31. Selamat Jalan, Abi.

79 11 4
                                    

MALAM semakin larut, selepas segalanya beres diurus oleh Auro, akhirnya dia tiba di hadapan rumah. Di samping pagarnya telah terpasang sebuah kain putih yang semakin menciutkan tenaga Auro hendak melangkahkan dirinya masuk.

Auro sempoyongan di bawah detak jantung tengah malam. Pintu rumah segera dibuka oleh jemarinya langsung, dan tak ada yang lebih mengejutkan Auro selain sekujur tubuh kaku tengah terbaring di tengah ruangan tamu dengan Ibun, Zain, dan Aura meratap di sana.

Seluruh yang di genggaman Auro lepas dari kendalinya, tumitnya bergetar hebat menghampiri sosok tak bernyawa tersebut. Segala yang pernah dilewatinya bersama Abi pun mulai terbayang, dari peluk bahagianya di hari kemenangan kemarin, kala bermain di mal bersama, penantian kecil Abi ketika Auro tengah beribadah sendiri, serta bujukan lucu Abi yang memintanya mengenakan hijab, dan lain sebagainya.

Kelopaknya bahkan tak berani berkedip sama sekali, bahkan sekalipun perih mulai bercampur di dalam pupilnya, dia hanya tetap terbelalak memandangi sosok Abinya tak lagi bernafas, sampai pada langkah terakhir lutut Auro spontan tak berdaya. Auro tersungkur lemas bersama derai air matanya tak lagi bersuara.

Auro hanya hendak mendekap Abi terakhir kali sampai tiba saatnya dia berani menghangatkan sebuah pelukan pada tubuh Abi yang terbaring.

Tangis memecah di seisi ruangan, Auro pun mulai mendekatkan bisikannya pada telinga Abi tentang segala hal yang tidak sempat ia sampaikan kepada Abi semasa hidup.

"Bi, Auro minta maaf belum sempat bahagiain Abi, belum sempat ngasih apa-apa ke Abi, tapi ... Abi tenang aja, kalaupun bumi nggak bisa jadi tempat Auro bahagiain Abi, Auro akan selalu doain Abi dikasih kehidupan yang lebih baik lagi di sana. Auro minta maaf belum bisa banggain Abi, Abi yang nggak pernah marah ke Auro, Abi yang selalu dukung Auro, Abi yang ngubah Auro dengan cara Abi, dan Auro janji, Bi, apa pun yang Abi titip ke Auro akan Auro jaga kaya Abi jaga Auro juga. Auro akan jaga Ibun, Kak Zain, Kak Wirdah, Aura, dan jilbab pemberian Abi. Auro berharap Abi akan lebih tenang nggak pusing lagi mikirin tugas Abi yang nggak selesai ke Auro. Bi, kalau jadi muslimah yang bener menjadi cara untuk menuntaskan tugas Abi ke Auro, maka sekarang Auro adalah anak Abi yang paling ikhlas atas kepergian Abi. Selamat jalan, Abi, Auro akan selalu sayang sama Abi," lirih Auro mengalirderaskan hembusan tangisnya. Bisikannya pun melirih meminta segera melepaskan diri mengikhlaskan yang seharusnya pulang menemui sosok yang lebih dirindukan Abi.

Jatuh air mata Auro entah kian menderas tatkala mengingat kalimat Abi di kala Abi menjenguknya di hari dia menjalani masa libur pribadinya di dalam kamar hari itu.

"Kamu ... tugasnya sekarang, jadi anak yang bener aja. Kalau nanti Abi pergi, kamu nggak boleh lagi mukul orang, nggak boleh kasar, nggak boleh jahat, kamu harus jadi anak Abi ...yang nanti buat Abi bangga. Nanti kalau Abi udah pergi, Abi udah nggak bisa ingetin kamu lagi untuk selalu pakai jilbab, kalau bukan sekarang Abi ngajarin kamu, mau tunggu kapan lagi?"

Malam semakin sunyi menjemput kedatangan pagi yang sudah bersiap. Aurora kemudian muncul di ufuk timur di tengah gelap yang masih remang-remang. Ibadah Subuh tetap terlaksana di dalam rumah duka dengan suasana sedikit beda, ibadah harus diimami oleh Zain bukan Abi lagi. Zain bertakbir seraya memecah haru dari nada yang terdengar tegarnya, makmum mengikuti di belakang dengan perasaan yang sama.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," lirih Zain selepasnya beribadah. Lehernya memutar ke kanan dan ke kiri lalu berdzikir juga mendoakan kepergian sosok tercintanya.

Selesai melaksanakan rangkaian berdoa, Zain mulai menyibukkan diri mempersiapkan prosesi pemakaman bersama Auro sembari menunggu kedatangan Wirdah dan keluarga Bram yang juga semakin dekat.

Pelayat pun kian meramai dan tak terkecuali keempat lelaki yang pernah dititipi sebuah tugas menjaga putri terakhir Abi. Mereka menyaksikan bagaimana ketegaran Auro melepas kepergian Abinya dengan seolah tak ingin melihat Abinya terlalu lama dalam pembaringan.

Mereka tahu, di balik baja yang terlihat pada Auro sekarang, ada bambu-bambu kecil yang berusaha menopang perasaan dia dari segala arah agar tak benar-benar roboh. Luka yang dideritanya sekarang bukanlah sesuatu yang mudah untuk menguatkannya lagi, kepergian bertubi-tubi orang-orang terdekatnya tak memungkinkan dia mampu berdiri tegak seperti sekarang ini, sehingga yang mampu menguatkan dia hanyalah topangan bambu-bambu tersebut.

"Ini gimana, Kak, sekalian nungguin Kak Wirdah apa langsung dimandiin aja?" kata Auro berdiskusi sebentar bersama Zain.

"Tunggu sebentar aja, udah keluar bandara katanya," balas Zain.

"Nanti kalau udah dateng, Kak Zain semangatin Kak Wirdah. Dia pasti terpukul banget, gimanapun, Kak Wirdah gak pernah kepisah lama sama Abi,"

"Iya. Kamu juga ya, Kakak bangga banget sama kamu, bisa tetep kuat sekali pun kepergian Abi bukan kejadian yang mudah diterima, tetep semangat!" balas Zain pertama kalinya merangkul sang adik, "Tugas kita sekarang harus banyak-banyakin doa buat Abi, semoga apa yang udah Abi kasih ke kita dibales kebaikan yang lebih lagi, dosanya diampuni, diberi tempat yang baik,"

"Aamiiiin, kak Zain jangan sedih juga. Abi nggak suka cowok nangis, hihi," ucap Auro saling menyemangati.

"Enggak, dong. Kata Abi kan setiap ada kejadian harus bilang qodarullah,"

"Kalo gitu, qodarullah." Auro dengan menyertakan senyum getirnya mengucapkan kalimat ikhlas itu.

"Satu lagi nih, kamu bujukin Aura tuh biar nggak nangis lagi. Kasian aku liatnya dari semalem nggak pernah mau makan,"

"Siap, aku ke dapur bentar kalau gitu,"

"Oke," Zain mengusap puncak kepala Auro sebentar sebelum membiarkan dia pergi.

Mereka lalu bergegas menjalankan tugas masing-masing. Auro datang menemui penghuni kamar Aura sembari membawa serta nampangnya. Benar saja bahwa kakaknya tersebut tengah terbaring lemas di kasur disebabkan tak kuat dengan fisiknya.

Sedang pada Wirdah, selepas melihat Abinya pun dia jadi melemas, dia segera mendekat melancarkan derai tangisnya mendekap Abi, seketika itu juga segala memori yang dilewatinya bersama kembali terbayang, bagaimana Wirdah menjadi putri kecil Abi, tumbuh menjadi gadis, dan menemani dia bercanda di kos milik mereka.

"Bi, New York titip salam. Mereka kangen Abi ngajak mereka weekend bareng, kangen Abi ceritain budaya Indonesia, dan Wirdah nggak bisa jelasinnya kaya Abi. Wirdah nggak pernah lupa Abi nemenin Wirdah dari kecil sampai sekarang, Abi anter Wirdah ke depan pintu terus bilang have a nice day, dan sekarang Wirdah bingung harus balas apa ke Abi. Maafin Wirdah banyak salah sama Abi, terima kasih Abi, udah jadi Abi yang hebat buat Wirdah di mana pun itu. Abi akan tetap jadi Abi yang abadi dalam hidup Wirdah. Selamat jalan, Abi,"

Wirdah melepas lalu menyenderkan kepalanya pada pundak Zain. Aba-aba Zain pun segera dititahkan pada pengurus jenazah hendak memulai pelaksanakan prosesi mandi hingga pemakaman nanti.

Zain membersamai pengurus jenazah ikut menyusul memandikan, mengafani, menyolatkan hingga memakamkan disaksikan oleh beberapa pelayat dan Auro seorang yang datang bersama Zain sebagai keluarga. Aura masih lemas, serta Wirdah harus menjaga Ibun di rumah.

Dan setelah ruhnya yang pergi, kini jasad Abi pun juga tak berada di rumah lagi.

***

To be continued

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang