baper

5.5K 234 1
                                    

Like-nya pojok kiri bawah ya😉
.
.
.
Selamat membaca

Fabian menyuapiku dengan telaten. Mantanku itu memaksaku untuk menuruti keinginannya. Aku menahan diri untuk tidak memuntahkan makanan yang ku telan. Aku juga butuh asupan energi untuk memikirkan langkah selanjutnya.

Sebelumnya, Fabian memergokiku menangis. Aku terlarut dalam pikiranku sehingga tidak menyadari kehadirannya. Fabian terlihat begitu panik saat melihatku menangis. Membuatku tersenyum dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku mengatakan hanya merasa senang karena bisa hamil padahal bohong.

Aku memaksakan keinginanku untuk pulang setelah makan siang itu. Aku ingin menenangkan diri. Beruntungnya, Fabian tidak lagi menghalangiku.

Keluar dari kamar Fabian, aku dikejutkan suara balita. Seorang anak laki-laki bersama dengan pengasuhnya. Fabian menyuruh pengasuh itu membawa sang balita masuk ke kamar sebelum kami pergi. Aku penasaran, siapa balita itu? Apakah dia anak Fabian?

Hatiku mengerang kesal. Jika itu anak Fabian, itu artinya Fabian sudah menikah? Dia sudah beristri. Aku menyesal tidak sempat mengedarkan mata ke dinding rumah Fabian tadi, sehingga aku tidak tahu bagaimana rupa istri Fabian.

Ugh! Aku harus benar-benar menjauh darinya. Bisa-bisanya Fabian bersikap sok single di hadapanku! Tidak, tidak. Aku tidak mau jadi pelakor.

Kami saling berdiam diri saat perjalanan pulang ke rumahku, maksudnya rumah suamiku. Fabian pun tidak menceritakan siapa balita itu. Setelah mengatakan alamat rumahku, aku memilih berpura-pura tidur. Aku juga tidak ingin Fabian bertanya macam-macam tentang pernikahanku yang memalukan. Tidak untuk sekarang. Ketika mobil Fabian berhenti, aku baru membuka mata.

Sebenarnya aku malas sekali kembali ke rumah. Apa yang harus aku harapkan lagi?

"Terima kasih sudah mengantarku, Mas."

"Aku antar ke dalam, boleh?"

Aku berpikir sejenak kemudian mengiyakan. Lagipula Hasbi mungkin belum ada di rumah. Ternyata dugaanku salah. Begitu aku sampai di teras, pintu rumah Hasbi terbuka. Ibu suri, si jalang itu dan Hasbi berjalan beriringan keluar. Mata mereka melotot melihatku dipapah Fabian.

"Lihat kelakuan istri kamu, Hasbi," cecar sang ibu suri. Suaranya sarat amarah dan memandangku penuh hinaan. "Dia terang-terangan membawa pria pulang ke rumahmu."

Aku menahan lengan Fabian yang ingin membalas cercaan itu.

"Dia rekan kerjaku, Ma," sela Hasbi tanpa melepas tatapan padaku. Raut wajahnya tampak khawatir melihat wajahku. Pasti wajahku masih terlihat pucat. "Kamu baik-baik saja, Leya?"

Hasbi mendekatiku dan menarik tubuhku menjauh dari Fabian. Tangannya merangkum wajahku. Rasanya aku ingin menepis tangan yang sudah bersentuhan dengan jalang itu tapi ku tahan. Perutku terasa mual kembali disertai denyutan di kepalaku. Keringat dingin sudah membasahi pelipisku.

"Di hadapanmu saja dia berani membawa selingkuhannya, apalagi di belakangmu?"

Tanganku gatal ingin menjambak rambut si jalang Fiona itu. Mulutnya tidak punya otak.

"Cepat ceraikan saja dia."

"Fiona benar. Mama tidak mau kamu dimanfaatkan oleh wanita mandul itu."

Hatiku geram mendengar kata 'dimanfaatkan' yang diucapkan nyonya besar Marisa itu. Menambah pening kepalaku saja!

"Begini cara lo memperlakukan istri lo? Dia sedang hamil."

Ingin ku tusuk kedua mata ibu mertuaku dan si jalang itu dengan tusuk sate. Mata mereka terbelalak mendengar ucapan Fabian barusan. Aku bisa merasakan dinginnya tangan Hasbi yang memegang lenganku. Wajahnya tegang. Entah perasaanku saja atau bagaimana, aku bisa melihat tatapan tajamnya mengarah pada Fabian. Ditatap seperti itu, Fabian pun juga membalasnya dengan tatapan yang sama.

Mine (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang