Hai, aiyem kombek egen😎
Selamat siang, selamat membaca
❤❤❤.
.
.Fabian menatapku lekat dengan tangannya membelai pipiku. Mencium keningku lama kemudian menatapku lagi. "Aku tahu."
Mataku mengerjap menatapnya tidak mengerti.
"Aku tahu kamu selalu mengecek keadaanmu dengan testpack setelah kita bercinta."
Apa? Bagaimana dia bisa tahu?
Tangan Fabian terulur, menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. "Aku menemukan hasil testpack saat kakiku nggak sengaja menendang tempat sampah di kamar mandi kita."
Aku tidak bisa menjawab.
"Itu terjadi di hari Azka pulang dari rumah sakit."
Mataku melebar. Aku masih belum bisa merespon ucapannya.
"Awalnya aku kira kamu cuma ingin mencoba mencari tahu saja tapi sejak temuan itu aku sering melihatmu murung saat sendiri."
Rupanya dia menyadarinya.
"Sejak saat itu, aku selalu memeriksa tempat sampah di kamar mandi dan aku selalu menemukan hasil testpack di sana."
Tiba-tiba saja mataku memanas dan hidung sedikit tersumbat kemudian air mataku meleleh.
"Jangan menanggungnya sendiri," bisik Fabian sambil mengusap air mataku. "Kamu nggak usah terlalu memikirkan hasil testpack itu."
"Aku takut, Mas."
"Apa yang perlu ditakuti?"
"Aku takut kalau aku nggak bisa hamil."
"Kamu hanya belum hamil."
"Gimana kalau ternyata aku memang nggak bisa hamil?"
"Nggak usah mikir yang nggak-nggak."
Sekarang aku tergugu dalam pelukannya. Menumpahkan emosi yang bercokol di pikiranku akhir-akhir ini. Jika aku tidak hamil-hamil, apakah perasaan Fabian akan berubah padaku? Apakah mertuaku akan mempertimbangkan keberadaanku dalam keluarganya? Jelas aku takut. Bagaimana jika itu terjadi sekali lagi di dalam pernikahanku? Ataukah aku memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?
"Hei." Fabian menghapus air mataku. Memaksaku menatapnya. "Kenapa kamu takut? Dengar, jika kamu belum hamil itu bukan sepenuhnya salah kamu. Aku juga ikut bertanggung jawab atas hal itu."
Aku menggeleng. "Tapi gimana kalau tetap aku yang disalahin, Mas?"
"Siapa yang akan menyalahkanmu?"
"Keluargamu mungkin?"
Fabian menggeleng tegas. "Aku yakin keluargaku nggak akan berpikiran picik seperti itu."
"Apa kamu juga akan ninggalin aku, Mas?"
Tidak menjawab, Fabian malah memelukku dan aku membalasnya dengan erat. Aku memang sudah tidak menangis. Tepatnya, air mataku seakan habis tapi aku merasa sesak di dada. Akankah aku berpisah dengannya lagi? Maka aku akan benar-benar sendiri.
Baginya mungkin ini bukan masalah serius yang harus dihadapi sekarang. Tapi bagiku sebagai wanita, hamil dan mengandung seorang anak adalah sebuah kehormatan yang paling tinggi. Apalagi dulunya aku diremehkan karena tidak kunjung hamil. Pastilah itu akan menjadi bahasan untuk hidupku.
Pernah hamil pun juga tidak membuat posisiku aman. Keguguran tidak membuktikan bahwa aku wanita yang bisa hamil. Justru keguguran itu membuatku terpojok mengenai kondisi tubuhku yang bisa saja lemah dan tidak dapat mengandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (End)
RomanceBertemu mantan bukanlah hal yang ku inginkan saat ini. Mengapa harus bertemu lagi dengannya sekarang? Lebih tepatnya, mengapa kami baru bertemu lagi? Seketika aku ketakutan. Takut, rasa yang ku kubur dalam-dalam kembali muncul di permukaan dan memb...