9 | MERASA MALU

136 18 0
                                    

Vika meringis pelan saat melihat Ghista yang duduk di sofa dengan keadaan masih terbungkus selimut. Ghista hanya tersenyum-senyum saja, ketika melihat ekspresi Vika yang tengah menatapnya.

"Kenapa, Vi? Ada yang aneh dengan penampilan saya?" tanya Ghista, santai.

"Bu Ghista terlihat ... unik, pagi ini," jawab Vika.

Ranti tertawa pelan.

"Tolong maklumi ya, Vi. Ghista kalau lagi sakit pinggang karena datang bulan ya memang begitu. Ada-ada saja caranya untuk mencari kenyamanan," ujar Ranti.

"Eh ... tapi jangan salah ya, Vi. Di balik selimut ini, aku sudah siap dengan pakaian formal," tambah Ghista, berusaha meyakinkan Vika.

Vika pun menjadi berusaha menahan tawanya karena tingkah laku Ghista yang benar-benar tak mudah ditebak. Theo masuk ke dalam rumah, dan membantu Ranti mengangkut boks-boks kue yang akan dibawa ke MHD Bakery. Ghista terlihat masih saja melingkarkan lengannya pada pinggang Ibunya, dan seperti tak berniat sama sekali untuk melangkahkan kaki keluar dari rumah.

"Ayo, Nak. Nanti Ibu terlambat mengantar kuenya," ajak Ranti.

"Iya, Bu. Ayo," jawab Ghista, lemas.

Ghista melipat selimutnya lebih dulu, lalu membawanya sambil mengekori langkah Ranti menuju ke mobil. Di dalam mobil, Ghista kembali berselimut dan memejamkan kedua matanya.

"Kamu ada jadwal apa setelah mengantar Ibu, hari ini?" tanya Ranti.

"Enggak ada jadwal, Bu. Vika enggak menyampaikan apa-apa padaku sejak tadi," jawab Ghista.

"Kalau begitu, boleh tidak Ibu meminta antar ke rumah Tante Ajeng?" Ranti kembali bertanya.

"Hari ini, Bu? Yakin?" Ghista balik bertanya sambil membelalakan kedua matanya.

"Iya, hari ini. Memangnya kenapa? Kamu takut ketemu Indra dalam keadaanmu yang kusut, itu?" tebak Ranti.

Pffttt!!!

Theo dan Vika kompak menahan tawa mereka di bagian depan mobil. Ghista tahu akan hal yang dilakukan oleh kedua orang kepercayaannya itu, karena dirinya sendiri pun sedang berusaha menahan tawanya sendiri.

"Bukan begitu, Bu. Aku enggak peduli mau ketemu Kak Indra dalam keadaan apa pun. Cuma 'kan, enggak enak sama Tante Ajeng kalau aku harus diam terus seharian karena menahan sakit," jelas Ghista.

"Tante Ajeng 'kan juga wanita. Dia pasti mengerti kok, kalau kamu sedang berusaha menahan sakit pinggang karena datang bulan. Enggak usah merisaukan yang tidak perlu dirisaukan dong, Sayang," tanggap Ranti, lembut.

Ghista pun tersenyum ke arah Ibunya, yang selalu saja bisa membujuknya dengan penuh kelembutan sejak ia masih kecil.

"Oke, kita akan ke rumah Tante Ajeng, setelah menyelesaikan urusan di MHD Bakery," ujar Ghista.

Ranti pun terlihat begitu senang, usai mendengar persetujuan dari Ghista. Membuatnya tak sabar ingin segera bertemu dengan Ajeng yang sudah lama tak pernah ia temui, sejak terjadinya peristiwa dua puluh tahun yang lalu.

Sesampainya di MHD Bakery, Ghista bergegas membantu Ranti menurunkan boks-boks kue bersama Vika dan juga Theo. Setelah Shiren menerima semuanya, mereka pun bergegas kembali ke mobil untuk mengantar Ranti ke rumah Ajeng, seperti yang dimintanya tadi.

Perjalanan yang ditempuh tak begitu memakan banyak waktu. Ranti dan Ghista sudah hafal betul letak rumah itu sejak dulu. Rumah peninggalan Wahyu Wiratanto itu masih berada di lokasi yang sama dan kini ditempati permanen oleh Dimas, Ajeng, dan juga Indra. Banyak kenangan yang tertoreh di rumah itu, salah satunya adalah ketika Rama, Arum, Ranti, dan Ghista kecil tengah bertamu ke sana.

Mobil yang dikemudikan oleh Theo memasuki pekarangan rumah tersebut, setelah satpam membukakan pintu gerbang. Ranti begitu terkesima dengan keadaan rumah itu yang masih sama persis seperti dulu. Ghista tahu, bahwa Ibunya tengah menikmati suasana lama yang masih begitu terasa di sana, hingga tak ingin mengganggunya meski mobil telah berhenti sejak tadi.

"Rumah ini masih sama persis seperti dulu," ungkap Ranti, sambil menahan sesak di dadanya.

Kedua matanya berkaca-kaca, saat kembali mengingat semua hal yang sudah berlalu. Ghista hanya bisa mengusap lembut bahu Ibunya. Ia tahu bahwa semua hal di masa lalu hanya akan membawa perasaan emosional yang selama ini dikubur dalam-dalam oleh Ranti, jauh di dasar lubuk hatinya yang terdalam. Hanya saja, Ghista tak mau melarang Ibunya untuk mengingat masa lalu. Baginya, apa yang masih bisa Ranti kenang sebagai bagian dari bahagianya, maka hal itu harus tetap dipertahankan.

Ajeng keluar dari dalam rumahnya, setelah mendapat kabar dari asisten rumah tangga bahwa mobil milik Ghista tiba di halaman rumah. Ia melihat sosok Ranti yang tengah dibantu turun oleh Ghista dari dalam mobil. Hal itu membuatnya segera berlari menghambur ke dalam pelukan Ranti, tanpa ingin menunggu lama. Airmata mereka pecah dalam sekejap karena telah terlalu lama menahan rindu satu sama lain.

"Ya Allah, Mbak Ranti ... Mbak ke mana saja? Ya Allah Mbak ... Almahrum Bapak, aku, dan Mas Dimas tidak pernah berhenti mencarimu Mbak. Kok tega-teganya kamu tidak menghubungi kami sama sekali? Kami khawatir Mbak, kami sangat khawatir," tutur Ajeng dengan linangan airmata yang tidak bisa dihentikan.

"Maafkan aku, Dek. Maafkan aku. Aku harus bersembunyi dari Mas Saga, kalau tetap ingin hidup tenang dan juga tidak menghancurkan yang lain. Kamu tahu sendiri, bagaimana kejamnya mantan Suamiku dan juga mantan Ibu mertuaku itu," jelas Ranti, yang juga tengah menumpahkan semua kesakitannya pada Ajeng.

"Sudah ... ayo masuk. Kita bicara di dalam," ajak Ajeng.

Ghista pun meraih kembali selimutnya dari dalam mobil, sementara Ranti sudah berjalan duluan bersama Ajeng. Vika menatap ke arah Ghista bersama Theo.

"Kenapa lagi? Salahkan pinggang saya, kalau hari ini saya terlihat aneh karena terus memakai selimut ini," saran Ghista.

"Kami bukan ingin mengomentari itu, Bu Ghista. Kami hanya tidak menduga kalau ... Sagara Rahaja adalah Ayah kandung Bu Ghista," ujar Theo.

Ghista pun tersenyum.

"Memangnya kenapa, kalau Sagara Rahaja itu Ayah kandung saya?" tanya Ghista.

"Karena sifat Bu Ghista sama sekali tidak menggambarkan sifat dari Sagara Rahaja, seperti ... Putranya yang bernama Leo itu," Vika menjawab dengan sangat hati-hati.

Ghista kini tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala, di hadapan Vika dan Theo.

"Jelas beda dong. Ibu saya dan Ibunya si Leo itu 'kan beda. Tentu saja sifat kami juga sangat berbeda. Antara langit dengan bumi, itulah bedanya Ibu saya dengan Ibunya Leo. Ibu saya terlahir dari keluarga baik-baik, sementara Ibunya Leo diambil oleh Ayah kandung saya dari tempat pelacuran," jelas Ghista, sangat tenang dan biasa saja.

"Apakah Bu Ghista tidak berniat ingin menuntut hak sebagai ahli waris yang sah, pada Sagara Rahaja?" tanya Theo.

"Untuk apa? Saya bisa mendapatkan segalanya dengan tangan saya sendiri. Saya bisa membahagiakan Ibu saya dengan kerja keras saya sendiri. Jadi untuk apa, saya menuntut hak sebagai ahli waris? Bahkan sejujurnya, saya merasa malu karena harus menjadi salah satu keturunan dari Keluarga Rahaja," jawab Ghista, penuh rasa jijik.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang