“Kita tidak seharusnya bertemu lagi. Sebab perjalanan terjauhku, adalah perjalanan ketika aku harus membuangmu begitu jauh dulu, lalu hari ini aku bodoh hendak menemuimu kembali.”
—Aurora, 2018
***
“IBUUUN …!”
Auro meraung tak terima bak singa yang dipasung oleh gerombolan singa lain. Sore hari menuju magrib kali ini menjadi saksi dari sikap Auro yang lancang bersikukuh, tak segan mengungkap ketidaksudiannya pasal baju yang ia kenakan. Bagaimana tidak, usianya bukan lagi usia anak kembar lima tahun yang baju saja harus sama agar dunia tahu bahwa mereka adalah kembar.
“Ibun, pokoknya aku nggak mau pergi kalau bajunya samaan kaya Aura. Norak!!!” Auro meninggikan suaranya di sofa hendak menanggalkan pakaiannya.
Tunik abu-abu oversized dengan hiasan beberapa buah kancing berbaris ke bawah, baik pada bajunya dan milik Aura membuatnya merasa jijik, belum lagi harus dipadukan dengan rok yang serupa dengan Aura. Jelas hal tersebut membuat Auro sangat tak ingin menggunakannya. Jilbab yang terpasang di kepalanya pun sudah tergeletak di kursi. Dia benar-benar tak suka dirinya diroboti oleh gaya busana Ibun atau siapa pun itu, sekalipun Ibunnya seorang mantan owner butik.
Auro terus mengamuki pakaian yang ia kenakan seakan-akan dibuat dari bahan dasar api, bahkan Ibun hampir naik pitam lagi dibuatnya, berusaha tidak keruh di saat-saat mereka seharusnya sudah di jalan.
“Auro jangan keras kepala, Nak!” kata Ibun membujuk.
“Pokoknya enggak, Bun, enggak! Ibun kalau mau pergi, pergi aja sana, nggak usah bawa aku!” ketus Auro tak ingat bahwa di hadapannya adalah ibunya.
“Ro, kok jadi bentak Ibun gitu sih?” sela Abi ikut membela Ibun.
“Aku nggak suka dipaksa-paksa, Bi!” tegas Auro yang sukses mengundang raut kesal membumbung di wajah Ibun.
“Terserah kamu, Ro. Terserah! Udah sana kamu ganti bajunya!” perintah Ibun tak kuasa lagi mengubur kesalnya, terserah busana seperti apa yang anak itu inginkan lagi, mereka akan semakin terlambat meladeni inginnya yang seolah melunjak semenjak Abinya datang.
Seketika itu Auro ikut berubah haluan tidak enak sendiri memanyun masuk ke dalam kamarnya dengan kemenangan adu cekcok di bawah lisan Auro. Bagaimana pun juga caranya salah memperlakukan Ibun dan Abinya seperti tadi.
“Gara-gara Om Bram!” Auro membatin kesal.
Dia lalu memilih busananya sendiri sesuai pilihan hatinya datang dalam acara tidak penting tersebut. Pull & Bear Wild Vibes hoodie dengan bawahan cargo pants stradivarius berpadu dengan kerudung yang selaras dengan warna kargonya menjadi pilihannya.
Ia segera keluar dari kamar menuju ke mobil dan berangkat secepat kilat. Tak sampai di situ saja, mereka harus mampir ke masjid terdekat memenuhi Adzan yang berkumandang mesra.
Masjid yang sama lalu diusulkan Ibun, masjid yang secara kebetulan sejalur ketika Ibun berangkat ke Depok dulu. Tidak lumayan besar juga tidak kecil, namun letaknya yang strategis untuk penghuni komplek terdekat hingga pengemudi yang sekadar mampir.
Ibadah berjalan khidmat diimami oleh penduduk sana, hanya saja ... serasa ada yang sedikit ganjil. Suara imam seperti tidak asing di telinga Auro. Seperti mengenalnya, namun harus segera ditepis tidak membiarkan celah pada Khanzab menyelinap di tengah ibadahnya. Pikirnya mungkin hanya mirip saja.
Selepas berdoa Auro cepat-cepat bergegas kembali ke mobil pasal harus memasang kembali jilbabnya dan masjid tersebut tidak menyediakan cermin. Sedang yang lain masih berada di dalam sana melaksanakan ba’diyah Magrib sebelum ikut keluar juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...