T i g a p u l u h e n a m

216 47 10
                                    

"So, kenapa lo suka mawar biru sama bunga matahari?" tanya Ziana menatap cowo disampingnya.

Leon terkekeh kecil. "Oh jadi lo mau ngepoin tentang gue, buat belajar jadi seorang istri yang baik ya," goda Leon. "Oke, gue bakal kasih tau semuanya." imbuhnya lalu mengerlingkan matanya genit.

Ziana menaikan satu alisnya menunggu jawaban cowo disampingnya yang ikut berjongkok.

"Suka aja sih, gak ada alasan." balas Leon.

Ziana tampak tak puas dengan jawaban cowo itu. "Yang bener,"

Leon membelai daun bunga matahari miliknya. "Beneran gak ada alasan lain, selain cantik bunga matahari sama mawar biru juga punya arti yang sama. Kesetian. Kayak gue ke elo," ucap Leon genit.

Ziana mendecih pelan. "Lebay lo kek cewe." timpalnya.

Leon berdecak. "Gue suka sama bunga tapi lebih suka sama lo." katanya lalu menaik turunkan alisnya.

Ziana berdiri diikuti Leon. "Yaudah kalo gitu boleh dong gue injek bunganya?" tanya Ziana sambil mengangkat kaki siap akan menginjak.

Leon memelototkan mata. "Ya gak gitu juga kali Zi." desis Leon.

Setelah, dari taman belakang kini keduanya masuk kedalam rumah. Mata bulat Ziana menangkap se sosok anak kecil yang familiar sekali.

"Afzar, ngapain disini?" tanya Ziana heran kala bocah itu berada dirumah Leon.

"Tata!" teriak Afzar semringah.

"Afzar emang suka main disini, Om Areos sering nitipin ke Mamah pas belum nikah sama Mamah Alena." beritahu Leon.

Ziana terdiam. Kenapa dirinya tidak tahu? arghh! sialan semua orang tidak memberitahu detailnya.

"Om Areos sahabat-nya Ayah." beritahu Leon lagi.

Ziana mengangguk-anggukan kepala tanda ia mengerti. "Afzar, Bunda dimana?" tanya Ziana lembut sambil mengusap pipi gembul milik bocah itu.

"Bunda sama Ayah kamu lagi ada urusan." jawab Karina yang muncul dari dari dapur.

Ziana mengernyit. 'kaya kok gak sanggup sewa baby sitter sih. ini kan jadi ngerepotin orang' batin Ziana sebal.

"Tante pasti ini ngerepotin banget." ucap Ziana tak enak hati.

Karina menggeleng. "Enggak sama sekali, Afzar bukan anak yang rewel lho, tante malah seneng kalo ada dia disini. Enak kalo ada anak kecil." ucap Karina.

Mata tajam Leon memicing. "Leon gak suka ya sama kalimat terkahir Mamah. Awas aja kalo sampe bikin bayi lagi. Leon kabur nih dari rumah!" tajamnya.

Karina geleng-geleng kepala, tak aneh lagi dengan ancaman itu. "Ngancem aja bisanya." cibir Karina lalu berlalu pergi ke dapur.

Kini mereka berdua sudah berdiri dihadapan pintu hitam ruangan milik Leon yang kemarin sempat ingin Ziana masuki namun Leon melarangnya. Sekarang, cowo itu harus memperlihatkan isi ruangannya karena sudah janji untuk menuruti semua perintah pacarnya sebagai ganti Ziana untuk tidak membahas dan melupakan club sialan itu!

Cklek. Ziana dibuat melongo karena ruangan itu didominasi oleh lukisan yang sangat indah di setiap sisi dindingnya. Gadis itu langsung nyelonong masuk dengan wajah takjubnya.

"Ini siapa yang lukis?" tanya Ziana sambil melihat sebuah lukisan matahari terbenam.

Matanya kembali menatap Leon, "Lo yang lukis semua ini kan Le?" tanya Ziana.

Leon mengangguk ragu. Ziana terkejut, tak menyangkan bahwa Leon memang pandai melukis. Ternyata semua orang memiliki kelebihannya masing-masing. Begitupun Leon. Dia nakal, selalu mendapat nilai nol bahkan malas dalam belajar. Tapi lihat, dia hebat dalam melukis. Belum tentu orang lain bisa, bukan?

"Kenapa gak pernah cerita atau nunjukin sama orang lain?" tanya Ziana penasaran sambil berjalan melihat-lihat lukisan yang terpasang di dinding ataupun yang tergeletak dilantai.

"Buat apa? masih banyak orang diluar sana yang lebih hebat ngelukisnya daripada gue." ucap Leon.

Ziana berdecak. "Jadi lo incesure ya?" tanya Ziana lagi.

Leon terdiam, memang benar apa yang dikatakan Ziana. Dia tidak percaya diri untuk menunjukan karya-nya pada orang lain. Sungguh dia takut pendapat orang tentang lukisannya. Mungkin Ziana memuji karyanya tapi orang lain belum tentu, mengatakan yang sama.

"Gue baru tau, seorang Leon bisa incesure, gue kira lo emang selalu sombong," ucap Ziana lalu terkekeh pelan.

Bukan tanpa sebab Ziana berkata seperti itu, pasalnya memang cowo itu selalu sombong, mulai dari menunjukan kehebatannya bisa mengalahkan beberapa preman, sombong dengan ketampanannya, kekayaannya, bahkan ketika matematika mendapat nilai 2 saja dia selalu menyombongkannya. Seolah itu adalah pencapaian terbaiknya ketika mengerjakan matematika.

Leon mendesis, "Gue juga manusia kali!"

Ziana tertawa, matanya menangkap beberapa tumpuk lukisan yang ditutupi oleh kain. Cewe itu menghampirinya lalu berjongkok dan membuka kain itu.

Matanya sontak melotot dengan bibir terbuka. Itu lukisan wajah dirinya. Oh my god! dan lukisan ini yang kemarin Ziana lihat tergantung di dinding.

"Busett, ini wajah gue!" pekik Ziana yang membuat Leon menghampiri cewe itu.

Terbongkar sudah.

"Lo-" Ziana tak mampu melanjutkan perkataannya. Dia sibuk melihat-lihat dengan wajah takjubnya.

"Iya, gue selalu lukis lo kalo lagi kangen," ujar Leon jujur.

Ziana terkekeh. "Cielah, gombal banget. Bilang aja lo ngefans sama gue sampe segininya."

Leon mendengus, gadis ini memang tidak bisa diajak serius.

Mata bulat Ziana kembali menangkap rak yang dipenuhi buku- tapi, entahlah. Itu kelihatannya seperti…

"Komik. Lo suka baca komik ya?"

Leon mengangguk. "Gue juga bisa piano, lo mau liat?" Ziana sengan semangat mengangguk.

Leon tersenyum simpul kemudian duduk dihadapan piano berwarna hitam miliknya.

Jari jemarinya kini menari indah dengan lincah menekan tuts demi tuts sehingga menghasilkan irama yang indah.

Leon memainkannya dengan wajah bahagia dan damai. Ziana yang mendengarnya-pun terhanyut. Memandang Leon yang berkali-kali lebih tampan juga memukau.

"Gue keren kan?" pertanyaan Leon sontak saja membuyarkan lamunan Ziana.

Leon terkekeh kecil. "Sampe ngelamun gitu saking takjubnya sama semua keahlian gue," ucap Leon dengan nada sombognya.

Ziana mendelik, "Lo bagus, udah cocok jadi tukang keyboard diacara dangdutan." ejek Ziana lalu tertawa.

Senyum Leon luntur seketika. "Jadi, cita-cita lo mau jadi apa? tukang bunga, pelukis, jaga perpus atau pemegang keyboard?" tanya Ziana sambil menaik turunkan alisnya.

"Nikahin lo," jawabnya dengan wajah datar.

Ziana memutar bola matanya malas. "Mimpi dulu sono."

Leon berdecak kesal. Mood-nya seperti dipermainkan oleh gadis dihadapannya. Kali ini dia benar-benar marah dan kesal pada Ziana sedari tadi dia sabar menghadapi omongan tak mengenakan hati dari gadis itu. Bahkan sepertinya Ziana tidak mempercayai semua ucapan serius dari mulutnya.

Leon bangkit dari duduknya, wajahnya terlihat dingin dan datar membuat siapapun langsung merasa takut melihatnya.

"Lo ngeselin Zi. Gue ngomong serius ditanggepinnya beda sama lo. Udah ngatain gue lebay, dikata ngefans sama lo, ngejek gue lagi. Lo kira gue gak sakit hati apa haa?! mending lo pulang sono. Gue kesel! lo kek nya pengen tau semua ini cuman pengen ngemanfaatin gue aja supaya bisa bebas ngejek gue!" ketus Leon lalu berlalu keluar dengan emosinya.

Ziana menyusul cowo itu dengan raut bersalahnya. "Tapi Le-"

Brak! Leon menutup pintu dengan amat kencang. Hingga Ziana terdiam tak melanjutkan ucapannya.

"Pergi, sebelum gue ngomong yang bikin lo tambah sakit hati!" teriak Leon dari balik pintu kamarnya.

Next gak nih?

Votemen dulu yang banyak.

My Leon King! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang