“Ruang ini kupersembahkan untuk diriku.
Kelak jika bumi mulai membuatku menderita, menangis, bahkan membuatku muak, aku akan mengingat bahwa aku masih punya planet cadangan ... aku akan kembali dan pulih di sini.”
—Aurora, 2018.
***
SEPANJANG hari perasaan Auro benar-benar tak karuan pada saudarinya. Harusnya dia tak datang mengacaukan pertandingan tadi dan Auro pasti akan memenangkannya.
Sayang, Auro harus mengakui kekalahan dari pebasket tengil satu itu.
Hingga detik sekarang dia tengah bersandar lemas di kasurnya, belum pernah sekali pun terbesit niat menampakkan diri pada Ibun, bukan dia takut Aura mengadu, hanya saja kesalnya boleh jadi akan menyebar ke seisi penghuni rumah.
“Auro ...” sahut Ibun tiba-tiba dari balik pintu kamar. Auro tak bergeming juga mendengar panggilannya dengan berpura-pura tidur agar suara itu kelak akan segera pergi.
“Ibun mau ke acara Tante Dian di Bekasi, kamu sama Aura jaga rumah ya, Nak! Jangan lupa beres-beres, masak, dan jangan buka pintu kalau orangnya nggak dikenal. Ibun nginap semalam di sana. Besok jangan tinggalin rumah, Ibun sekalian mau jemput Abi di bandara. Ibun pergi dulu. Assalamu'alaikum,” pesan Ibun menggumam sendirian di balik pintu.
“Wa'alaikumussalam warahmatullah,” balas Auro berbisik sebagai hak atas salam Umi barusan, sedetik kemudian dia beranjak ke ujung jendela menyaksikan Ibun berangkat.
Saat itu mobil yang ditumpangi Ibun dan Zain benar-benar berlalu tak terlihat lagi. Auro jadi makin bertambah kurang kerjaan dengan menghabiskan waktunya hanya terduduk lemas di kursi. Maniknya tidak lepas bertawaf melebihi jumlah seharusnya di sekeliling atap kamar sampai dia ikut merasa kehabisan akal dengan edaran matanya hanya berputar di sana saja.
Aha.
Entah diilhami apa dia di tengah sepinya ruangan 3 X 3 kamarnya, seberkas ide nekad tiba-tiba saja terlintas di lubuk benak, ia teringat pada komitmen kecil yang pernah ia buat beberapa tahun silam.
“Kalau Ibun nggak ada, aku bakal buat tempat sembunyi supaya kalau marah, Ibun gak bisa nemuin.” Begitu katanya ketika Ibunnya mengamuk besar tempo itu.
Mungkin sekarang adalah saat yang tepat itu.
Dirinya sendiri tidak tahu mengapa hidupnya selalu lancang membuat risiko-risiko besar, termasuk ide yang hendak merealisasikan bangunan kecil yang telah lama dirancangnya dalam kepala. Auro hanya tahu satu, dia memiliki Ibun yang aneh melarangnya segala hal.
Dan sekarang, sosok itu tidak di rumah!
Bermodalkan kenekadan, Auro akhirnya memberanikan diri memecah tabungan yang telah ditampung bertahun-tahun. Dia lalu keluar mengunjungi toko membelanjakan sesuatu yang diperlukan.
Selayaknya seorang kuli handal, lembaran plafon eternit, beberapa buah papan beserta segala perkakas tambahan berhasil dibawa pulang ke rumah dan mengendapkan masuk ke dalam kamar.
Atap yang semula baik-baik saja harus dibongkar sesuai rancangan gila kepalanya, benar-benar pekerjaannya ditekuni tanpa bantuan siapa pun. Dia hanya menerima sumbangsi pinjaman berupa tangga dan segala peralatan yang diperlukan dari para tetangga barunya di sebelah.

KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teenfikce"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...