21 | RENCANA UNTUK LEO

124 20 0
                                    

"Saat ini, saya masih harus memikirkan tentang pekerjaan. Sudah hampir enam tahun saya berhenti mengajar, dan hanya memberi les privat dari rumah ke rumah. Saya harus mencari pekerjaan terlebih dahulu, sebelum menikahi Ibumu," ujar Dika.

Ghista mengangguk-anggukan kepalanya.

"Saya tahu tentang hal itu, Pak Dika. Maka dari itu, saya sudah menyiapkan pekerjaan yang bisa langsung Pak Dika isi setelah Bapak pindah dari Lembang, ke rumah ini," tanggap Ghista. "Vi, tolong ambilkan berkas yang kemarin saya simpan di laci," pinta Ghista, pada Vika yang sedang bekerja di ruang depan.

Vika datang tak lama kemudian, untuk menyerahkan berkas yang diminta oleh Ghista. Ghista menerima berkas itu, lalu segera menyerahkannya pada Dika. Ranti menatap hal itu dengan ekspresi yang sangat tidak percaya pada apa yang sedang dilihatnya. Entah sejak kapan Ghista mempersiapkan semua itu, hingga saat ini semuanya terlihat benar-benar telah siap untuk dilakukan.

"Terima kasih ya, Vi," ucap Ghista.

"Sama-sama, Bu Ghista," balas Vika, lalu segera pergi kembali ke ruang depan.

Ghista pun kembali menatap ke arah Dika, yang kini tengah membaca isi berkas tersebut.

"Saya sudah bicara dengan Pak Wanto, Kepala Sekolah SMP Taruna Jaya. Beliau mengatakan pada saya, bahwa jika Pak Dika memang bersedia untuk mengajar lagi, maka Pak Dika akan kembali diterima mengajar di sana," jelas Ghista.

Dika kini ikut menatap tak percaya, seperti yang tadi Ranti lakukan terhadap Ghista.

"Kamu benar-benar telah menyiapkan semuanya, ya? Kamu benar-benar tidak mau ada sedikit pun hal yang akan menjadi penghalang bagi saya dan Ibumu untuk melangsungkan pernikahan?" tanya Dika.

Ghista tersenyum.

"Bukankah saya sudah mengatakannya pada Bapak, bahwa saya akan selalu memastikan kebahagiaan untuk Ibu saya. Dan saya tidak akan membiarkan hal sekecil apa pun untuk menjadi penghalang kebahagiaannya," jawab Ghista.

Ranti pun memeluk Ghista dari arah samping, dan kembali menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher putrinya. Ghista mengusap-usap lembut lengan Ranti yang tengah melingkari tubuhnya. Dika pun kembali tersenyum, namun dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa pria itu merasa tak enak hati pada Ghista.

"Entah apa yang harus saya katakan padamu, setelah semua hal yang kamu lakukan untuk mempertemukan saya dan Ibumu serta setelah semua hal yang kamu lakukan untuk mempersatukan kami. Saya begitu bingung, harus melakukan apa saat ini," ungkap Dika, dengan jujur.

"Bapak tidak perlu mengatakan apanpun. Bapak juga tidak perlu merasa bingung untuk melakukan sesuatu. Saya mempertemukan Bapak dengan Ibu saya, saya juga akan mempersatukan Bapak dengan Ibu saya, dan berdasarkan hal itulah saya harus menjamin bahwa apa yang saya lakukan untuk Pak Dika dan Ibu tidak akan menimbulkan konflik apa pun di dalam rumah tangga kita," tanggap Ghista.

Ranti pun mengecup pipi kiri Ghista dengan lembut dan hal itu membuat Ghista tersenyum senang.

"Kamu memang selalu berhasil membuat Ibu terkejut dengan tindakanmu. Kamu, tidak pernah sama sekali membuat Ibu kecewa. Justru semua tindakanmu itu selalu membuat Ibu bahagia," ungkap Ranti.

"Benarkah?" tanya Ghista, yang segera dijawab dengan anggukan oleh Ranti. "Kalau begitu, sekarang giliran Ibu dan Pak Dika yang harus berbicara berdua. Buatlah keputusan dan katakan padaku jika keputusannya sudah bulat," pinta Ghista.

Vika kembali ke ruang tengah, untuk menemui Ghista.

"Maaf Bu Ghista, Ibu Amanda datang untuk bertemu dengan anda," ujarnya, memberitahu.

"Oh, iya. Tolong ajak Ibu Amanda ke ruang kerja saya. Katakan padanya, kalau saya akan segera menemui Beliau," pinta Ghista.

"Baik, Bu Ghista."

Ghista pun kembali menatap Dika dan Ranti secara bergantian, seraya tersenyum.

"Aku harus kembali bekerja. Jadi, silakan bicara berdua dan katakan padaku kalau hasil keputusannya sudah ada," Ghista kembali mengingatkan.

"Iya, pergilah temui tamumu, Nak," balas Ranti.

Ghista pun bangkit dari sofa yang didudukinya sejak tadi. Ia segera pergi dari ruang tengah, menuju ruang kerja untuk menemui tamunya. Dika pun segera berpindah tempat dan duduk di samping Ranti. Ia membawa Ranti ke dalam pelukannya yang hangat dan menentramkan.

"Kamu Ibu yang hebat. Kamu berhasil membesarkan seorang Putri dan mendidiknya dengan baik. Dia adalah cerminan hidupmu dan aku bangga melihatnya, karena kamu telah membentuknya menjadi seorang wanita yang tangguh. Saga mungkin tidak pernah mengharapkannya, tapi kamu dan aku adalah orang-orang yang sangat mencintainya," ungkap Dika, sambil berusaha menahan rasa harunya.

Ranti berupaya menghapus airmata itu dari wajah pria yang selalu ia cintai selama ini. Ia merasa sangat bersalah, karena telah membuatnya meneteskan airmata akibat luka yang pernah tergores di masa lalu.

"Aku akan menikahi kamu, Ranti. Aku akan menjadikanmu Istriku dan menjagamu sampai akhir hayatku nanti. Aku juga akan menjadi Ayah untuk Ghista, Putri kita," janji Dika.

"Iya, aku juga akan berusaha menjadi Istri yang baik untukmu, Mas. Maafkan kesalahanku, maafkan karena aku pernah menggoreskan luka di hatimu. Mari kita menjalani hidup yang baru, Mas. Di mana hidup baru itu akan ada aku, kamu, dan juga Ghista di dalamnya. Mungkin semuanya tidak akan sesempurna harapan kita saat masih remaja. Tapi aku janji, semuanya akan berjalan dengan baik meski tidak benar-benar sempurna. Insya Allah," janji Ranti.

Dika pun tersenyum bahagia usai mendengar apa yang Ranti janjikan. Ia segera mengecup kening Ranti dengan lembut dan penuh cinta, demi mengakhiri luka yang pernah ada di antara mereka berdua.

"Kalau begitu, mari kita minta Ghista untuk menentukan tanggalnya. Aku harap dia bersedia menikahkan kita tanpa menunggu lebih lama lagi," ujar Dika.

Ranti pun tertawa pelan.

"Percayalah, Mas. Jika ada orang di rumah ini yang paling tidak sabar untuk melihat kita menikah, Ghista-lah orangnya," balas Ranti.

Ghista duduk di hadapan Amanda, wanita yang ia percaya setelah Vika. Amanda telah menjalani tugasnya, untuk berpura-pura menjadi pemilik lahan yang tengah diincar oleh Leo Putra Rahaja. Kini, keadaan itu masih berlanjut dan masih sengaja dibuat terombang-ambing oleh Ghista.

"Leo mulai menunjukkan sikap tidak sabarnya, Bu Ghista. Hal ini sudah tentu adalah kabar baik untuk anda," ujar Amanda.

Ghista tetap tak berekspresi. Lebih tepatnya, ia tidak menunjukkan bahwa dirinya senang akan keadaan itu.

"Bagus. Lanjutkan tugasmu. Buat Leo menjadi semakin tidak sabaran. Karena semakin dia tidak bisa menahan diri, maka sifat cerobohnya juga akan segera terlihat," perintah Ghista.

"Tentu saja, Bu Ghista. Akan saya lanjutkan tugas itu dengan sangat baik," jawab Amanda.

"Oh ya, satu lagi. Awasi Widya Rahaja dan cari tahu semua hal yang berkaitan dengan wanita itu. Laporkan semuanya dengan lengkap, jangan sampai ada yang terlewat," tambah Ghista.

"Baik, Bu Ghista. Kalau begitu, saya permisi dulu," pamit Amanda.

Setelah Amanda pergi, Vika pun masuk ke ruang kerja Ghista.

"Tolong tetap awasi Leo seperti biasanya, Vi. Katakan pada Theo untuk mulai mendekatinya agar bisa mendapatkan informasi. Gunakan hal-hal yang bisa mendukung Theo dalam tugasnya," pinta Ghista.

"Baik, Bu Ghista. Akan segera saya katakan pada Theo," jawab Vika.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang