11 | JATUH DALAM DEKAP HANGATNYA

178 20 0
                                    

Ghista semakin menenggelamkan dirinya di balik selimut, karena rasa sakit di pinggangnya semakin menjadi-jadi. Jamu yang tadi pagi dibuatkan oleh Ibunya, kini telah hampir habis karena terus ia minum tanpa henti. Indra--yang tak kembali lagi ke kantor--pun mencoba sebisanya untuk membuat Ghista tenang. Dia sangat bisa merasakan bagaimana tidak nyamannya Ghista saat itu, karena ia sering melihat Ibunya sendiri segelisah itu.

Dimas, Ajeng, dan Ranti sedang berbicara di ruang tengah. Banyak hal yang telah terlewat selama dua puluh tahun terakhir, ketika mereka tidak lagi bertemu.

"Namanya Leo. Leo Putra Rahaja. Itu yang kami dengar. Kami pernah melihatnya sekali, dan entah kenapa kami merasa ada yang aneh dengan anak itu dan juga Ibunya," ujar Dimas.

Ranti hanya tersenyum saat mendengarnya. Ia tak menunjukkan kemarahan ataupun kekesalan sama sekali.

"Biarkan saja. Aku sudah tidak ingin tahu apa-apa lagi, tentang hidup mantan Suamiku itu. Memiliki Ghista di dalam hidupku, rasanya sudah lebih dari cukup. Aku tidak perlu lagi mengusik kenangan pahit itu," ujar Ranti, begitu lapang dada.

"Tapi masalahnya Mbak, mereka sudah berbuat sesuatu yang keji terhadap Mbak dan Ghista. Mereka membalik nama seluruh aset milik Keluarga Mahardika, lalu dengan seenaknya menendang Mbak dan Ghista seakan kalian berdua adalah sampah. Hal itulah yang sangat mengusik hati nurani kami, Mbak Ranti," jelas Ajeng.

"Kamu benar, Dek. Benar sekali. Tapi aku memang sudah tidak peduli. Apa pun yang mereka lakukan di masa lalu, aku tidak mau mengungkitnya lagi. Aku tidak mau perasaan Ghista semakin terluka, jika sampai tahu tentang betapa bejat Ayah kandungnya. Tolong hargai keinginanku ini, Dek," pinta Ranti, pada Ajeng.

Ghista dan Indra tentu saja mendengar hal itu dengan jelas dari ruang tamu. Mereka berdua hanya berpura-pura tak mendengar sejak tadi, demi menjaga perasaan Ranti. Indra menggenggam tangan Ghista erat-erat, seakan menunjukkan bahwa ia akan selalu ada untuk memberi kekuatan pada wanita itu. Ghista membiarkannya, namun tak juga membalasnya. Ia merasa takut. Takut mengikat harapan pada hal yang belum tentu memiliki kepastian.

Vika masuk ke dalam tak lama kemudian, dengan sangat terburu-buru.

"Bu Ghista, ada hal yang ...."

"Ssttt!!! Di luar," bisik Ghista, mencegah Vika bersuara terlalu keras.

Vika pun mengangguk, lalu segera kembali keluar. Ghista menatap ke arah Indra.

"Ayo, Kakak mau ikut keluar atau tidak?" ajak Ghista.

Indra pun mengangguk dengan mantap, lalu segera berdiri bersama Ghista dan berjalan keluar rumah. Vika dan Theo telah menunggu di samping rumah. Ghista dan Indra pun mendekat ke arah mereka.

"Katakan, Vi. Ada apa?" tanya Ghista.

Vika dan Theo menatap ke arah Indra, dan merasa ragu-ragu.

"Katakan saja, dia boleh tahu," ujar Ghista yang mengerti tentang keragu-raguan Theo dan Vika.

"Leo menghubungi Ibu Amanda, Bu Ghista. Dia sedang mencoba bernegosiasi untuk memiliki sebuah lokasi pembangunan di wilayah bagian belakang Salzburg Residence," jelas Vika.

Ghista pun tersenyum santai, sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Indra menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Akhirnya dia memakan umpan itu. Bagus ... bagus sekali. Katakan pada Ibu Amanda untuk mengulur-ulur negosiasi itu. Buat Leo menjadi kesal dan biarkan dia mulai berbuat ceroboh," pinta Ghista.

"Baik, Bu Ghista," jawab Vika.

Ghista beralih pada Theo.

"Theo, tetap awasi gerak-gerik Leo dan laporkan pada saya."

"Baik, Bu Ghista," jawab Theo.

Ghista pun memberi tanda pada Indra untuk ikut dengannya. Indra kembali berjalan di samping Ghista, namun kali ini jauh lebih santai daripada tadi saat mereka baru akan menemui Vika dan Theo.

"Jadi, kamu sudah tahu tentang Leo?" tanya Indra.

"Iya Kak, aku sudah tahu. Aku sengaja diam, agar Ibuku tak perlu lagi mengingat-ingat masa kelam dalam hidupnya. Aku hanya ingin membahagiakan Ibu, dan memberikan yang terbaik untuknya. Maka dari itu, aku lebih fokus mencari keberadaan Pak Dika, ketimbang memberi pelajaran pada Saga Rahaja," jawab Ghista, jujur.

"Lalu, apa tujuanmu membuat Leo tergiur untuk bernegosiasi pada wilayah di belakang Salzburg Residence?" Indra ingin tahu.

Ghista kembali tersenyum.

"Untuk membuatnya melakukan kecerobohan," jawab Ghista, "Saga Rahaja pernah menendang Ibuku dan membuatnya malu di depan banyak orang. Sekarang adalah giliranku untuk membuat anaknya malu di depan banyak orang, karena kecerobohannya sendiri."

"Tapi kamu juga Putri kandung Saga Rahaja, Ta," Indra mengingatkan.

"Tidak ada yang tahu mengenai hal itu, Kak. Yang semua orang tahu, Saga Rahaja hanya memiliki satu orang Putra bernama Leo, dan Leo ini sudah cukup terkenal dikalangan para orang-orang kelas atas akan kecerobohannya pada calon klien. Dia sudah menggagalkan beberapa kali perjanjian kerjasama dengan calon klien, hingga membuat Keluarga Rahaja merugi," jelas Ghista.

"Ya Allah, segitu bodohnya kah dia?" Indra terlihat sangat tak habis pikir, usai mendengar penjelasan dari Ghista.

Ghista mengangkat kedua bahunya dengan santai.

"Begitulah ketika seseorang hidup di tengah didikan yang terlalu bangga dengan uang dan kekuasaan. Dia dididik dengan uang. Jika tidak naik kelas maka orangtuanya akan menyogok dengan uang, jika ada kendala maka orangtuanya akan menutup mulut orang lain dengan uang. Jadi, memang dia tidak akan bisa melakukan apa pun tanpa uang," ujar Ghista.

Indra meringis mendengar hal itu.

"Dia tidak tahu betapa kita dituntut untuk memiliki nilai yang baik secara alami oleh orangtua kita. Hidup macam apa yang dia jalani, sehingga selalu membuat kecerobohan yang merugikan seperti itu?" pikir Indra, tak sanggup membayangkan.

Drrrttt... drrrttt... drrrttt!!!

Ponsel milik Indra bergetar di dalam saku celananya. Pria itu segera mengeluarkan benda pipih itu dan melihat siapa yang menghubunginya. Kedua matanya pun mendadak membola saat melihat layar ponselnya. Hal itu membuat Ghista menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan Indra?

"Ketemu!" seru Indra, sambil mengguncang tubuh Ghista secara mendadak.

Ghista melotot seketika akibat rasa kaget, karena kelakuan Indra yang tiba-tiba kembali seperti anak kecil berusia lima tahun di hadapannya.

"Ketemu, Ta! Ketemu!" seru Indra sekali lagi.

"Apanya yang ketemu, Kak? Kakak ngomongnya yang jelas, dong," tanya Ghista, setengah gemas pada kelakuan Indra yang masih mengguncang-guncang tubuhnya.

Indra pun segera berhenti mengguncang-guncang tubuh Ghista, lalu menatapnya dengan serius sambil tersenyum bahagia. Hal itu membuat wajah Ghista bersemu merah jambu, karena untuk pertama kalinya ia benar-benar memperhatikan wajah Indra dari jarak yang begitu dekat.

"Pak Dika, Ta! Pak Dika! Aku berhasil menemukan di mana tempat tinggalnya Pak Dika yang baru," jelas Indra, penuh semangat.

Ghista pun kini benar-benar kehabisan kata-kata yang seharusnya ia ungkapkan pada Indra, setelah tahu kalau pria itu benar-benar berjuang untuknya. Ia hanya bisa menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Indra, dan membiarkan hatinya ikut tenggelam ke dalam dekap hangat pria itu.

"Terima kasih, Kak. Terima kasih," bisik Ghista, penuh makna.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang