Bukan anomali; tapi reality.
Yang membuatku tersenyum miring; mengerikan, di balik jendela.
Dengan asap sigaret yang membumbung meracuni udara.
Mengomentari neraca Tuhan; yang diluar pengetahuan manusia.
Aku merokok dalam kepala.
Frustasi menghadapi berjuta paradoks yang kutemui di sekitar jendela.
Cerita-cerita tak masuk akal.
Angkara beserta renjana.
Dongeng dua puluh tahun fairytale dan luka.
Aku jadi bertanya, selanjutnya panggung apa yang akan di gelar?
Eksistensi makhluk astral yang menyerang pompa udara?
Sapuan banjir bandang yang memberontak sengak dan menyapu segalanya?
Meski haram jadah sialan yang selalu membekap telingaku, terkadang dunia bisa menjadi begitu merah jambu.
Karena cerita-cerita yang bukan aku;
Buana sekarang mengombang ambing bibirku, untuk menyungging senyum atau ringisan sedu.
Untuk menari merayakan atau meratap pilu.
Pada skenario diluar batas nalarku.
Aku memilih warna hitam untuk menutupi seluruh kulitku, menari dengan alunan biola kematian di atas kuburan.
Aku memilih sigaret untuk meracuni tubuhku perlahan dari kebahagiaan yang telah mati, yang telah jauh seiring cahaya memudar, memenjarakanku dalam hujan yang panjang.
Langit kelabu, rumah kayu klasik di tengah hutan pinus. Aku melihat diriku di sana di jendela itu, sendirian dan menatap datar dari jendela.
Menangis untuk penderitaan yang kusaksikan, namun tak pernah bisa tertawa melihat kebahagiaan.
XVII.VII.MMXXI.
Dari aku, yang kehilangan rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euforia (COMPLETED)
PoetryKutulis puisi untuk diriku; himne menyambut sosok yang utuh. Kutulis puisi untuk diriku; biar menjelma menjadi mesin waktu, pintu untukku menyelam bersama kekuatan kata yang mengurung momentum waktu. Ini kisahku selama 2021; jika kalian membaca ini...