Aroma petrikor seolah berkontemplasi dengan lagu yang sedang diputar.
Lagu yang menjerumuskan pada ingatan senja yang memiliki warna, taburan bintang memenuhi dirgantara, melayang di antara antariksa bersama jutaan spektrum-spektrum warna.
Yang sayangnya kini hanya bisa kusaksikan dari ingatanku yang berputar-putar bak kaset tua yang rusak.
Berduka melihat cuaca yang selalu murka, menjatuhkan hujan demi menggiring tangisku untuk tetap merdeka.
Terlunta-lunta tanpa rumah, merana dalam hening; merindukan waktu yang mustahil akan kembali; terlampau ironi untuk menjadi serupa.
Semua telah menjadi jejak-jejak yang kurindukan kala sendiri.
Bau tanah saat itu, bagaimana senja terjatuh dengan malu-malu, suara-suara, pandangan-pandangan, tawa-tawa, yang telah tercabut paksa.
Dan pada akhirnya mimpi burukku kembali; semua benar-benar tak tersisa tersapu gelombang kecuali ingatanku yang abadi.
Meski hujan telah jatuh ribuan kali semenjak terakhir aku masih bisa melihat warna.
Aku berduka selayaknya semesta yang tak berhenti menangis, menghujamkan dirinya ke bumi. Namun, tak mampu menghapus warna biru ini dari diriku.
Atas elegi menyakitkan karena kebutaanku memantau pelangi..
XI.
VII.
MMXXI.
KAMU SEDANG MEMBACA
Euforia (COMPLETED)
PoesíaKutulis puisi untuk diriku; himne menyambut sosok yang utuh. Kutulis puisi untuk diriku; biar menjelma menjadi mesin waktu, pintu untukku menyelam bersama kekuatan kata yang mengurung momentum waktu. Ini kisahku selama 2021; jika kalian membaca ini...