14. Benci gue?

110 19 1
                                    

Zisan dan Raissa berusaha pergi kembali ke titik tempat perkemahan, di bantu arah jarum kompas yang ada.

"Zisan, elo pikir gue gak tau apa? Kalo elo orang yang nyembuyiin pr matematika gue dan udah ngebuat gue di hukum plus di permaluin sama pak budi waktu itu?" Raissa berdecak, ia masih tak terima gegara Zisan, ia harus di hukum. memalukan!

Zisan menghentilan langkahnya.

"Ya, terus kenapa?"

"Kenapa elo baru ngelabrak gue sekarang kalo elo udah tau? Bodoh," Cibir pemuda itu terseyum menyebalkan.

Raissa langsung melayangkan kakinya, menendang bokong seksi Zisan, sampai pemuda itu sedikit merintis dan mengumpat.

"Bab*"

"Lo yang babi!,"

"Dasar gaada otak!" Caci Raissa berjalan terlebih dahulu setelah berhasil membuat Zisan kesal.

Semenit kemudian mereka kembali berjalan beriringan, saling diam dan memperhatikan arah jarum kompas untuk menunjuk ke arah mana.

"Ini ada dua belokan, belokkan mana yang harus kita pilih?"Tanya Raissa, menatap Zisan yang masih pokus dengan kompas di tangannya.

"Hem," Zisan hanya berdehem.

"Kemana?"

"Hem,"Lagi-lagi Zisan berdehem.

Raissa berdecih.

"Lo kalo di tanya bisa gak ngejawab yang bener? Bukan 'hem' 'hem' terus,"Celoteh Raissa dengan sengaja menyenggol siku Zisan, sampai kompas yang sedang cowok itu pegang terlempar jauh ke bawah tebing.

"Kompas!"

Zisan menatap tajam Raissa, kemudian  cowok itu menyudutkan Raissa di pohon besar. Tatapan tajam tak luput lepas dari sorot matanya.

"Sekarang gimana, hah!"

"Kompas udah gak ada!"

"Gimana caranya kita keluar dari sini?!" bentak Zisan, sampai membuat Raissa memejamkan matanya sesaat.

"GIMANA!" bentak Zisan kembali.

Mata Raissa berkaca-kaca, bibir tipisnya itu sedikit bergetar, mungkin hendak mengngatakan sesuatu.

"Lo aja yang pulang. Gue biarin di sini aja, biar hidup bareng tarzan,"

Raissa berucap dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu hendak melangkah lergi, namun langkahnya terhenti karena Zisan dengan cepat menarik tangngannya.

"Lepasin!"

"Gak!"

Raissa menghempas kasar Tangan Zisan. Gadis itu berjalan pergi kemudian meninggalkan Zisan yang menarik napas berat, dan mengacak-ngacak sendiri rambutnnya.

"Raissa! Elo yang buat ulah, elo juga yang marah,"

Zisan kemudian menyusul raissa.

Keduaanya benar-benar kebingungungan. Tidak ada kompas, maka kesempatan untuk bertemu dengan yang lainnya kembali pupus.

Siang sudah berganti sore. Zisan maupun Raissa masih melangkah mencari jalan keluar. Keduanya kini sedang di posisi tidak saling bertanya, melainkan mengacuhkan satu sama lain.

"Seharusnya kalo ada kompas, kita bakal cepet ketemu sama yang lainnya. Ini semua gara-gara elo!"

Zisan menyalahkan. Raissa diam tak membalas, memang benar itu salahnnya, tapi itupun salah Zisan juga yang tidak menjawab pertanyaannya dengan benar.
iya kan?

Family'S diary (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang