15 | MENEMUI SANG CINTA PERTAMA

144 22 0
                                    

Tepat pukul tiga sore Ghista dan Indra akhirnya tiba di daerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Tepatnya di Desa Jayagiri, alamat yang didapatkan oleh Indra mengenai keberadaan Dika. Keduanya menyusuri jalanan sambil melihat-lihat nomor di setiap rumah yang mereka lewati. Hingga akhirnya sampailah mereka pada rumah bernomor empat puluh enam.

"Yakin, ini rumahnya?" tanya Ghista.

"Kalau menurut alamat yang aku dapat sih, memang sepertinya ini rumahnya Pak Dika, Ta," jawab Indra.

"Ya sudah. Ayo kita turun, Kak," ajak Ghista.

Indra pun mengangguk setuju, lalu turun bersama-sama dengan Ghista. Mereka baru akan melangkah menuju ke arah pintu rumah tersebut, namun pintu itu sudah terbuka lebih dulu dan penghuninya keluar. Langkah Ghista dan Indra pun terhenti seketika, saat menatap sosok yang mereka cari.

"Assalamu'alaikum, Pak Dika," sapa Indra, mewakili Ghista yang saat itu sedang merasa sedikit gugup.

"Wa'alaikumsalam. Indra, ya? Dan kamu Ghista, 'kan?" tanya Dika, takut salah mengingat.

"I--iya Pak Dika. Benar. Saya Indra dan ini Ghista," jawab Indra.

Ghista masih terdiam di tempatnya, sementara Dika sudah tersenyum untuk menyambut kedua mantan muridnya di SMP Taruna Jaya. Dika berjalan mendekat, dan Ghista pun memberanikan dirinya untuk berbicara pada pria itu.

"Assalamu'alaikum, Pak Dika. Apa kabar?" sapa Ghista, sehingga membuat Dika berhenti tepat di depannya.

Dika tersenyum lepas.

"Wa'alaikumsalam, Ghista. Alhamdulillah, kabar Bapak baik. Kabarmu sendiri bagaimana? Apakah baik-baik saja?" Dika balas bertanya.

Ghista terdiam kembali selama beberapa saat. Hal itu membuat Indra ingin membantu Ghista bicara, namun Ghista kembali memberanikan dirinya untuk berbicara langsung pada Dika.

"Kabar secara jasmani Alhamdulillah baik-baik saja, Pak. Tapi, sangat tidak baik secara batin," jawab Ghista.

Dika berusaha mengartikan apa arti jawaban yang Ghista utarakan.

"Hm ... apa maksudnya, itu?" tanya Dika, sambil tertawa lepas seperti dulu.

Ghista menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Setelah ia bisa menguasai dirinya, ia memantapkan keputusannya dengan sepenuh hati.

"Lebih tepatnya keadaan batin Ibu saya yang tidak pernah baik-baik saja, sejak dia meninggalkan Pak Dika demi memenuhi perjodohan yang diatur oleh Almarhum kedua orangtuanya," tutur Ghista. "Ibu saya, Ranti Mahardika."

DEG!!!

Raut wajah Dika seketika berubah dalam sekejap, usai Ghista menyebut nama Ranti dengan lengkap. Ghista bisa melihat kekhawatiran yang begitu jelas pada kedua mata Dika. Dan pada saat itu juga, Ghista bisa merasakan bahwa apa yang Ibunya rasakan pada Dika, juga masih ada di hati pria itu.

"Kamu ... kamu Putrinya Ranti Mahardika?" tanya Dika, seakan masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Iya, Pak Dika. Saya Aghista Mahardika, Putri kandung Ranti Mahardika," jawab Ghista.

"Tapi bukankah seharusnya kamu memakai nama belakang Rahaja, karena nama belakang Ayahmu adalah ...."

"Sampai saya mati, tidak akan pernah saya mau memakai nama itu di belakang nama saya, Pak Dika," potong Ghista dengan cepat. "Setelah apa yang keluarga itu lakukan pada saya dan Ibu saya di masa lalu, saya tidak akan pernah sudi mengakui nama itu sebagai bagian dari hidup saya."

Dika pun kembali terdiam, lalu menatap ke arah Indra seakan membutuhkan penjelasan.

"Biarkan Ghista bicara dengan anda, Pak Dika. Biarkan Ghista menjelaskan segalanya tentang apa yang terjadi selama dua puluh tahun terakhir ini," pinta Indra, agar Dika mau mendengarkan.

Dika pun mengangguk setuju.

"Ayo, silakan masuk. Kita bicara di dalam," ajak Dika, mempersilahkan.

Ghista dan Indra pun mengikuti langkah Dika menuju ke dalam rumah pria itu. Dika beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman, sementara Ghista dan Indra menunggu di ruang tamu. Dika kembali ke ruang tamu tak lama kemudian, dengan sebuah baki berisi tiga cangkir teh hangat beserta cemilan. Dika duduk di sofa tunggal yang kosong, tak jauh dari sofa yang ditempati oleh Ghista dan Indra.

"Jadi, ada apa selama dua puluh tahun terakhir? Apa yang terjadi pada kamu dan Ibumu?" tanya Dika, dengan raut wajah cemas.

Ghista pun membuka tas yang ia bawa, lalu mengeluarkan buku agenda milik Ibunya yang diambil diam-diam sebelum pergi tadi pagi. Ghista meletakkan buku agenda itu di atas meja, persis di samping cangkir teh milik Dika.

"Setelah Eyang Kakung dan Eyang Suri saya meninggal dunia, Widya Rahaja dengan segera membalik nama seluruh aset Keluarga Mahardika, menjadi atas nama Keluarga Rahaja," Ghista memulai.

Dika mendengarkan, sambil menatap lurus pada buku agenda yang begitu ia kenali sebagai buku agenda milik Ranti.

"Setelah semua aset kekayaan Keluarga Mahardika diambil alih, Saga Rahaja menceraikan Ibu saya, lalu mengusir Ibu beserta saya sendiri karena dianggap sebagai ahli waris yang tidak diinginkan. Pada hari itu juga, Saga Rahaja dengan sengaja membawa wanita simpanannya yang tengah hamil ke rumah Keluarga Rahaja, karena bayi yang dikandungnya saat itu adalah bayi laki-laki, bukan perempuan seperti saya."

Ghista terdiam selama beberapa saat, demi menguatkan dirinya agar tetap bisa mengungkapkan apa yang terjadi di masa lalu.

"Saga Rahaja dengan sengaja memukuli Ibu saya habis-habisan, dan saya tidak punya pilihan lain selain memintanya lari bersama saya hari itu juga. Selama dua puluh tahun kami bersembunyi. Kami berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Sampai akhirnya saya menemukan jalan untuk menjadikan hidup kami jauh lebih baik dari sebelumnya, dengan menjadi seorang penulis novel online."

Dika masih mendengarkan. Sementara Indra tetap berada di samping Ghista untuk menguatkan wanita itu.

"Kehidupan kami kini membaik dan Ibu tidak perlu lagi susah payah berjuang, karena sekarang adalah giliran saya untuk berjuang demi kebahagiaannya. Itulah alasannya, kenapa saya datang ke sini untuk mencari Pak Dika. Saya ingin memperjuangkan kebahagiaan Ibu saya, dengan mempertemukannya kembali dengan Pak Dika, cinta pertamanya yang masih ia ingat sampai detik ini."

Ghista pun membukakan bagian paling akhir yang ditulis oleh Ranti beberapa hari yang lalu, dan membiarkan Dika membacanya. Ghista menatap ke arah Indra dan meminta pria itu menggenggam tangannya yang gemetar dan dingin sejak tadi. Indra melakukannya. Ia menggenggam tangan Ghista dengan erat, memberinya kekuatan untuk terus berjuang.

Setetes airmata terjatuh membasahi wajah Dika yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan, usai membaca isi agenda milik Ranti. Hatinya yang selalu merasakan rindu pada cinta pertamanya tersebut, tiba-tiba bergetar hebat seakan ingin berteriak dan mengatakan bahwa ia sudah tak bisa membendung perasaan cinta yang terkubur sejak dua puluh lima tahun lalu sejak Ranti meninggalkannya. Ia seakan tak bisa lagi diam, setelah tahu kalau Ranti hidup menderita selama dua puluh tahun karena perbuatan Saga Rahaja yang hanya menginginkan harta Keluarga Mahardika.

"Pak Dika," tegur Ghista.

Membuat Dika kini kembali menatap wajah putri dari cinta pertamanya.

"Bersediakah Bapak menemui Ibu saya?" tanya Ghista.

Dika pun mengangguk dengan mantap.

"Ya ... saya bersedia menemui Ibumu, Nak," jawabnya.

"Lalu, setelah bertemu dengannya, bersediakah Bapak untuk menikah dengan Ibu saya dan menjadi pria terakhir yang akan memberikan bahagia untuk Ibu saya?" tanya Ghista sekali lagi, dengan kedua mata yang sudah tak mampu mebendung airmata.

"Ya. Saya bersedia."

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang