"Lily? Kamu di sini? Bagaimana keadaanmu? Apakah kepalamu masih pusing?"
Shela menatapku dan Fabian bingung tapi kemudian bertepuk tangan senang. Dia menarik kursi di sebelahnya. "Ayo duduk sini, Fabian. Pasti ada sesuatu yang akan kalian bicarakan."
"Banyak," sahut Fabian tanpa melepaskan tatapannya padaku.
"Jadi-"
Dering ponsel menghentikan pertanyaan yang akan Shela ajukan. Dia berdecak kesal saat melihat nama penelepon di ponselnya.
"Bentar ya, Le. Suami gue telepon."
Jantungku berdetak lebih kencang saat Shela meninggalkanku bersama Fabian yang masih lekat menatapku. Membuatku panas dingin.
"Maaf mengganggu."
Wajahku mendongak. Aku dapat bernapas lega sejenak sekaligus kecewa dengan kehadiran wanita yang tadi datang bersama Fabian. Dia menghampiri mejaku dengan tangan menenteng bungkusan. Wanita itu cantik dan terlihat elegan. Apakah benar dia istri Fabian? Hatiku yang baru saja berdesir gelisah kini terasa nyeri.
"Aku mau kembali ke klinik saja. Pasienku banyak. Aku sudah pesan makanan tadi."
"Ya sudah kembali saja sendiri," sahut Fabian, masih menatapku.
Wanita itu berkacak pinggang dan menatap kesal pada Fabian. "Ya kamu harus tanggung jawablah. Yang ngajak aku kesini kan kamu, ya kamu juga yang harus antar aku balik."
"Salah sendiri. Urusan kita belum selesai, tapi kamu malah mau balik."
"Tahu gini aku nggak bakal mau diajak kesini."
Aku jadi merasa tidak enak dan juga... Entahlah, mengapa tiba-tiba udara di sekitarnya menjadi panas. Diam-diam bibirku mengerucut dan kesal harus berada di situasi ini.
"Telepon suamimu, suruh dia menjemputmu. Kamu sangat menggangguku."
Aku mengangkat wajahnya seketika mendengar gerutuan Fabian dan mengerjapkan mataku bingung. Fabian bilang 'suamimu', suami dari wanita itu maksudnya? Itu artinya dia bukan istrinya?
Belum habis kebingunganku, wanita itu menatapku dan menggerutu, "Cataleya, tolong bilang padanya agar mengurangi semena-menanya."
Sekali lagi mataku mengerjap bahkan wanita itu tahu namanya.
"Senang bertemu denganmu, Leya. Sampai jumpa."
Wanita itu menyalamiku dan tersenyum manis. Dia menatap Fabian dengan jengkel dan meninggalkan cafe.
"Dia Desy temanku. Dia juga yang memeriksamu saat pingsan kemarin."
Penjelasan Fabian secara tidak langsung melegakan hatiku. Hanya sedetik. Kelegaan itu membuatku bertanya-tanya mengapa aku harus merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu? Fabian bukan siapa-siapaku. Hubungan kami tidak sama lagi seperti dulu.
"Le, sori banget ya, gue harus pulang." Shela juga kembali dengan tergesa, mengambil tas kecilnya. "Suami gue mendadak mau keluar kota dan gue harus menyiapkan kebutuhannya. Nggak masalah kan? Lagian juga sudah ada Fabian. Kita ketemu lagi nanti ya. Lo curhatnya sama Fabian aja. Bye."
Suasana menjadi hening saat hanya ada aku dan si mantan, berdua di depan meja. Fabian hanya menatap cangkir kopi yang baru saja diantar oleh pramusaji cafe. Tanpa mau peduli padaku yang tengah duduk gelisah.
"Bagaimana dengan kandunganmu?" tanya Fabian.
"Baik. Sebelum kesini aku memeriksakannya."
"Kamu nggak mual lagi? Maksudku, biasanya wanita hamil mengalami mual di awal kehamilannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (End)
RomantikBertemu mantan bukanlah hal yang ku inginkan saat ini. Mengapa harus bertemu lagi dengannya sekarang? Lebih tepatnya, mengapa kami baru bertemu lagi? Seketika aku ketakutan. Takut, rasa yang ku kubur dalam-dalam kembali muncul di permukaan dan memb...