Di ruangan yang sepi dan sunyi terdapat seorang gadis yang tengah menangis. ia terus memeluk seseorang yang di nyatakan telah meninggal. Namun, ia nyakin jika orang itu masih hidup.
"Zisannn,"Lirih Raissa.
"Lo harus bangun,"
Raissa menyeka air matanya. "Lo bilang mau nikah sama gue, 'kan? Yaudah, gue terima. Gue terima lamaran lo, oke?"Ujar Raissa.
Tak ada sahutan.
Raissa mengusap kepala Zisan yang masih mengeluarkan darah segar. Darah menempel di telapak tangan Raissa. Saat ini ia merasakan kehilangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Di luar ruangan Jenazah om Armi terus terisak. Dia sudah menelpon Arka--ayah Zisan. Nyatanya percuma ia memberi tahu Arka. Arka dan istrinya sedang berada di luar negri.
"Sabar om,"Aldi mencoba menenangkan om Armi yang terus saja menangis. Ia tidak mau kehilangan keponakan tersayangnya.
"Mas, gimana kabar Zisan?"Tanya seorang wanita dengan raut wajah cemas. Om Armi segera menghamburkan diri memeluk wanita yang tak lain istrinya-Vina.
"Vin, Zisan, Vin,"
"Zisan kenapa, mas?"
"Di-dia udah pergi,"
"Maksud mas apa?!"
"Dia udah nyusul mamanya,"
Air mata menetes dari kelopak mata Vina. Walau hanya ponakan, dia dan suaminya sudah menganggap Zisan sebagai anak mereka sendiri.
Raissa masih menangis terisak-isak. Ia memeluk Zisan yang masih setia memejamkan kedua matanya.
"Zisan, bangun!"
"Raissa, ikhlaskan Zisan. dia sudah pergi,"Seru mamah Ranni. Ia baru pertama kali melihat putrinya seterpuruk ini.
"Nggak mah, Zisan masih hidup,"
"Zisan kan ngelamar aku siang tadi,"
Ranni menepuk pelan pundak Raissa. "Ini sudah malam sayang. Sekarang kita pulang dan besok kita antarkan Zisan ke tempat peristirahatan terakhirnya, ya?"Tutur Ranni.
Raissa mengeleng lemas. "Aku mau di sini sama Zisan, mah. Zisan cuma tidur. Dia nggak pergi,"Kemudian Raissa terseyum. "Aku udah putuskan untuk menerima lamaran dia siang tadi. Bagaimana dengan pernikahan kita nanti jika Zisan tidur begini?"
Ranni meneteskan air mata. Begitupun Rehan yang mendengarnya.
"Aku mau menemani Zisan di sini,"Ujarnya sekali lagi.
Malam ini Raissa memutuskan untuk menginap di rumah sakit, lebih tepatnya di ruang jenazah.
Gadis itu senantiasa menemani Zisan. Kedua matanya sudah sembab. Hidungnya memerah. Dia berusaha untuk tidak tertidur. Tangannya masih mengelus wajah Zisan.
"Gue nerima lamaran lo. lo denger, nggak?"Bisik Raissa.
"Kalo kita udah nikah, lo mau punya anak berapa sama gue?"Tanya Raissa.
"Kalo nanti gue ngidam yang aneh-aneh, lo jangan marah, ya?"
"Oh ya, lo juga pernah bilang mau ngeliat matahari terbenam di balkon kamar sama gue, 'kan?"Lagi-lagi tak ada jawaban atas semua pertanyaan.
"Bangunannya, sayang. Gue nggak bisa ngeliat lo tidur lama kayak gini. Apalagi sampai tubuh kamu di satukan sama tanah"Raissa mencium kening Zisan. Bibirnya menempel di kening pemuda itu selama lima menit.
Kepala Raissa tiba-tiba terasa pusing, ia tak kuat menopang dirinya sendiri, pandangannya juga memburam.
"Zisan jangan pergi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Family'S diary (REVISI)
HumorGENTRE : ROMATISE-KOMEDI {Buku harian keluarga Almansyah} keluarga kecil yang hidup bahagia, dan terkenal dengan julukan keluarga harmonis oleh para tetangganya. ~Keseruan di tambah dengan kisah cinta anak-anak mereka. "Rumah adalah tempat di mana...