T i g a p u l u h

252 52 5
                                    

Sudah pertengahan malam, karena terbangun dan tidak bisa tertidur lagi, Leon beranjak dari ranjangnya keluar kamar. Dia masuk ke ruangan sebelah kamarnya. Ruangan rahasia miliknya. Tidak boleh ada yang menyentuh pintu itu apalagi masuk kedalamnya. Lagipula ruangan itu selalu terkunci.

Kesan pertama saat membuka pintu hitam besar itu, gelap. Leon meraba saklar lampu yang ada tembok samping pintu.

Terang, tampak jelas barang-barang yang tertata rapi disana. Ruangannya cukup besar dengan cat hitam dan putih. Rak buku yang menjulang tinggi ada disana. Tunggu! banyak sekali lukisan indah tertata rapi ditembok juga yang ditumpuk diletakan dilemari bahkan dilantai.

Leon duduk dikursi. Dihadapannya kini ada kanvas yang dijepit oleh easel. Cowo itu mulai menggerakan pensil mencoreti kanvas putih polos itu. Leon hobi melukis sejak kecil. Ilmunya dalam melukis sudah tidak bisa diragukan lagi. Tapi, dia tidak berani menunjukannya pada orang banyak, sehingga banyak lukisan yang telah dia buat tersimpan rapi diruangan itu.

Siapa sangka, dibalik sifat suka sombongnya dan selalu mengagungkan dirinya aslinya Leon memiliki sifat mudah incesure. Apalagi jika menyakut kemampuannya.

Bakatnya selalu ia pendam, sedikit yang mengetahuinya hanya orang tua dan teman dekatnya. Bisa dikategorikan Leon ini cowo misterius, susah ditebak juga.

Dia menatap hasil karyanya sambil tersenyum puas. Wajah seorang prempuan yang tengah tertawa lepas. Siapa lagi jika bukan Ziana. Ahh, Leon sudah benar-benar gila karena cewe itu. Bahkan banyak sekali lukisan wajah Ziana yang ia buat. Jika ingin tahu, Leon sudah sejak lama mengidam-idamkan Ziana. Akhirnya sekarang kesampaian, ya walaupun dia tahu, perasaan Ziana tak sama dengannya.

"Gila! selain ngelukis gue juga ahli dalam alat musik bisa masak pula. Ziana, Ziana lo beruntung jadi pacar gue." monolognya sambil geleng-geleng kepala.

oOo

Ziana menguap lebar, dia merangkak turun dari ranjang menghiraukan perutnya yang dari malam keroncongan. Tentu Ziana sangat amat lapar, tapi dia masih marah pada Alena alhasil dari kemarin sore hingga sekarang dia tidak keluar kamar. Alena yang memanggilnya beberapa kali untuk makan, Ziana menulikan telinga.

Selesai mandi, gadis itu sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Dia duduk didepan meja rias menatap dirinya dipantulan cermin. Sial! perutnya kembali berbunyi minta diisi.

Ketukan dipintu membuatnya menoleh. "Zia, keluar sayang, Mamah khawatir sama kamu dari kemarin sore belum makan. Kamu boleh marah sama Mamah tapi jangan nyiksa diri karena gak makan. Kamu gak salah. Mamah yang salah." cerocosnya diluar sana sambil mengetuk-ngetuk pintu.

Ziana sudah selesai merapikan rambut, memakai bedak dan lip blam. Dia mendekati pintu. Jika dia kelaparan lalu jatuh sakit? konyol sekali. Dia tidak ingin mencari gara-gara untuk tubuhnya.

Pintu terbuka menampakan Alena dengan bocah kecil dipangkuannya.

"Kamu masih marah sama Mamah?" tanya Alena dengan nada sendu.

Ya iyalah! pake nanya lagi. batinnya.


Ziana tidak berniat menjawab. Dia melengos pergi menuruni anak tangga disusul Alena dibelakangnya dengan si kecil masih setia dipangkuannya.

"Tata, talo Buna nana itu didawab," tegur bocah yang Ziana sama sekali tidak ketahui namanya.

Ziana sangat menyukai anak kecil. Bahkan melihat bocah cadel menggemaskan itu membuat Ziana mati-matian agar tidak mencubit dan menciumi pipi gembulnya. Bocah itu juga terlihat pintar dan sopan.

My Leon King! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang