Theo memarkirkan mobil di halaman rumah seperti biasa. Vika turun lebih dulu, lalu disusul dengan Ghista yang akan membantu Ranti turun dari mobil. Dika--yang duduk di bagian depan bersama Theo--turun paling belakangan.
"Vi, ajak Ibu dan Pak Dika ke dalam duluan ya. Saya mau keluarin boks-boks kue dulu, dari bagasi," pinta Ghista, pada Vika.
"Baik, Bu Ghista," jawab Vika.
Ranti menatap ke arah putrinya.
"Kamu enggak mau minta tolong sama Theo saja, Nak?" saran Ranti.
"Jangan, Bu. Theo capek karena habis menyetir. Biar dia istirahat dulu," jawab Ghista.
Ranti pun hanya bisa tersenyum usai mendapat jawaban seperti itu dari Ghista. Seperti biasa, Ghista memang selalu memprioritaskan kenyamanan orang lain, ketimbang kenyamanan dirinya sendiri. Ranti dan Dika masuk ke dalam bersama Vika, sementara Theo menunggui Ghista sampai selesai.
"Kamu istirahat, ya. Jangan lupa makan siang," pesan Ghista pada Theo.
"Baik, Bu Ghista," jawab Theo, sambil menutup bagasi mobil.
Theo pulang ke rumah sebelah, tempat yang ia tinggali selama ini sejak bekerja dengan Ghista. Ghista sendiri langsung masuk ke dalam rumah, dan disambut oleh Bi Asti yang segera meraih boks-boks kue dari tangan Ghista.
"Makan siang sudah siap, Non Ghista," ujar Bi Asti.
"Kalau begitu tolong bawakan untuk Theo di rumah sebelah ya, Bi. Saya mau ke ruang tengah dulu," pinta Ghista.
"Baik, Non."
Seperginya Bi Asti ke arah dapur, Ghista beranjak ke ruang tengah untuk menemui Dika yang sedang duduk sendiri di sana. Dika tersenyum saat melihat kedatangan Ghista dan tak lagi melamun seperti sebelumnya.
"Pak Dika kenapa?" tanya Ghista.
"Enggak apa-apa. Saya hanya masih tidak mempercayai keadaan saat ini. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, bahwa suatu saat saya akan bertemu kembali dengan Ibumu," jawab Dika, jujur.
Ghista pun tersenyum.
"Kita hanya manusia, Pak. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang dalam kehidupan ini. Itu kata-kata yang sering Bapak katakan di kelas, waktu saya masih SMP. Bapak ingat, 'kan?"
Dika pun mengangguk-anggukan kepalanya seraya tersenyum.
"Kamu memang siswi saya yang paling cerdas. Daya ingatmu itu luar biasa. Saat semua orang mengabaikan apa yang saya katakan, hanya kamu satu-satunya yang masih mengingat kata-kata itu," ujar Dika.
Ranti--yang sudah sejak tadi turun dari lantai atas--tersenyum saat memperhatikan Dika dan Ghista.
"Oh, ya? Ghista memang punya daya ingat sebagus itu, ya?" tanya Ranti, yang kemudian duduk di samping Ghista.
"Enggak, Bu. Aku ini pikunan, kok," jawab Ghista, yang tentu saja membuat Ranti gemas lalu mencubit pipi putrinya.
Ghista meringis pelan sambil menggosok-gosok kedua pipinya yang baru saja terkena cubitan dari Ibunya. Dika hanya bisa tersenyum, saat melihat bagaimana interaksi antara Ibu dan anak yang tengah duduk di hadapannya tersebut. Ia juga tak pernah menduga, kalau Ranti akan menjadi seorang Ibu yang begitu dekat dengan putrinya. Dulu, terkadang ia berpikir bahwa Ranti akan menjadi wanita manja karena berasal dari keluarga berada. Ternyata, apa yang Dika prediksikan salah besar. Ranti justru bertransformasi menjadi Ibu yang sangat bertanggung jawab serta penyayang.
"Jadi ... kapan Pak Dika siap menikah dengan Ibu saya?" tanya Ghista, secara tiba-tiba.
Pertanyaan itu sontak saja membuat Dika dan Ranti saling pandang satu sama lain. Ekspresi terkejut tak bisa mereka sembunyikan sama sekali.
"Saya tahu, Ibu saya ini bukan lagi seorang gadis seperti yang pernah Pak Dika kenal pertama kali di masa lalu. Ibu saya ini sekarang adalah seorang janda beranak satu. Ibu saya telah menjadi janda, bahkan sebelum mantan suaminya benar-benar menceraikan dia," tutur Ghista, apa adanya.
Dika pun kembali menatap Ghista dengan penuh tanda tanya, mengenai maksud dari kata-kata yang baru saja diucapkannya.
"Nak," lirih Ranti, merasa takut.
"Bu," potong Ghista, sambil menepuk-nepuk punggung tangan Ibunya dengan lembut, "kita harus mengatakan yang sebenarnya. Karena hubungan yang baik, adalah hubungan yang tercipta dari sebuah kejujuran," Ghista meyakinkan Ranti.
Ranti pun kembali diam, dan berusaha menahan airmatanya agar tak kembali luruh. Ghista pun kembali menatap ke arah Dika.
"Pak Dika, apa yang saya katakan adalah hal yang benar-benar terjadi. Ya, Ibu saya sudah menjadi janda, bahkan sebelum mantan suaminya menceraikan dia secara sah."
Dika kini mendengarkan baik-baik.
"Pernikahan yang terjadi antara Ibu saya dan Saga Rahaja, adalah hanya karena sebatas tuntutan bisnis antara Keluarga Mahardika dan juga Keluarga Rahaja. Ibu saya tidak mencintai Saga Rahaja dan menikah hanya karena kepatuhan terhadap orangtua. Begitu pula dengan Saga Rahaja, yang tidak mencintai Ibu saya dan menikah hanya karena Ibu saya adalah anak orang yang lebih kaya daripada keluarganya," tutur Ghista.
Ranti menyandarkan kepalanya pada pundak Ghista, dan berusaha menutupi wajahnya yang kini telah basah oleh airmata.
"Mereka tidak pernah tidur satu kamar sejak menikah. Bahkan adanya saya di dunia ini pun adalah karena kesalahan, yang diakibatkan oleh Saga Rahaja sendiri. Dia pulang dalam keadaan mabuk dan salah masuk kamar, hingga tanpa sadar melakukan hubungan dengan Ibu saya, dan itu pun hanya terjadi satu kali dalam masa lima tahun pernikahan mereka."
"Apa???" Dika terdengar marah.
"Ya ... begitulah adanya, Pak Dika. Kehadiran saya memang tidak diinginkan oleh Saga Rahaja. Itulah sebabnya ketika dia menceraikan Ibu dan mengusirnya dari rumah Keluarga Rahaja, saya pun ikut diusir. Bukan hanya karena saya sering membela Ibu dan melindunginya, tapi alasan 'tidak diinginkan' itulah yang menjadi penyebab sebenarnya," jelas Ghista, yang kemudian tersenyum santai di hadapan Dika.
Hal itu membuat Dika bisa melihat, bahwa sebenarnya Ghista tengah menahan luka yang takkan pernah bisa sembuh dari dalam hatinya. Ghista yang tegar, Ghista yang kuat, dan Ghista yang selalu kokoh ketika berpijak tak lebih dari seorang Ghista yang rapuh.
"Jadi, saya berharap Pak Dika tidak akan merasa salah paham ketika saya menanyakan tentang kapan Pak Dika siap menikah dengan Ibu saya. Saya tahu betul, bahwa Ibu saya hanya mencintai Pak Dika di sepanjang hidupnya, dan sampai saat ini pun masih begitu. Ibu saya masih mencintai Pak Dika," ungkap Ghista.
"Saya pun begitu. Saya juga masih mencintai Ibumu," balas Dika, tanpa menyembunyikan apa pun.
Ranti mengangkat wajahnya, dan menatap Ghista dengan serius.
"Tapi Ibu tidak mau meninggalkan kamu. Ibu tidak bisa jauh-jauh dari kamu. Kamu tahu betul akan hal itu, Nak," Ranti benar-benar merasa takut.
"Bu, Ibu akan menikah dengan Pak Dika, dan aku akan tetap jadi anak Ibu. Justru dengan begitu, kita akan punya keluarga yang lengkap. Ada Ibu, aku, dan juga Ayah," ujar Ghista, seraya menatap ke arah Dika dengan penuh ketulusan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...