“Demi Tuhan aku membenci sosok teman di masa kecilku, namun ketika menemukan sosok baru ... mengapa yang kuharapkan justru ini seharusnya adalah dia.”
—Aurora, 2018
***
SETELAH menghabiskan tiga jam berlalu di dalam kamar Fina, tepat pukul tiga sore lewat beberapa menit, mata Auro alhamdulillah masih terbangun, tak ditemukan sosok menyeramkan satu pun yang datang mencekiknya. Dibereskan segera kasur tersebut seperti semula lalu keluar. Dilihatnya Arkan tengah duduk di kursi luar tepat di samping kamar yang baru saja diinapi tidur, dia nampak serius memainkan ponsel sampai akhirnya ikut tersadar juga ada sesosok makhluk di hadapannya tengah menonton apa yang dia kerjakan di kursinya barusan.
Arkan tiba-tiba menyemburkan tawa, dilihatnya perawakan Auro tiba-tiba menyalahi aturan hidupnya. Daster selutut milik bundanya digunakan Auro serta ikatan rambut ekor kudanya melonggar. Belum lagi wajah Auro yang menampakkan dia baru saja terbangun dari tidur panjangnya serta aroma seledri masih tercium.
“Kamu ngapain pakai daster?” Arkan tak berpikir panjang menanyakan ada apa dengan dia, wajahnya menunjukkan bahwa ada hal lucu yang dia saksikan.
“Lu juga ngapain di situ? Nungguin gua keluar?”
“Dih, pede banget! Tahu kamu di dalem aja enggak,” Arkan membela diri.
“Udah ah berisik banget lu, mending lu siapin gua baju habis itu kita ke lapangan!” perintah Auro seenak jidat.
“Buat?”
“Buat masak di sana! Pake nanya, ya main lah!” Auro menyarkaskan sedikit nadanya.
“Emang kamu udah sembuh?”
“Nggak bisa ya lu nggak banyak tanya, kerjain aja kek. Pokoknya gua nggak mau tahu ya, habis gua salat Asar bajunya udah ada, titik.” tegas Auro bersikukuh pergi mengakhiri pembicaraan.
Dia memasuki ruangan ibadahnya Dhuhur tadi dan melaksanakan empat rakaat di kamar Bunda. Sehabis menghadapkan diri pada pertemuannya dengan Ilahi, ia melompat cepat keluar dari kamar dan baju yang dipesannya sudah benar-benar di meja tanpa terlihat keberadaan Arkan lagi.
Dikenakan segera baju dengan lengan yang menjuntai melewati pergelangannya, juga training semata kaki. Setiba dia keluar dari kamar Fina lagi, dia sudah menemukan Arkan lebih dulu menunggu dia di kursi yang sama tadi.
“Yuk,” ajak Auro langsung dipatuhi Arkan.
Mereka berjalan kaki menuju lapangan yang biasa ditempati mereka latihan. Sepanjang perjalanan, keduanya bahkan tak banyak mengobrol. Hanya sesekali ketika merasa sesuatu perlu dibicarakan.
“Kan, temen lu kayanya tuh,” bisik Auro menunjuk sembunyi-sembunyi sosok yang tengah terganggu kesehatan akalnya. Entah lucu saja menuding Arkan yang dianggap gila bersama para pengikut-pengikutnya itu.
“Hush ah,” tegur Arkan meminta Auro tidak sembarangan bicara dulu.
“Hehe, iya ah becanda,” kata Auro yang kemudian diam patuh tak mengeluarkan satu nada lagi hingga sosok yang tengah terganggu akalnya tersebut kini berlalu melintasi mereka.
“Gua pernah loh jaman SMP pake kaos kaki lain sebelah kaya orang gila itu,” lirih Auro lagi setelah cukup jauh dari sosok tadi.
“Masa?”
“Iya. Untung roknya panjang dulu. Biasa, jaman SMP perawakan gua masih setengah alim. Temen-temen dulu belum bisa bedain gua sama Aura, karena pakaiannya sama kan, tapi kalau di sekolah aja sih, kalau udah di luar beda lagi,”
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Fiksi Remaja"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...