“Asal badan mau mendengarkan kepala yang benar, gua berjanji akan membawa badan gua pada kemenangan!”
—Aurora, 2018
***
“HARI ini jadwal latihan kita dipindahin ke lapangan sekolah deket rumahku ya. Jadi kalau mau latihan kumpulnya di rumahku dulu. Besok jadwal tanding tim putri dan lusanya giliran putra. Jadi di dua hari itu, kita udah harus lebih siap,” terang Arkan pada setiap anggotanya.
Teruntuk pemain inti dari event sekolah kali ini, mereka banyak memeras hal yang mereka miliki untuk menyukseskan pertandingannya. Tak terhitung keringat, waktu, bahkan jam istirahat yang seharusnya mereka gunakan makan siang harus tertunda membahas rencana-rencana tim kedepannya.
“Arkan, tim cheers boleh ikut di tim basket nggak? Soalnya tempat latihan kita juga udah diambil alih jadi tempat latihan cheers yang bakal tampil,” sahut Delly juga dengan acungan tangannya. Auro yang mendengar penuturan manusia barusan pun merasa sangat disampahi telinganya. Paling dia hanya hendak membuntuti Arkan saja.
“Gimana guys? Boleh cheers gabung?” Arkan balik melemparkan kepada seluruh anggota, termasuk Auro. Semuanya mengangguk mengiyakan terkecuali Auro seorang yang seakan tak mendengar apa-apa.
“Oke deh, boleh. Jadi semuanya titik kumpulnya di rumahku ya, langsung aja ke rumah kalau udah agak sorean. Itu aja sih penyampaian untuk hari ini, kalian boleh bubar!” Semua menuruti perintah Kapten Arkan dengan segera kembali ke kelas masing-masing.
“Auro ...” panggil Arkan lagi mengikuti Auro yang ikut berlalu juga. Auro menoleh melas sembari menyipitkan penglihatannya menghadap sosok yang berjalan di bawah terik matahari siang yang menghalangi pupilnya melihat jelas sosok Arkan.
Tak hanya Auro saja, Delly yang mendengar jelas panggilan tersebut ikut menoleh dengan raut kesal yang tiba-tiba menggunung besar kepada Auro. Dia menggertakan gerahamnya, memekik gemas dengan perasaan sendiri menyaksikan pujaan hatinya bukan malah memanggilnya.
“Nanti kamu terus ke rumahku atau pulang dulu?” tanya Arkan tak berneko-neko.
“Kenapa emang?”
“Ya kamu kan nggak tau rumahku dimana?”
“Oh iya, ya,” Auro membenarkan. Hampir saja dia lupa statusnya yang harus diakui masih baru baik di kelas maupun di timnya sendiri, masih tak tahu apa-apa, apalagi yang tidak bersangkutan dengan urusan sekolah, seperti alamat rumah orang misal.
“Mm, atau gini, lu tulis aja kalau gitu alamatnya, nanti gua usahain cari,”
“Ya udah deh. Nanti alamatnya aku titip Lilo aja ya,”
“Oke, sip.”
Kini giliran Arkan yang berlalu meninggalkan Auro menuju ke kelasnya di lantai dua. Meski berada di lantai yang sama, Arkan tak berniat mengajak Auro berjalan beriringan, sudah ditetapkan sejak dulu bahwa tidak ada siswa sesempurna Arkan dalam bergaul dengan lawan jenisnya. Jangankan memodusi mereka, tahu model perempuan yang disukainya saja tidak pernah ketahuan.
Arkan bukan yang termasuk tipe lelaki ganjen, pamer ketampanan sana-sini untuk menarik perhatian siapa pun. Andai bisa disejajarkan dengan tokoh novel, dia yang mungkin akan menyabet tokoh perfeksionis paling nyata yang pernah ada. Sopan, baik, keren, kapten basket pula, apalagi kurangnya?!
Namun pernah satu pengalaman di kelas sebelas dulu, ketika berita kedekatannya dengan Delly tiba-tiba tersebar luas di seantero sekolah. Mendadak Arkan tiba-tiba disulap jadi sosok paling dingin jika berkaitan dengan perempuan. Tak ada cerita Arkan menarik senyumnya ketika disapa siswi yang tidak berurusan, apalagi dengan yang tidak dikenal. Bahkan rumor yang beredar dia diberitakan mengidap kelainan L-World phobia, semacam takut dan berusaha selalu menghindari perempuan. Padahal apa yang mengaitkannya dengan Delly, masih sebatas berita simpang siur saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Dla nastolatków"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...