7. Cari Mati

89 10 0
                                    

Kecewa. Kamu tetap memperturutkan egomu di atas apa pun. Namun aku tak punya pilihan, aku juga sangat ingin melihatmu berbahagia.

—Your twin.

***

TERIK siang berembus gerah di seluruh angkasa bumi Garuda kian memanas pasca bel pertanda pulang berdering tiga kali. Para anggota OSIS mulai menyibukkan diri menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara pembukaan pertandingan sore nanti, mereka dengan langkah sigapnya seakan tidak mengenal kelelahan selama program mereka tetap terlaksana.

Beberapa siswa dengan seragam masing-masing mulai meramaikan lapangan luas SMA Garuda. Auro sendiri belum meninggalkan area sekolah, disebabkan harus menunggu Aura mendaftarkan diri pada eskul menjahit sekaligus perdana bagi Aura melanjutkan bakat yang dibawanya dari Bandung ke sekolah tersebut.

Auro tak menggubris apa pun yang dilihatnya, ia hanya terduduk memainkan jemarinya menunggu keluarnya seseorang dari balik tembok belakangnya yang membisingkan nyanyian roda jahitan. Rasanya Auro hendak memohon ampun menunggu kakaknya untuk segera pulang!

Tidak luput kehadiran Delly sempat melintas juga dari pupil Auro, dia berseragam pink menyala dengan rambut ekor kuda. Tak habis pikir, bisa juga dia melakukan hal tak berfaedah semacam itu, begitu sekiranya yang ada dalam kepala Auro meliriknya dengan tatapan sinis.

Setiba tim basket sekolahnya yang juga melintas hendak ke lapangan, sesigap mungkin Auro langsung memalingkan badannya bersembunyi di balik ransel punggung yang digendong, sampai dia merasa mereka mungkin telah berlalu.

Sejenak menunggu hingga yakin mereka mungkin telah jauh, Auro kembali memberanikan diri berbalik ke posisi semula, dan yang paling tak diduganya ... sosok menyeramkan itu tiba-tiba saja telah berdiri bak patung hantu menghadapnya sekarang, pandangannya datar menatap Auro tanpa ekspresi apa pun. Siapa lagi manusia yang berani menerornya seperti itu selain Arkan.

Ch! Ngapain sih lu di sini? Udah sana, ah!” Auro berdecak kesal mengusirnya.

“Boleh ngobrol sebentar?”

“Mau ngobrol apa? Kalau cuman mau bujuk mending lu balik, gua nggak perlu nolak dua kali, kan!” ketus Auro masih mendongak sebal di kursinya.

“Enggak kok. Aku nggak akan bujuk kamu lagi kali ini. Aku sadar, selama ini cara aku ngajak kamu gabung egois. Aku nggak bisa ngertiin keadaan kamu, aku cuman pengen maksimalin tim tanpa ngeliat di belakang kamu ada apa. Sorry kalau caraku kemarin agak maksa. Aku, tim, Pak Ben, semuanya udah pasrah apa pun hasilnya nanti, paling enggak acara ini berjalan sukses. Doain ya ... Auro!” Arkan melirih pelan.

Seketika itu Auro sukses dibungkam tanpa sebab, lisannya seolah tertelan cairan bius, bahkan hendak membalas pun tak paham harus dengan kalimat apa. Ia dibuat gagu di tempat memegangi selempang ranselnya. Arkan sudah bersuka rela menyatakan mundur mengalahkan egonya dan entah itu justru berhasil membekukan setiap kalimat Auro.

“Oh iya, satu lagi—” Arkan menahan kembali kalimatnya agar lawan bicaranya tak memotong dulu. Dibukanya ban kapten yang terpasang di lengan kirinya lalu menyerahkan kepada Auro.

“Ini buat kamu!” lanjut Arkan dengan ulurannya, “Jangan ngira ini ajakan lagi, ya. Enggak. Ini emang harusnya punya kamu kemarin, ini aku lagi pinjem aja. Diterima ya, Ro. Itu aja sih, aku harus ke lapangan sekarang. Duluan ya, Auro.”

Arkan memilih meninggalkan Auro dalam kesendirian sekarang di mana kepala Auro makin dituntut berpikir ulang. Segala perasaan bersalah Auro perlahan mulai memunculkan diri dalam benak, tersadar bahwa ada tanggung jawab yang telah dilepaskan sehingga setir yang kemarin harusnya tetap berjalan lurus, kini mulai membanting ke arah yang berlawanan. Dipandangnya kembali pemberian Arkan barusan dengan sangat lamat lalu mengembus napas mantapnya.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang