24 | DUA JANJI UNTUK RANTI

125 21 0
                                    

Ghista menatap sosok Ibunya yang kini telah berdiri dalam balutan gaun pengantin berwarna purple gray. Sosok wanita tangguh yang telah membesarkan dan mendidiknya selama dua puluh lima tahun itu, kini terlihat sangat cantik berkali-kali lipat dari yang biasa Ghista saksikan. Dia tersenyum penuh kebahagiaan, seraya merentangkan kedua tangan untuk menyambut Ghista ke dalam pelukannya.

"Ibu ...." lirih Ghista, yang masih nampak tak percaya kalau Ibunya akan segera menempuh hidup baru bersama Dika.

"Anakku Sayang. Putri kesayangan Ibu ... jangan jauh-jauh dari Ibu, ya. Tetap bersama Ibu meski kini segala sesuatunya akan jelas jauh berbeda dari yang biasa kita jalani," pinta Ranti, dengan penuh cinta yang besar terhadap Ghista.

Ghista menganggukkan kepalanya, seraya menepis buliran bening dari kedua sudut mata Ibunya. Ia tak mau ada setetes pun airmata yang akan berpotensi merusak riasan cantik di wajah Ibunya hari itu. Ranti harus benar-benar tampil sempurna saat datang ke dalam hidup Dika dan Ghista akan memastikan hal itu terjadi sesuai dengan harapannya.

"Ayo, kita turun ke bawah. Calon Ayahku sudah menunggu kedatangan Ibu, agar ijab kabulnya bisa segera terlaksana," ajak Ghista, penuh semangat.

Ranti memperhatikan wajah putri semata wayangnya. Ia masih saja begitu takut untuk melangkahkan kaki menuju lembaran hidup yang baru. Namun Ghista justru sebaliknya. Dia terus mendorong Ranti, agar bisa meraih bahagianya yang pernah terlewatkan bersama Dika. Hal itu membuatnya tak kuasa menolak dan memilih untuk mengikuti arus yang Ghista pilihkan untuknya.

Kedua wanita cantik itu berjalan keluar dari kamar pengantin. Ajeng menyambut keduanya di luar pintu kamar, lalu menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai bawah. Dika telah menunggu di sana bersama Dimas, Indra, dan juga penghulu yang akan menikahkan Ranti dan Dika.

Dika menatap ke arah Ranti dengan penuh cinta. Begitu pula sebaliknya, Ranti menatap ke arah Dika dengan perasaan cinta yang sama. Ghista dan Ajeng membantu Ranti duduk di samping Dika, lalu memakaikan mereka kain brokat panjang berwarna putih, di kepala kedua calon pengantin tersebut. Dika pun segera menjabat tangan penghulu yang sudah duduk di hadapannya. Ghista dan Ajeng duduk di kursi samping meja yang akan digunakan untuk ijab kabul.

"Bismillahirrahmannirrahim, saya nikahkan dan kawinkan saudara Andika Rizaldi S.Pd bin Almarhum Tirta Rizaldi dengan saudari Miranti Mahardika binti Almarhum Rama Mahardika, dengan mahar satu set perhiasan emas seberat sepuluh gram beserta seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an dibayar tunai karena Allah ta'ala," ujar penghulu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Miranti Mahardika binti Almarhum Rama Mahardika, dengan mahar satu set perhiasan emas seberat sepuluh gram beserta seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an dibayar tunai karena Allah ta'ala," jawab Dika, dalam satu tarikan nafas.

Penghulu pun segera meminta pernyataan semua saksi yang ada di sampingnya. Dimas dan Indra memberikan jawaban, begitu juga dengan Ketua RT dan Bapak Lurah yang diminta untuk menjadi saksi dalam pernikahan tersebut.

"Sah?" tanyanya.

"Sah!" jawab para saksi, serempak.

"Alhamdulillah, sah!!!" putus penghulu.

"Alhamdulillahi rabbil 'alamiin."

Penghulu pun mengangkat kedua tangannya untuk berdoa seusai ijab kabul.

"Bismillahirrahmannirrahim, Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jama'a bainakumaa fii khoir. Semoga Allah memberkahi kalian, baik dalam keadaan suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan. Aamiin yaa rabbal 'alamiin."

"Aamiin yaa rabbal 'alamiin."

Ranti pun segera mencium tangan Dika dengan penuh rasa haru. Akhirnya, setelah dua puluh lima tahun terpisah karena kesalahan, kini cinta mereka berdua benar-benar bisa bersatu dalam ikatan pernikahan yang sakral. Ghista memberikan cincin untuk Dika pakaikan pada jemari Ibunya. Begitu pula dengan Indra yang memberikan cincin pada Ranti untuk dipakaikan ke jemari Dika.

Ranti dan Dika menatap ke arah Ghista yang tersenyum paling bahagia untuk mereka berdua pada saat itu.

"Ibu ... Ayah ...." lirih Ghista, yang mulai tak bisa mengendalikan rasa haru serta airmatanya.

"Sini Sayang, peluk Ibu," pinta Ranti.

Ghista memenuhi permintaan itu, lalu merentangkan satu tangan lainnya untuk menyambut Dika. Dika pun ikut mendekat dan memeluk kedua wanita yang kini akan menjadi bagian hidupnya sampai akhir hayat menjemput diusia senja nanti. Ajeng, Dimas, dan Indra menatap mereka dengan bahagia, serta ikut mendoakan agar semuanya baik-baik saja tanpa perlu lagi ada yang namanya derita.

"Ayah ... jaga Ibu baik-baik, ya. Aku percayakan hidup Ibu di tangan Ayah dan aku harap bagaimanapun bentuk badai yang datang dalam rumah tangga kalian nanti, kalian harus tetap bertahan sekuat tenaga. Jangan pernah menyerah satu sama lain. Semua akan baik-baik saja, jika kalian berdua tetap saling menjaga dan percaya. Aku akan ada untuk kalian, kapanpun yang kalian butuhkan. Aku akan ikut melindungi ikatan yang terjalin hari ini, sekuat dan semampu yang aku bisa. Insya Allah," janji Ghista, pada Dika dan Ranti.

"Ayah tidak akan mengecewakan kamu, Nak. Ayah tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan untuk menjaga Ibumu dan membahagiakannya hingga akhir hayat nanti. Insya Allah," Dika pun ikut berjanji.

Ranti menangis haru, saat melihat suami dan putrinya yang saling berjanji untuk membahagiakan dan melindungi dirinya. Ia benar-benar tak pernah membayangkan, kalau hari bahagia seperti ini akan hadir di dalam perjalanan hidupnya. Luka lama itu memang masih ada, namun kini mulai terbaluti oleh bahagia yang datang karena perjuangan Ghista.

"Ayo, para tamu sudah menunggu di luar. Nanti mereka keburu kepanasan kalau kalian tidak segera duduk ke pelaminan," ajak Ajeng, sekaligus mengingatkan.

Ghista kembali menyeka airmata di wajah Ibunya, dan sedikit memperbaiki make-up di wajah Ranti. Dika segera menggandeng tangan Ranti untuk dibawa menuju ke pelaminan. Ghista berjalan di belakang mereka bersama Indra dan menjadi pengiring pengantin paling serasi yang pernah ada di sebuah acara pernikahan.

"Wah ... Cah Bagusku sudah tahu caranya menggandeng calon menantuku, Pa. Kapan kira-kira ya, giliran Indra dan Ghista yang menikah?" celetuk Ajeng, dengan sengaja.

Hal itu tentu membuat wajah Ghista memerah seketika. Sementara Vika, Theo, Shiren, dan pada karyawati lainnya hanya bisa tertawa akibat mendengar celetukan yang super lantang tersebut. Ghista melirik ke arah Indra yang terlihat santai-santai saja, meskipun telah mendengar celetukan dari Ibunya sendiri. Membuat Ghista menjadi bingung sendiri, kenapa Ajeng tiba-tiba berkata begitu dan tampak sangat bahagia.

Sebelum Dika dan Ranti benar-benar duduk di pelaminan, mereka diminta untuk melemparkan bunga pengantin yang sejak tadi dipegang oleh Ranti. Semua yang hadir, dan yang berstatus belum menikah mempersiapkan diri untuk menangkap lemparan bunga tersebut.

Dan ternyata tak perlu waktu lama, bunga tersebut mendarat dengan mulus tepat di tangan Ghista yang masih terlihat setengah tak percaya.

"HOREEEEEE!!!"

Ranti dan Dika pun ikut tertawa saat melihat wajah putri mereka yang sangat shock dengan kenyataan.

"INDRA!!! AWAS KAMU KALAU MASIH JUGA NGGAK BERANI MELAMAR GHISTA, YA!!!" ancam Ajeng, tak main-main.

"Eh??? Apa juga artinya itu???" tanya Ghista, yang kini mendadak bodoh.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang