Aku masih buta dalam menyaksikan warna langit hari ini.
"Babe, i am leaving," Ujarku pada refleksi dibalik cermin.
Tidak ada yang dapat kujabarkan pada galaksi. Cerita tentang dulu terlampau usang, cerita tentang kini seroma buram, cerita mengenai masa depan sebatas harapan.
Harusnya aku senang karena punya alasan untuk menyongsong peraduan yang kusebut rumah melebihi rumahku yang sesungguhnya.
Tapi aku tidak.
"Babe, i am leaving. . "
Aku kehilangan senyum. Buta warna. Netraku hanya bisa menatap abu-abu yang gelap dan sendu. Sejauh mata memandang.
Mengikuti kemana saja aliran waktu mendepakku, kini aku dipulangkan pada harapan setelah semestaku terhenti dari rotasi.
Entah ini baik atau buruk, tak ada yang tau pasti bagaimana kedepannya aksara yang tertuliskan di buku ini. Tidak bagiku, dan tidak bagimu.
Sesungguhnya kita sama-sama orang yang menunggu.
Namun satu yang berusaha kusumpal dalam pemikiran dan idealismeku, apapun itu, Dia tau yang terbaik.
Ada pengajaran yang harus ku teguk. Dan itu tak di sini, tapi di sana.
Sekadar bercerita perihal ketakutanku pada kasus yang sama. Atau justru harapan dihati kecilku? Aku rasa iya.
Aku masih memuja sebuah jiwa yang sedikit mencapai tafakurku dalam keheningan. Itu cerita lama, tapi setiap berfilsafat selalu mengingatkanku tentangnya.
Tentang bagaimana dilatasi yang terekam jernih dalam memoriku menguarkan sihir dari sorot matanya.
Setiap untai aksara yang menjadikanku mabuk akan ilmu pengetahuan, berdansa dengan planet-planet bimasakti atau duduk bersama Galileo di suatu pertemuan beda dimensi.
Aku nyaris tidak pernah menemukan insan sedemikian rupa dalam semestaku yang jelaga, Tuhan menenggelamkanku dalam tanah kebodohan, kemiskinan, kedurhakaan dan pesta pelanggaran.
Obesesiku pada jiwanya, bukan daksanya sebagai wujud kebahagiaan bahwa akhirnya Tuhan mempertemukan aku pada seseorang yang sekilas tampak aku.
Tapi, rahasia tetaplah misteri. Mengapa bumi memberi jarak sejauh matahari jikalau memang aku benar. Tuhan selalu benar dengan tindakannya.
Kemurnian pemikiran itu tidak boleh dinodai oleh cinta anak-anak yang bodoh.
Tuhan mengerti, aku mengerti. Mungkin masing-masing jiwa harus berkelana berkeliling surga neraka, dihempas realitas, menyelam dalam sudut terdalam pemikiran dan perenungan untuk saling berjumpa saat yang tersisa murni Tuhan dan keagungan pemikiran.
Aku jadi bertanya pada novel yang belum usai ini? Apa sekarang aku telah mencapai? Atau justru apa yang kucari adalah titik-titik usai yang harusnya tak usah kuusik atau kutampik.
Berbicara firasat. Ini baru bab 1.
Juli- akan menjadi teka-teki.
XXX.
VI.
MMXXI.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euforia (COMPLETED)
PoetryKutulis puisi untuk diriku; himne menyambut sosok yang utuh. Kutulis puisi untuk diriku; biar menjelma menjadi mesin waktu, pintu untukku menyelam bersama kekuatan kata yang mengurung momentum waktu. Ini kisahku selama 2021; jika kalian membaca ini...