L i m a

318 53 1
                                    

"Mah, minum vitamin dulu. semangat ya kerjanya jangan cape-cape." ucap Ziana seraya menaruh Vitamin dan segelas air dihadapan Alena yang sedang makan.

Alena bekerja sebagai pegawai kantoran, karna kalo tidak bekerja Alen akan menghidupi Ziana dengan apa? bahkan mantan suaminya saja tak pernah memberi uang sepeserpun untuk Ziana.

"Iya, sayang. kamu juga semangat ya belajarnya," balas Alena.

Ziana menyunggingkan senyuman, dia kasian sekali pada Alena yang selalu bekerja hingga larut malam. Alena pasti lelah, namun Ziana persis tau mengapa Mamahnya selalu menyibukan diri, karna dia tak ingin pikirannya terus diisi oleh Ayahnya itu. Ziana juga tau Alena sungguh sangat mencintai Ayahnya.

"Mah," panggil Ziana.

Alena mengangkat alisnya seolah mengatakan apa. Ziana menundukkan kepala. "Buang jauh-jauh perasaan Mamah untuk si brengsek itu." tajamnya.

Mata Ziana memerah menahan tangis kala Alena tak menjawab. Dia tahu jawaban keterdiaman Alena.

"Dia udah nyakitin Mamah dan Mamah masih mencintai dia," ucap Ziana dengan nada sedikit emosi.

"Jangan bilang Mamah masih mengharapkan dia untuk kembali!" lanjutnya dengan tegas.

Alena tersenyum miris, "Mamah gak bisa ngelupain dia, tapi berharap untuk dia kembali itu tak pernah ada dibenak Mamah." ucapnya.

"Walaupun dia pernah nyakitin Mamah, bukan berarti Mamah harus membencinya bukan? bagaimanapun dulu dia pernah menjadi sosok laki-laki yang selalu bertanggung jawab bahkan sangat menyayangi Mamah dan kamu." katanya lagi.

Alena terlalu baik, Ziana kurang suka. harusnya dia balas dendam untuk semuanya, paling tidak membencinya.

oOo

"Anak-anak, Bapak bawa teman baru untuk kalian." beritahu Pak Andi yang baru saja masuk dan berdiri didepan kelas.

Seisi kelas langsung riuh, menebak-nebak siapa murid baru dikelasnya.

"Berisik, ditinggal sebentar langsung rame kayak pasar," protes Pak Andi yang membuat semuanya hening kembali. "Ayo, masuk Nak," ajak Pak Andi seraya berjalan kembali ketempat duduknya.

Seorang gadis cantik, bertubuh minimalis dengan rambut panjang yang ia biarkan tergerai, kulitnya yang putih, hidung mancung, bola mata berwarna coklat terang seperti memakai soflen, lalu bibir mungilnya berwarna peach. Sungguh, dia hampir sempurna. Sehingga semua laki-laki membuka mulutnya karna terpesona oleh kecantikan gadis itu.

"Hai, kenalin nama gue Vika Arabella." ucapnya sambil tersenyum.

Semua orang hanya menatap Vika tanpa suara, kecuali Ziana juga Leon. Vika merasa risih karna ditatap seperti itu oleh semua orang.

"Baiklah, kamu duduk sebelah Ziana." titah Pak Santoso sambil menunjuk bangkunya.

Ketika Vika berjalan pun semua laki-laki masih menatapnya tanpa henti, apalagi Bara yang mengikuti kemana Vika berjalan.

"Heh, heh! perhatikan kesini!" teriak Pak Andi sambil menggedor papan tulis yang membuat semuanya tersadar.

"Liat yang cantik aja, gak kicep," katanya.

"Emang cantik dia Pak," timpal Delvin.

"Belajar, belajar! heh kamu Bara! liat kedepan!" teriak Pak Andi saat melihat Bara masih fokus memperhatikan Vika.

Bara terlonjak kaget, dia langsung mendelik tajam pada Pak Andi. "Bisa gak sih gausah ngerusakin kebahagian orang?" desis Bara.

"Berani kamu sama saya!" bentak Pak Andi sambil melotot.

Nyali Bara langsung ciut seketika, "Idih, apaansi Bapak, orang saya ngomong sama Adit," elaknya.

"Alasan aja kamu!" ucap Pak Santoso lalu menulis di papan tulis.

"Kenapa mereka pada liatin gue?" tanya Vika ragu pada Ziana.

"Karna, lo cantik." jawab Ziana singkat.

Pak Andi sudah membuka tutup spidol siap menulis dipapan tulis. Seketika urung kala mengingat sesuatu, Guru pria dengan rambut yang sudah dipenuhi uban dan kacamata yang bertengger dihidunhnya itu berbalik menatap kebangku Leon dengan mata menyipit.

"Leon, mana stroberi yang kamu janjiin," tagihnya.

Leon tersenyum manis, senyuman yang membuat para kaum hawa menolak untuk mengalihkan tatapannya.

"Tenang Pak, saya bawa kok." katanya.

Tatapannya mengarah pada bangku Gibran dan Delvin yakni sahabat dekatnya. Kedua cowo itu mengerti atas tatapan Leon langsung memberikan satu tanaman stroberi dengan bagian dahannya yang dibungkus oleh koran.

"Ini untuk Bapak tersayang," ucap Leon sambil menyerahkan tanaman itu.

Pak Andi tersenyum menerima tanaman itu. "Anak sultan kok ngasihnya satu," sindir Pak Andi lalu membuka bungkus koran.

Betapa terkejutnya dia kala tanamannya cacat, dimana akar dan dahannya terpisah.

Pak Andi menatap Leon murka. "Leon! kamu mau ngerjain saya ya! bagaimana bisa tumbuh kalo akarnya patah!" bentak Pak Andi marah.

"Maaf Pak, namanya juga hasil nyuri punya tetangga." Leon repleks menutup mulutnya karena keceplosan.

"Apa!!" teriak Pak Andi kaget diiringi dengan tawaan seisi kelas.

"Tapi ini masih bisa disambung Pak, nih liat," ucap Leon lalu mengambil alih tanaman stroberi yang terpisah dari akarnya.

Cowo itu mengeluarkan solatif dari saku celananya lalu menyambungkan akar dan dahannya menggunakan solatif itu.

"Beres deh, bukan masalah besar ini mah." ucap Leon lalu menyerahkan kembali tanaman itu.

"Leon! kamu pikir setelah kamu sambung seperti ini masih bisa tumbuh dan berbuah haa? punya otak itu dipake!" teriaknya murka.

"Kalo hasil maling tuh yang rapi, biar gak ketahuan!"

Leon menggaruk belakang kepalanya. "Ini kerjaan Gibran sama Delvin Pak yang gak bener padahal saya udah bayar mahal." celetuk Leon.

"Heh, malah nyalahin gue. Salahin tuh Bu Jumarti keluar rumah pake acara tereak-tereak segala, gue kan jadi panik." curhat Gibran.

"Stop! Bapak! ngajarin murid tuh yang bener!" teriak Zia membuat Pak Andi membekap mulutnya karena menyadari kesalahan dari perkataannya.

"Maafin Bapak, ucapan yang tadi tuh anggap aja angin lalu." kata Pak Andi menyesal.

Pak Andi menghadap pada Leon lalu mendelik tajam. "Kecil-kecil udah diajar maling gede mau jadi apa kamu?! mikir kamu Leon! awas kamu kalo ngelakuin ini lagi!" ancam Pak Andi. "Keluar kamu jangan ikut pelajaran saya! Gibran, Delvin kalian juga keluar!" perintah Pak Andi.

"Siap Pak!" seru mereka bertiga.

Seperti tak ada beban dan rasa bersalah ketiga cowo itu berjalan beriringan keluar kelas dengan santainya.

Pak Andi berdecak sebal. "Berhenti kalian!" langkah ketiga pemuda itu terhenti diambang pintu lalu berbalik.

"Duduk kembali! Dikeluarin dari kelas malah keenakan kalian! kerjaan tugas halaman 156, 30 menit harus sudah selesai!"

"Apaa!!" teriak ketiganya berbarengan.

My Leon King! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang