Dokter masih berusaha menyadarkan Saga kembali. Detak jantungnya masih saja tidak terdeteksi meski sudah diberi CPR. Ghista menangis sejadi-jadinya saat melihat kondisi Ayahnya yang kembali memburuk setelah mendengar kenyataan bahwa Leo bukanlah putranya.
Theo memberi kabar pada Vika dan Vika menyampaikannya dengan berat hati pada Ranti yang kini telah ditemani oleh Dika dan juga Ajeng. Indra juga sudah diberi kabar, namun baru akan bisa ke rumah sakit sore nanti. Gunardi menatap Ghista yang sedang begitu tersiksa dengan perasaan kasihan. Ia segera mengambil keputusan untuk melapor pada Polisi, atas kejanggalan yang terjadi dalam kecelakaan pada mobil Saga.
"Yah ... tolong bangun, Yah," pinta Ghista, penuh ketakutan.
Tetap tidak ada respon dari Saga. Airmata Ghista sudah membanjiri wajahnya, memberikan rasa sakit yang bertubi-tubi menyerang tanpa ampun. Kesakitan yang lama masih terasa dan kini harus bertambah dengan kesakitan yang baru.
"Kenapa? Kenapa orang-orang itu begitu sangat tega melukai hati orang lain, demi mendapatkan keinginannya yang semu?" batin Ghista.
Hatinya seakan remuk redam saat melihat Saga yang tengah berbaring tak sadarkan diri akibat shock.
"Mengapa wanita itu begitu tega menipunya, setelah berhasil membuat aku dan Ibu pergi dari hidup Ayah? Apakah menyakiti Ibu dan aku masih tidak cukup bagi wanita itu? Kenapa harus sampai sejauh ini kejahatan yang dilakukannya? Mengapa, Ya Allah?" tanya Ghista, yang sudah tidak kuat menahan kesakitan di hatinya.
Ia menarik paksa jarum dan selang yang masih tertancap pada lengannya, lalu berlari keluar dari ruang ICU untuk mencari keberadaan Rima. Kemarahan Ghista sudah tak dapat lagi ditahan sekarang. Semua sudah sampai pada puncak, di mana ia telah bosan untuk bersabar.
Indra dan Dimas melihat sosok Ghista, namun Ghista justru berlari ke arah pintu ruang operasi. Mereka mengejarnya, namun Ghista begitu cepat menghampiri sosok Rima yang dijaga oleh Gunardi agar tidak melarikan diri. Ghista menjambak rambut Rima dengan kuat, seakan sudah tak peduli lagi dengan apapun.
"ARGGHHHHHHH!!!" teriak Rima, "LEPASKAN AKU!!!"
"DASAR PEREMPUAN JAHAT KAMU!!! TEGA-TEGANYA KAMU MEMBOHONGI AYAH SAYA!!! LEO BUKAN ANAKNYA!!! DAN SEKARANG DIA MENGALAMI SHOCK SETELAH TAHU HASIL TES DNA ANAK HARAM YANG KAMU LAHIRKAN ITU!!!" teriak Ghista, murka.
Indra dan Dimas segera melerai, sekaligus menangkap tubuh Ghista agar menjauh dari Rima. Rambut Rima tercabut dengan paksa akibat jambakan yang Ghista lakukan. Gunardi tak ingin membelanya dan justru memalingkan muka seakan tidak melihat apa yang baru saja terjadi.
"MENJAUH DARIKU ANAK SIALAN!!!" balas Rima, namun tak berani mendekat pada Ghista.
"LEPASKAN!!! BIAR AKU MENCABIK-CABIK PEREMPUAN JAHAT ITU!!! LEPASKAN!!!" amuk Ghista.
"Cukup Ghista, cukup Nak!!!" cegah Dimas.
"Ghista Sayang, sudah ya ... sudah ... sekarang bukan dia yang lebih penting untuk kamu urus. Ayo ... kita kembali melihat kondisi Ayah kamu," bujuk Indra, sambil mendekap erat tubuh Ghista.
"Dia perempuan jahat, Kak. Dia ... dia jahat Kak," Ghista menangis meraung-raung karena tak bisa menerima kenyataan.
"Iya Nak, sudah ya. Biar Om yang urus dia dan melaporkannya ke Polisi," Dimas ikut membujuk.
Indra pun segera membawa Ghista menuju ke ruang ICU dan di sana Theo sudah menunggunya dengan wajah putus asa.
"Theo ... mana Ayahku? Mana Ayahku, Theo?" tanya Ghista, begitu lemas karena telah kehabisan tenaga.
"Masih di dalam, dia sudah sadar kembali. Hanya saja, Widya Rahaja dinyatakan meninggal dunia akibat serangan jantung," jawab Theo.
Ghista tak peduli. Ia hanya ingin tahu soal Saga, bukan Widya. Ia kembali masuk ke ruang ICU bersama Indra. Dokter menatap ke arah Ghista.
"Pasangkan kembali jarum dan selangnya, Dokter," pinta Ghista.
Dokter akan memasangkan kembali jarum dan selang untuk tranfusi darah, namun Saga dengan cepat mencegahnya. Saga justru meminta Ghista mendekat padanya.
"Ada apa, Yah? Aku harus pasang dulu jarum dan selangnya," ujar Ghista, dengan kedua mata yang sembab karena tak mampu berhenti menangis.
Saga tersenyum, sambil mengusap airmata Ghista.
"Ma-maafkan Ayah. Kata-kan pada I-bumu, A-yah min-ta ma-af. Ja-ngan per-nah men-jadi se-perti A-yah. Te-tap-lah men-jadi diri-mu yang se-per-ti in-i. Ma-af ...."
Tuuuuuuuuuutttttt!!!
Dengungan panjang dari mesin EKG telah mengakhiri apa yang sedang Ghista hadapi. Hembusan nafas terakhir dari Saga begitu terasa di wajah Ghista. Indra mendekapnya dengan cepat, namun kesakitan di hatinya telah jauh berubah menjadi lebih dalam dari sebelumnya.
* * *
Ghista menatap batu nisan bertuliskan nama Sagara Rahaja yang terpasang dengan rapi, usai pemakamannya siang itu. Airmata itu belum juga mengering dari wajah Ghista, meski banyak orang telah mencoba untuk menghiburnya. Wanita itu masih saja berdiam diri dan tak mengatakan sepatah kata pun, sejak pulang dari rumah sakit kemarin sore.
Ranti masih merangkulnya bersama Dika, mencoba memberinya kekuatan meski mungkin takkan cukup untuk mengobati luka dihati Ghista.
"Aku enggak pernah berharap derita pergi dari hidupku dengan cara seperti ini, Bu. Ayahku memang sudah memberikan aku dan Ibu derita yang panjang, tapi aku tidak pernah berharap dia pergi secepat ini. Aku masih punya harapan, bahwa Ayahku akan berubah. Aku ingin memperlihatkan padanya, bahwa hidup tak selalu harus berlandaskan materi. Aku berhasil, Bu. Aku sudah berhasil mengubahnya. Dia tahu, bahwa selama ini dia salah. Tapi perempuan itu merenggutnya kembali dariku untuk yang kedua kali. Dia merenggut Ayahku untuk yang kedua kalinya, Bu. Dia benar-benar jahat," ungkap Ghista, pada akhirnya.
Ranti memeluknya erat-erat, dan menangis bersama putrinya di hadapan makam Saga yang masih basah. Ranti tahu, bahwa tidak ada ikatan darah yang akan terputus antara anak dan Ayah. Begitu pula dengan Ghista dan Saga. Meski bagaimanapun buruknya Saga, di lubuk hati Ghista yang terdalam Saga tetaplah Ayahnya yang menjadi cinta pertama seorang anak perempuan.
"Sudah Sayang ... sudah ... ikhlaskan kepergian Ayahmu. Ibu ada di sini untukmu, Nak. Ibu tidak akan meninggalkanmu, seperti kamu yang tidak pernah meninggalkan Ibu, bahkan di hidup kita yang tersulit sekalipun. Kita hadapi semuanya bersama ya, Nak. Kita jalani semuanya dari awal lagi," bujuk Ranti.
Ghista pun akhirnya mengangguk setuju pada apa yang Ibunya katakan. Mereka pun bangkit dari hadapan makam tersebut, lalu berjalan bersama sekaligus dengan Dika yang kini membiarkan Ghista merangkul lengannya erat, untuk melepaskan rasa dukanya. Mereka meninggalkan tempat itu, usai melepaskan Saga agar bisa beristirahat dengan tenang di tempat terakhirnya.
"Kita ini manusia biasa yang hanya bisa berusaha mempertahankan, tapi tak bisa memaksakan. Jika sudah waktunya bagi Allah untuk mengambil yang kita cintai, maka kita hanya bisa mengikhlaskan."
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romansa[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...