14. PETARUNG!

67 8 2
                                    

The biggest mistake that I’ve ever made ... when I decide to go away, so far from Bandung and you.”

—Kadwil, 2018

***

Waktu bergulir, menggiring setiap detik jamnya silih bergantian, sudah sekitar lima jam lebih Auro memilih terlelap dalam tidurnya. Kalau saja tak dekat dengan jarak mushollah, Auro mungkin belum bangkit juga kala adzan akhirnya berkumandang, dan kali ini dia memilih beribadah awal waktu.

Auro membasuh wajahnya dengan wudhu yang segar, kantuknya kini hilang tak bersisa dan dimampukan mengikuti Dhuhur berjamaah.

Siang itu perasaannya mulai berangsur membaik. Lantunan dzikir sebagai akhir peribadahan bekerja dua kali lipat menenangkan peningnya. Dia pernah melihat Ibun tertimpa tipes, dari kejadian tersebut Auro jadi memungut terapi terbaru agar mampu menenangkan seluruh selnya yang mulai penat bekerja keras.

Dzikir.

Seberes beribadah, dia sempat bertemu kakaknya di pelataran batas suci, dia hanya meminta agar dibawakan makanan ke UKS, ia juga bertemu Arkan yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Jawabannya tentu tak ingin mencemaskan timnya yang lain.

“Udah,” sodor Auro menyerahkan kotak makanannya kembali pada Aura. Air mineral di dalam botol segera diteguk tak lupa dengan hamdalah-nya.

“Ro, kamu yakin tetap mau tanding?” tanya Aura menjadi cemas. Orang bodoh mana yang tahu potensinya akan menurun ketika kurang sehat tapi tetap memaksakan diri ikut pertandingan?!

Sayup pandangan Aura mengkhawatirkan kondisinya, sembari dibereskan kotak bekal bawaannya tadi naik ke pangkuan. Berharap Auro memperhitungkan kesehatannya juga di atas kesenangannya. Dia tahu basket adalah hidupnya, tapi tak ada jaminan hidupnya masih dapat berlanjut ketika salah mempertimbangkan jalan yang hendak dipilih.

“Tenang aja, gua udah mendingan ini!”

“Emang nggak bisa ya, Ro, kamu diganti yang lain aja? Gimana kalau kamu drop di lapangan nanti, apalagi tandingnya jam-jam panas loh,”

“Ra, di mana-mana kapten tuh harus ngasih contoh yang baik ke timnya. Nggak boleh lemes apalagi cengeng. Heuh, nggak pernah jadi kapten sih!”

“Tapi kan—”

“Udah deh, Ra! Sana balik aja, modus doang lu lama-lama di UKS! Makasih bekalnya!” sela Auro cepat menghentikan argumen Aura. Dia sama sekali tak butuh pendapat yang tak pernah mendukungnya itu.

Bel kembali berdering meneriakkan jam pelajaran terakhir akan segera dimulai. Aura bergegas pulang meninggalkan Auro sendiri di ruangan serba putih tersebut, hendak melanjutkan pelajarannya. Sebagai seorang kakak yang tahu adiknya sedang mencari penyakit di kubangan parit, membuatnya jadi kacau sendiri. Bagaimana meyakinkan dia bahwa parit tersebut harus ditinggalkan sebelum mengakibatkan sakit yang lebih parah lagi?

Sampai tiba waktu pulang sekolah, tak satu ide pun berhasil didapatkan. Tak ada pilihan selain pasrah menyaksikan adiknya bergegas menuju  ruangan Pak Ben bersama kawannya untuk mengganti seragam.

Dia benar-benar akan tanding.

Tidak butuh banyak waktu untuk mengganti seragam sebenarnya, paling lama mungkin lima menit sudah selesai semua, tapi dikarenakan ruangan Pak Ben adalah tempat strategis di antara lorong yang terhubung dengan parkiran depan, mereka jadi mengulur waktu menyaksikan peserta-peserta dari sekolah lain yang sudah tiba.

Terlalu awal mereka datangnya, sekolah bahkan baru saja membubarkan aktivitasnya, sehingga berharap suporter dari tim tuan rumah mungkin mustahil jika jam pulang dan jam pertandingan semepet ini.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang