“Pikiran manusia terlalu rumit. Tidak bisakah jiwaku yang bertengger di tubuh musang ini bersatu kembali??? Aku pusing jadi manusia.”
—Aurora, 2018
***
AURO, gadis dengan lagak sombong itu menyambar turun ke lantai bawah menemui Arkan di ruangan Pak Ben. Ia telah mendapat titah dari lisan Lilo untuk menemui Pak Ben di tempatnya sekarang.
Sesaat setelah masuk ke ruangan, wajah Pak Ben dan Arkan berseri menyambut, tak berpikir panjang segera disampaikan hal yang harus diketahui Auro sebagai bagian penting basket juga.
“Bapak ucapin selamat ke kalian berdua sebagai perwakilan yang lain. Apa yang kalian capai di dua hari berturut-turut ini diapresiasi banget kepala sekolah dan Bapak harap pertandingan selanjutnya bisa lebih baik lagi—” jeda Pak Ben menghangatkan senyumnya.
“Tim putra-putri yang tersisa masing-masing empat tim, dan jadwal untuk tim putri sekolah kita adalah besok, untuk putra di lusanya. Bapak harap kalian masuk semi final dan tentunya jadi juara.”
Arkan juga Auro balas mengangguk mengiyakan, tentu hal tersebut akan butuh tenaga yang lebih ekstra lagi, mereka harus mempersiapkan persiapan yang jauh lebih matang.
Setelah pertemuan di jam istirahat tersebut usai, keduanya kembali naik ke kelas masing-masing yang sama-sama sejalur. Untuk pertama kalinya juga Arkan terlihat beriringan dengan seorang perempuan, meski kemarin ia sempat terlihat bersama Aura, namun yang melihat tak sebanyak sekarang. Anggapan ia sebagai pengidap L-Word phobia pun terbantahkan. Dia kini berinteraksi dengan lawan jenisnya sebagaimana yang tak pernah terlihat sebelumnya pada Arkan. Ia lebih kerap terlihat mengobrol hanya dengan teman-teman akrabnya saja.
“Jadi nanti kita latihan lagi, kan?” tanya Arkan sekadar membunuh keheningan di antara mereka.
“Sorry banget, Arkan, kayanya gua titip tim gua ke lu aja sore nanti, gua ada acara soalnya,”
“Acara?”
“Iya, mau ketemu syaiton laknatullah,” Auro mengerling bengis. Tak kuasa mengingat sosok Willi dengan semua yang ada padanya.
“Kok?” Arkan tertegun sebentar menarik kerutan di keningnya. Mencengangkan sekali sosok Auro bisa bersaudara dengan gadis alim seperti Aura. Lidah mereka bahkan tak memiliki kesamaan ternyata.
“Emang syaiton dia!” umpat Auro lagi kian membuat Arkan termangu. Selain keras, lisan Auro ternyata bisa ikut membatu. Heran dong, dia yang identik dengan sosok sholehah seperti Aura mampu mencap orang lain dengan gelar yang di telinga Arkan sangat jarang terdengar dari lisan gadis, seperti Auro.
“Nyesel banget gua pernah main sama dia,” terang Auro masih tetap dengan cemoohnya.
“Emang dia kenapa?”
“Gua nggak suka banget sama dia, Arkan! Kalau bisa dikutuk jadi peliharaan, gua duluan yang minta. Nyampahin dunia aja tahu nggak sih!” sambar Auro menaikkan nada emosinya.
“Terus kenapa mau ketemu kalau kamu nggak suka?”
“Huft! Dia tuh anaknya temen Abi, ngajak sekeluarga ke rumahnya, silaturrahmi! Pasti bakal ketemu dia lagi, iiiihh!!!” Jemari Auro diremas geram satu sama lain.
“Ya udah, nggak usah diajak ngobrol kalau nggak suka,”
“Itu sih kata elu! Kata keluarga dia gimana kalau jaman kecil main bareng tiba-tiba gede diem-dieman?! Nih, kalau boleh ngulang waktu, gua mending ketemu lu aja dari kecil, gedenya bisa tetep tukeran hobi. Kalau dia, gua nggak paham lagi hidup gua bakalan gimana! Tuhan, kenapa sih harus ketemu orang-orang kaya gitu?! Masih banyak orang-orang baik di luaran sana!” sambar Auro mengasal, entahlah dia sedang sadar atau memang hanya terbawa emosi, Arkan hanya balas memancarkan tawa dinginnya sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Ficção Adolescente"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...