17 | YANG TERNYATA KISAH NYATA

133 22 0
                                    

Mobil yang Indra kemudikan akhirnya tiba di halaman rumah Ghista, di Salzburg Residence Blok A. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam saat itu, dan kemungkinan Ranti masih menungguinya.

"Pak Dika sembunyi dulu, ya. Biar Ibuku enggak lihat keberadaan Pak Dika malam ini," pinta Ghista.

Dika pun mengangguk setuju. Pria itu langsung bersembunyi dengan cara berbaring di jok belakang. Indra dan Ghista pun keluar dari mobil. Ranti membukakan pintu tak lama kemudian, sesuai dengan prediksi Ghista.

"Assalamu'alaikum, Bu," ujar Ghista, yang langsung memeluk Ibunya.

"Wa'alaikumsalam. Pulangnya kok malam sekali? Tidak terjadi apa-apa di jalan, 'kan?" tanya Ranti, khawatir.

Dika mengintip sebisa mungkin saat mendengar suara Ranti yang tak pernah berubah. Ia melakukan itu, demi bisa melihat wajah Ranti lagi, setelah dua puluh lima tahun tidak bertemu. Rasa rindu di hatinya semakin meluap tak karuan, saat akhirnya bisa melihat wajah wanita yang begitu ia cintai sejak remaja. Wajah cinta pertamanya.

"Alhamdulillah enggak ada apa-apa kok Bu, di jalan tadi. Cuma 'kan Kak Indra harus berhenti beberapa kali karena capek menyetir, Bu," jawab Ghista.

"Maaf ya, Bi. Lain kali aku enggak akan bawa Ghista liburan terlalu jauh, deh," janji Indra.

"Eh, bukan begitu maksudnya. Kalau mau ajak Ghista liburan, ya ajak saja. Tapi sering-seringlah mengabari, biar Bibi enggak khawatir," jelas Ranti, agar Indra tidak kapok berlibur bersama Ghista.

"Ya sudah ... sekarang biarkan Kak Indra pulang ya, Bu. Ini sudah malam, nanti Tante Ajeng dan Om Dimas khawatir sama keadaan Kak Indra," saran Ghista.

"Iya, benar sekali. Kamu langsung pulang ya, Nak. Hati-hati di jalan," pesan Ranti.

"Iya, Bi. Aku pulang dulu, assalamu'alaikum," pamit Indra, sambil mencium tangan Ranti.

"Wa'alaikumsalam," balas Ranti dan Ghista, kompak.

Indra pun bergegas berjalan menuju ke arah mobilnya kembali. Pria itu segera melajukan mobilnya, dan meninggalkan halaman rumah Ghista bersama Dika yang masih bersembunyi. Ghista pun segera mengajak Ibunya masuk ke dalam rumah, setelah mobil milik Indra benar-benar tak terlihat lagi.

* * *

Ajeng dan Dimas pun ternganga, usai mendengar penjelasan dari Indra mengenai Dika--yang saat itu ikut ke rumah bersamanya--secara lengkap.

"Ya Allah Ghista ... sampai segitunya dia ingin memberikan yang terbaik untuk Mbak Ranti. Ya Allah ...." Ajeng kembali menangis, karena terus mengingat Ghista dan semua tindakannya.

Dimas pun segera merangkul istrinya, agar tidak kembali bersedih. Dika semakin penasaran, apakah ada lagi hal yang belum ia dengar dari Ghista mengenai hidupnya bersama Ranti? Mengapa kedua orangtua Indra sampai berekspresi sesedih itu, saat tahu Ghista berjuang keras untuk mempertemukan Ranti dengan dirinya?

"Pak Dika, silakan beristirahat malam ini. Besok, kami akan mengantar Pak Dika untuk bertemu dengan Dek Ranti, seperti yang Ghista inginkan," ujar Dimas.

"Terima kasih banyak, Pak Dimas. Tapi maaf sebelumnya, bolehkah saya bertanya sesuatu?" pinta Dika.

"Tentu, Pak Dika. Silakan tanyakan, apa pun yang ingin Pak Dika tanyakan," Dimas mempersilahkan.

Ajeng menghapus airmatanya. Indra berusaha menenangkan Ibunya dan membiarkan Ayahnya berbicara dengan Dika.

"Sebenarnya, apa yang terjadi dua puluh tahun lalu pada Ranti dan juga Nak Ghista?" tanya Dika.

Dimas menarik nafasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Dika melihat ekspresi wajah yang begitu kelam ketika Dimas akan bercerita.

"Dua puluh tahun yang lalu, Rama Mahardika dan Arum Mahardika ditemukan tewas dalam kecelakaan yang terjadi di jalan raya dekat vila mereka di Sukabumi. Saat itu Almarhum Papa saya mengira, bahwa itu hanyalah kecelakaan biasa. Tapi sayangnya, Polisi menemukan beberapa kejanggalan dalam peristiwa kecelakaan tersebut," tutur Dimas.

"Kejanggalan? Kejanggalan macam apa maksudnya, Pak Dimas?" Dika semakin penasaran.

"Kejanggalan yang ditemukan Polisi adalah tentang kabel rem mobil mereka yang sudah terputus, sebelum kecelakaan itu terjadi. Hal itu di dapatkan oleh Polisi berdasarkan jejak minyak dari kabel rem yang sudah menetes di sepanjang jalanan dari arah vila mereka. Dari sanalah, Almarhum Papa saya mencurigai seluruh anggota Keluarga Rahaja sebagai dalang dari kematian mereka. Dan hal itu terbukti, karena sesaat setelah berita kematian Rama dan Arum Mahardika sampai ke telinga Dek Ranti, Keluarga Rahaja bergegas mengambil alih seluruh aset Keluarga Mahardika dan mengubah menjadi atas nama mereka," jelas Dimas.

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Lalu, setelah itu Saga dengan tega menceraikan Ranti dan mengusirnya bersama dengan Putri kandungnya sendiri?"

Dika kini terdengar marah, usai mengetahui tentang hal itu.

"Bukan hanya itu," ujar Ajeng, sambil menahan tangisnya. "Mbak Ranti bilang sendiri pada saya tadi sore, bahwa sebelum mereka melarikan diri dan bersembunyi, Saga menyiksa Mbak Ranti habis-habisan dan bahkan ikut memukuli Ghista yang baru berusia lima tahun, karena berupaya melindungi Ibunya."

Indra pun terbelalak seketika, saat mendengar apa Ibunya katakan.

"Mbak Ranti bilang, di tubuh Ghista bukan hanya ada bekas luka akibat cambukan, tetapi juga ada bekas luka bakar akibat bara api yang Saga lemparkan ke arah Mbak Ranti. Ghista melindunginya dan tidak mau melepaskan pelukannya dari Mbak Ranti, meski Mbak Ranti memohon. Mereka baru bisa melarikan diri, saat Mbak Ranti berhasil membuka ikatan pada tangan dan kakinya. Sejak itulah, mereka terus bersembunyi, karena tak ingin lagi dikejar oleh orang-orang suruhan Keluarga Rahaja," jelas Ajeng, sambil menahan perih di hatinya atas penderitaan Ranti dan Ghista.

"Jadi ... apa yang tertulis dalam novel karangan Ghista, adalah kenyataan sebenarnya yang dia dan Bibi Ranti alami? Begitu maksudnya, Ma?" desak Indra.

Ajeng pun menganggukkan kepalanya, sambil menatap wajah putranya dengan penuh sesal karena tak bisa melakukan apa pun di masa lalu untuk Ranti dan Ghista.

"Bentang Luka Dunia Gracie karya Mahardika G., apakah itu adalah novel yang ditulis oleh Ghista?" tanya Dika, pada Indra.

"Ya, benar Pak Dika. Apakah Bapak juga membaca novel itu?" Indra balik bertanya.

"Ya, saya membacanya, Nak. Saya mengikuti alur ceritanya sampai saat ini, karena novel itu masih berstatus berlanjut. Saya langsung terpikir ke arah novel itu, karena saya ingat persis ketika tokoh Gracie menggambarkan bagaimana malam penyiksaan yang menimpa dirinya dan juga Ibunya, dua puluh tahun yang lalu," ujar Dika, mengakui.

"Itulah juga yang membuat Mbak Ranti akhirnya bercerita pada saya tadi sore. Sekretaris Ghista yang bernama Vika, mengungkit juga soal kejadian penyiksaan yang begitu mencekam dalam novel itu. Dan Mbak Ranti membenarkannya, bahwa itu memang kisah hidup Ghista dan Mbak Ranti sendiri. Dia bahkan memperlihatkan salah satu bekas luka yang ada di bagian lengannya, dan bekas luka itu sangatlah dalam hingga takkan bisa menghilang," ungkap Ajeng.

"Astaghfirullah ... Ya Allah ... kenapa Ghista menyimpan semua itu sendirian tanpa mengatakannya padaku?" tanya Indra, lebih kepada dirinya sendiri.

* * *

Jodoh Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang