Sasmita yang digariskan semesta telah berhasil melumpuhkanku dalam larung di tempat gelap yang berdebu.
Detik ini, aku tidak akan melupakan bahwa dunia seakan berkonspirasi menghadirkan satu demi satu apa-apa yang membunuhku perlahan meski aku telah lama tidak benar-benar hidup.
Aku bertanya tentang keindahan, dengan hati yang dipenuhi buncahan harapan mengenai hari esok yang merupakan hari bahagia, saat semua derita diganjar kesenangan istimewa.
Tapi, sajakku ini lagi-lagi mengenai elegi duka. Seakan kesedihan benar-benar telah mengintaiku sejak lama, menjadikanku targetnya, selamanya.
Hilang berganti, bagai repetisi, satu persatu menghampiri, kekosongan yang meraja, kesepian yang mendekati nadirnya, segala sesuatu yang seakan menuntutku untuk terus menyuap terima.
Menerima bahwa takdirku adalah duka. Tapi aku selalu membisikkan pada diriku tanpa peduli hari itu tiba atau tak akan pernah ada, kalau semuanya akan berakhir. Setiap duka selalu ada tawa, meski dalam banyak hal terjadi hari-hariku selalu merayakan luka dan luka yang setiap harinya semakin bertambah banyak, menikam diriku hingga tersisa hampa.
Tuhan, aku hanyalah seonggok hamba. Debu mikrokosmos. Bukan siapapun. Aku makhluk tak berdaya, yang tak bisa apapun. Aku hanyalah entitas lemah yang tak memiliki kuasa.
Tapi bukankah ini menyakitkan?
Menyedihkan.
Dan aku hampir-hampir tak bisa melakukan apapun untuknya.
Karena aku hanyalah seonggok hamba.
Untuk diriku di masa depan, ketahuilah... Hari ini tertanda hari yang begitu berat. Takdir seakan melawanmu yang tak mengerti apapun kehendak Tuhan dan skenarionya.
Hanya ada dirimu sendiri menghadapinya.
Masa-masa terburuk akan berlalu'kan?
XXVI. VII. MMXXI
KAMU SEDANG MEMBACA
Euforia (COMPLETED)
PoesíaKutulis puisi untuk diriku; himne menyambut sosok yang utuh. Kutulis puisi untuk diriku; biar menjelma menjadi mesin waktu, pintu untukku menyelam bersama kekuatan kata yang mengurung momentum waktu. Ini kisahku selama 2021; jika kalian membaca ini...