cinta kamu, Is-ta," ungkap Indra, tanpa ragu.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang