22.Cemas

120 19 6
                                    

Raissa mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Air matanya sedari tadi menetes deras, ia benar-benar merasa sakit hati dengan perlakuan kakaknya tadi.

Raissa memberhentikan motornya di tepi jembatan sepi. Suasana sunyi, membuat tangisnya semakin pecah. Angin malam yang dingin, seakan mengerti dengan perasaannya saat ini yang hancur.

"Kenapa kak Reissa seperti ini!"

"Apa salah gue?"

Raissa berteriak dengan kerasnya. Ia berpikir lebih baik ia mengakhiri hidupnya di sini, ia tak kuat menjalani hidup beban seperti ini.

Raissa hendak melompat dari atas jembatan, namun saat ia sudah bersiap mengakhiri hidupnya, seseorang menarik tangan Raissa.

"Lo gila? lo mau ngahiri hidup lo hanya karena masalah sepele?!"Bentak seorang pria, langsung membawa Raissa kedalam pelukannya.

"Kalo lo mati, bayangin siapa aja yang bakal ngerasa kehilangan? Keluarga lo, dan gue,"

"Banyak orang yang ingin hidup, lo gak boleh ambil keputusan bodoh dengan mencoba bunuh diri kayak tadi," Ucap Zisan, memeluk erat Raissa yang semakin menangis menjadi-jadi.

"Ada apa? Jelasin ke gue?"

Zisan menatap mata Raissa, namun tatapannya kini beralih pada kening Raissa yang berdarah.

"Kening lo kenapa?"tanya Zisan panik.

Raissa masih diam.

"Kita ke apotek terdekat!"

Zisan menarik Raissa dan memasukannya ke dalam mobil, Raissa tak melawan sama sekali, tatapan gadis itu pun terasa kosong.

Setelah sampai di apotek, dan mengobati luka di kening Raissa, mereka berdua duduk di kedai kopi sisi jalan. Zisan masih memperhatikan Raissa hanya hanya diam.

"Kenapa? Ada masalah apa?"Tanya Zisan.

Raissa menoleh. Matanya kembali berkaca-kaca. "Hiks, gue bertengkar sama kak Reissa. Dia cemburu sama gue,"

Raissa kembali terisak, Zisan langsung memeluknya kembali. Ia acuh saja dengan beberapa orang yang memperhatikannya.

"Cemburu kenapa?"

Raissa menengadahkan kepalanya, lalu Zisan mengusap air mata di pipi Raissa dengan lembut, lalu menarik kedua subut bibir Raissa, seakan memaksa gadis itu untuk terseyum.

"Senyum dong, cantik,"

Raissa memalingkan wajahnya.

"Apaan si, lo!"

Zisan menggengam tangan Raissa.

"Jadi, kenapa sampai nekat bunuh diri?"Tanya Zisan, langsung di bekapnya mulut pemuda itu. Bagaimana tidak? Ucapannya barusan mengundang sorot mata tajam dari beberapa orang yang sedang ngopi di kedai kopi ini.

"Sut, jangan bahas di sini,"

Zisan membawa gadis itu ke dalam mobilnya. Zisan menopang dagu, saat Raissa mulai menceritakan semuanya.

"Jadi, Kakak lo cemburu, karena Abang tiri gue lebih milih lo, di banding dia?"

Raissa menganguk. "Gue anggap kak Zulfan sebagai kakak gue sendiri. Mana boleh gue maksa hati gue buat nerima dia,"

Raissa menunduk sedu. Zisan mencondongkan badannya, mendekatkan wajahnya dengan wajah Raissa.

"Lo udah jadi milik gue,"

"Jangan coba-coba nerima cinta cowok lain. Atau, lo liat nanti gue bisa apa kalo lo selingkuh," Ujarnya di Sertai ancaman.

Raissa meneguk ludah, kemudian ia dorong kening Zisan dengan jari telunjuk.

Family'S diary (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang