Ghista menatap ke arah Ibunya yang tampak sangat terkejut, ketika melihat sosok orang yang datang ke toko kue itu. Bahkan, orang itu juga ikut menatap tak percaya ke arah Ranti, hingga keduanya terdiam secara serempak. Karena merasa penasaran, Ghista pun akhirnya berjalan mendekat ke arah orang tersebut yang masih juga berdiri di ambang pintu toko.
"Selamat datang di MHD Bakery, ada yang bisa kami bantu?" sapa Ghista, sangat ramah.
Orang itu pun tergagap saat Ghista menyapanya. Ranti segera mendekat ke arah Ghista dan orang itu.
"Nak, kenalkan ... ini Om Dimas. Kamu masih ingat, 'kan? Om Dimas ini anaknya Kakek Wahyu," ujar Ranti, mengingatkan Ghista dengan masa kecilnya dulu.
Ghista pun kini kembali teringat dengan masa-masa itu. Masa di mana ketika ia berkunjung ke rumah Almarhum Eyang Kakungnya. Hal itu membuatnya juga teringat dengan sosok Dimas yang dulu sering menggendongnya ketika ia berusia empat tahun.
"Oh, iya. Aku ingat, Bu. Om Dimas yang dulu sering menggendongku di rumah Almarhum Eyang Kakungku, 'kan?" tanya Ghista, secara langsung pada Dimas.
Dimas pun tersenyum lembut ke arah Ghista.
"Iya, Nak. Benar sekali," jawabnya.
Ghista pun segera mencium tangan Dimas dengan sopan, seperti yang biasa ia lakukan pada Ibunya sendiri. Putra Dimas--Indra--yang baru muncul di belakang Ayahnya melihat hal tersebut, dan menatap aneh pada Ghista yang wajahnya belum terlihat.
"Pa, apakah ini benar-benar toko kue milik Bibi Ranti yang Papa cari?" tanya Indra.
Ghista pun mengangkat wajahnya, dan melepaskan pegangan tangannya dari tangan Dimas. Ranti maupun Ghista segera menatap ke arah Indra secara bersamaan. Kedua mata Indra membola saat melihat sosok Ghista yang sudah begitu lama dicari-cari olehnya.
"Ghista?" Indra ingin memastikan.
"Kak Indra? Apa kabar?" Ghista balas bertanya dengan santai.
"Loh? Kalian sudah pernah bertemu disaat dewasa? Seingat Papa, kamu dan Ghista dulu hanya pernah bertemu saat masih anak-anak, loh. Bahkan Ghista saat itu masih balita," tanya Dimas, agak kaget.
Indra pun mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia menjadi amat sangat serba salah saat itu, terlebih karena Ghista--mantan Adik kelas favoritnya--sedang menatap ke arahnya seperti dulu. Datar.
"Iya, Pa. Kami saling kenal. Ghista adalah Adik kelasku, dulu, di SMP Taruna Jaya," jawab Indra.
"Oh ya? Ghista ini anaknya Bibi Ranti loh, Ndra. Kamu masih ingat sama Bibi Ranti, 'kan?" Dimas menunjukkan sosok Ranti pada Indra.
"Iya, Pa. Indra masih ingat, kok ..."
Ranti pun tersenyum ke arah Indra, yang kini juga meraih tangan wanita paruh baya itu dan menciumnya dengan sopan.
"... hanya saja aku nggak menyangka sama sekali, kalau Ghista yang kita cari, adalah Ghista yang pernah menjadi Adik kelasku di SMP," lanjut Indra
Ranti tersenyum saat melihat sosok Indra yang sudah jauh berbeda dari saat terakhir kali ia bertemu dengannya.
"Wah ... kamu sudah dewasa sekarang, Nak. Rasanya sudah sangat lama Bibi tidak melihatmu, dan agak kaget karena kamu sudah berubah menjadi seorang pemuda yang tampan," puji Ranti.
Indra pun kembali mendadak salah tingkah, usai mendapat pujian seperti itu dari Ranti. Hal itu tentu membuat Dimas tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Indra.
"Meskipun begitu, dia masih anak kecil yang sama Dek Ranti. Masih sering ngambek kalau ada hal yang tidak disukainya," ujar Dimas.
Apa yang Dimas katakan seakan membuat Ghista mendapat jalan untuk mengingatkan mereka akan masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Ibu
Romance[COMPLETED] Siapa yang telah berani memporak-porandakan hati Ibuku, diusianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun, dengan membuatnya jatuh cinta kembali dan tersenyum bahagia setelah bergelimang luka selama hampir separuh hidupnya terjalani? ...