Sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Nyaman, itu yang ku rasakan. Aku sudah beberapa kali ikut meeting di luar bersama atasanku. Menjalankan tugasku sesuai arahan Rani. Berusaha menggantikan posisinya dengan baik. Atasanku pun cukup senang dengan cara kerjaku. Di perusahaan ini pun, semua karyawan juga menerimaku dengan welcome. Aku sudah dekat dengan beberapa dari mereka dan menjalin pertemanan.
Sepertinya takdir memihakku kali ini, Hasbi mengatakan bahwa dia yang akan mengurus perceraian kami dan aku tidak perlu repot-repot ke pengadilan. Tinggal tanda tangan saja. Biarlah, aku tidak ambil pusing. Toh, itu malah memudahkanku.
Pengadilan memanggilku untuk kesaksian kasus Ibu. Aku datang bersama Bi Karti setelah mendapatkan izin beberapa jam dari atasanku. Atasanku itu ikut prihatin sekaligus geram mengetahui kasus Ibu bahkan bersedia menyediakanku fasilitas transport untukku ke pengadilan. Aku menghargainya dengan menerima bantuannya.
Yang membuatku terkejut saat di pengadilan, Fabian datang. Langkahnya tergesa menghampiriku dengan wajah khawatir.
"Maaf, aku terlambat."
Hai, tampan. Aku senang kamu datang untukku.
Aku tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa. Sidangnya juga belum mulai."
Aku tahu dia ingin memelukku tapi ditahannya. Apalagi di tempat ini ada Hasbi dan ayahnya. Mereka melayangkan tatapan tajam pada kami.
Selama sidang Fabian menggenggam tanganku erat. Membawa tanganku ke pangkuannya dengan matanya menatap lurus ke depan. Ruang sidang dipenuhi teriakan calon mantan mertuaku dan Fiona. Setelah hakim memutuskan vonis bersalah, keduanya berteriak protes. Menatapku marah bahkan akan menghampiriku jika tidak ditahan oleh petugas keamanan.
Aku tersenyum lega, berjalan keluar dari ruang sidang. Membiarkan Fabian masih menggenggam tanganku.
"Aku senang melihatmu kembali tersenyum," ucapnya.
Mulutku terbuka untuk menyahutnya tapi tidak jadi bersuara saat Hasbi berjalan mendekat. Dia menyodorkan sebuah amplop padaku.
"Kita resmi bercerai."
Tatapannya tidak bisa ku baca. Setelahnya, dia berbalik meninggalkanku. Aku menatap amplop yang ada di tanganku tidak percaya. Air mataku mengalir pelan di pipiku, cepat-cepat aku menghapusnya.
"Aku bebas, Mas," lirihku.
Fabian tersenyum. "Apa itu artinya kita bisa memulai hubungan kita secara resmi?"
Aku terdiam. Bukannya berbunga-bunga, aku malah merasa was-was mendengar kata 'memulai hubungan'. Itu bukan hal yang main-main.
Status jandaku sekarang perlu diperhitungkan. Bagaimana dengan status Fabian saat ini? Apakah dia juga sudah berpisah dari istri terpaksanya?
Alhasil, aku kehilangan semangat kerjaku di sepanjang sisa jam kerjaku. Aku lebih banyak diam bahkan saat menemani atasanku membicarakan proyek baru dengan klien di jam makan malam, aku masih sempat melamun. Hubungan yang bagaimana yang akan terjalin antara aku dan Fabian?
"Leya."
Aku mengangkat wajahku menatap Pak Farzan. "Ya, Pak? Ada yang perlu saya kerjakan lagi?"
"Tidak." Pak Farzan tampak mengamatiku serius. "Saya perhatikan, sejak kembali dari pengadilan kamu melamun terus. Ada masalah?"
"Tidak, Pak. Maaf jika itu membuat Bapak tidak nyaman."
"Apakah persidangannya tidak berjalan lancar?"
"Oh, bukan. Saya memenangkan kasus ibu saya dan hari ini saya sudah resmi ... bercerai."
Alis Pak Farzan terangkat. "Bukankah itu berita bagus?"
![](https://img.wattpad.com/cover/274954491-288-k610716.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (End)
Любовные романыBertemu mantan bukanlah hal yang ku inginkan saat ini. Mengapa harus bertemu lagi dengannya sekarang? Lebih tepatnya, mengapa kami baru bertemu lagi? Seketika aku ketakutan. Takut, rasa yang ku kubur dalam-dalam kembali muncul di permukaan dan memb...