Ghista meminum teh mawar yang baru saja dibuatnya. Ia duduk dengan tenang di kursi kerja yang ada di kantor pribadinya, di dalam rumah itu. Ya, alih-alih membangun sebuah gedung bertingkat yang elit, Ghista lebih suka bekerja di rumahnya sendiri. Selain karena ia bisa tetap memperhatikan Ibunya selama dua puluh empat jam, hal itu juga membuatnya merasa jauh lebih nyaman ketimbang harus selalu pergi ke kantor yang jaraknya jauh dari rumah.
Apa yang Ghista pilih sebagai jalan hidupnya, terkadang sering dipertanyakan oleh banyak orang. Sebagai pemilik dan CEO dari Salzburg Residence. Ia dinilai terlalu memiliki banyak keanehan. Padahal tanpa sepengetahuan orang lain, ia memiliki trauma sendiri terhadap hidup yang biasa orang lain jalani. Baginya, menjalani hidup yang tidak sama dengan jalan hidup orang lain, adalah hal yang bisa ia lakukan untuk menghapus trauma di dalam ingatannya.
Vika datang tak lama kemudian. Ghista menyambutnya dengan senyuman ramah seperti biasanya. Ia meraih satu pasang cangkir bening dari lemari yang ada di kantor pribadinya tersebut, lalu mulai menyajikan teh untuk Vika sebelum pekerjaan mereka dimulai hari itu.
"Silakan diminum, Vi," ujar Ghista.
"Terima kasih, Bu Ghista. Ibu selalu saja repot-repot menyajikan teh untuk saya. Saya menjadi tidak enak kalau begini terus, Bu Ghista," ujar Vika, mengakui apa yang dirasakannya.
Ghista hanya tersenyum.
"Memanusiakan manusia, adalah hal yang sering diabaikan oleh manusia di dunia ini. Manusia lebih cenderung bertingkah seperti hewan, ketika menghadapi manusia lainnya," ujar Ghista.
Vika mendengarkan baik-baik, sambil menikmati teh mawar hangat di cangkirnya.
"Memang benar, bahwa kamu adalah bawahan saya hari ini. Tapi hal itu tentu tidak akan selamanya terjadi. Suatu saat, kamu akan melangkah di jalanmu sendiri dan bahkan kamu bisa melampaui apa yang saya sudah raih hari ini. Jadi, jika saya tidak ingin menerima perlakuan buruk dari kamu di masa depan nanti, maka saya harus bisa memuliakan kamu selayaknya manusia terhadap manusia lainnya. Saya tentu tidak ingin kamu memendam sakit hati terhadap saya sebagai atasan kamu. Di masa depan, siapa pernah tahu tentang roda yang berputar. Hari ini saya di atas, di masa depan mungkin kamu yang akan ada di atas. Bagaimana? Apakah alasan saya menyajikan kamu teh setiap pagi, sudah bisa diterima?" tanya Ghista, seraya tersenyum ke arah Vika.
Vika pun ikut tersenyum lalu mengangguk pelan, untuk menjawab pertanyaan Ghista melalui bahasa isyarat. Ghista pun menyodorkan sepiring kue bolu cokelat buatan Ranti, agar Vika bisa sekalian sarapan pagi.
"Oh ya, kamu sudah yakin tentang informasi yang tadi kamu kirimkan pada saya?" tanya Ghista, saat Vika tengah mencicipi kue bolu yang Ghista sodorkan.
"Saya yakin seratus persen, Bu Ghista. Orang itu adalah orang yang Bu Ghista cari," jawab Vika.
"Apa kamu sudah mendapatkan alamatnya?" Ghista terlihat sangat berharap.
"Sampai saat ini saya belum mendapatkan alamatnya, Bu Ghista. Orang itu sudah lama pindah dari alamat lamanya, dan juga sudah lama berhenti dari tempatnya bekerja. Saya akan terus berusaha mencarinya, Bu Ghista. Hanya saja, saya perlu waktu," jelas Vika, merasa tak enak pada Ghista karena kinerja kerjanya yang lambat.
Ghista pun tersenyum ke arah Vika.
"Jangan terlalu dipikirkan, Vi. Santai saja. Cari semampu yang kamu bisa. Itu bukan hal mendesak yang harus kamu penuhi," ujar Ghista.
Vika pun mengangguk, lalu kembali membuka buku agendanya.
"Nanti siang Bu Ghista ada jadwal untuk meninjau pembangunan Salzburg Residence, tepatnya di Blok H. Mungkin ada beberapa hal yang ingin Bu Ghista tambahkan dalam pembangunan tersebut. Nanti saya akan koordinasikan dengan kepala proyeknya," ujar Vika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romansa[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...