“Jangan hidup seperti aku ya ... cukup Ibunku yang entah habis melakukan dosa apa sampai punya anak sepertiku. Bajingan.”
—Aurora, 2018
***
AURO berjalan sempoyongan dengan kaki yang berusaha dikuatkan berjalan menuruni mobil untuk segera masuk ke halaman rumah. Arkan dan Bara lalu berpamitan pada kembaran tersebut setelah mengantarnya hingga ke depan pagar rumah Auro.
Sedetik mobil yang dikemudi Bara melejit tak terlihat lagi menyisakan Auro yang berusaha terlihat sehat seperti biasanya.
“Assalamu’alaikum,” lirih kedua putri itu memberi isyarat mereka telah pulang sekolah.
Kamar.
Satu-satu tujuan Auro kini adalah ruangan tersebut. Tidak berpikir panjang kakinya mempercepat langkah agar segera sampai. Namun saja, sosok Ibun tanpa disadari ternyata telah lama di ruangan tengah menunggu kedatangan mereka sejak tadi, tetapi mereka baru saja pulang di jam sore begini.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Ibun lamban. Aura menoleh sejenak dengan senyumnya macam tak ada hal yang disembunyikan, sedang Auro sudah acuh tak peduli lagi.
“Auro,” panggil Ibun mengundang pandangan Auro tertahan untuk menoleh juga.
“Iya, Bun?”
“Sini!” lanjut Ibun merayu. Auro sebagai anak yang berusaha baik pun menurut saja menghampirinya di tengah ruangan. Anak tangga yang belum jauh dilangkahi harus dituruni kembali, lalu menghadap sang ibu.
Tidak ada yang lebih mengejutkan untuk Auro selain tuntas menyelesaikan misinya di luaran sana tanpa tercium kecurigaan apa pun, namun sampai di hadapan Ibunnya seutas ikat pinggang tiba-tiba muncul dari balik punggung Ibun.
Siiattt!
Gemas Ibun akhirnya terpenuhi. Auro tak kuasa memejam kedua penglihatannya setiap kali mendapatkan hantaman keras dari benda tersebut. Auro berusaha menerima bagaimana dia mendapati Ibunnya semurka sekarang setelah mengetahui apa yang diperbuatnya selama ini.
“Siapa yang ngajar kamu bohong, huh?” Ibun benar-benar geram mengayun naik turun lengannya mendaratkan ikat pinggang di genggamannya menyambar setiap sisi tubuh Auro.
Luka-luka memerah itu mulai menampakkan diri di sekujur tubuh bekas melandasnya ikat pinggang tepat di tubuh Auro tersebut. Auro tetaplah manusia biasa yang meringis setiap kali tubuhnya tersakiti, namun dia tak memohon agar berhenti menyakitinya, sebab ia sadar akan kesalahan yang diperbuat. Aura mulai banjir air mata menyaksikan adiknya tercambuk sana-sini sedang ia tahu kondisi Auro tak benar-benar baik untuk dihukum sekarang. Parau isaknya bersahutan tak mampu menahan tangisnya yang pecah.
“Ibuuun ...” Aura melirih sengguk, “Auro lagi sakit, Bun ...” ucapnya bergetar nekad menengahi Ibun dengan menopang Auro segera. Dia tahu sebaja apa pun Auro di mata dunia, ia tetap punya titik lemahnya.
Tangis Aura semakin menderaskan nada tak tega sembari membopong paksa adiknya untuk segera pergi. Wirdah yang keluar dari kamar menyaksikan yang terjadi, sigap menolong adik kembarnya yang kewalahan menaiki anak tangga.
Kamar. Ruangan yang diimpikan Auro sedari tadi, akhirnya sampai dengan bantuan dari orang lain yang harus membawanya. Ditempatkanlah Auro berbaring di atas kasurnya, seluruh luka Auro diselimuti lalu keduanya membagi tugas antara menjaga Auro dan membuat kompresan.
“Kak Wirdah ... ke kamar aja. Aku nggak apa-apa,” desis Auro mengigau sok kuat meski matanya tak lagi mampu dibuka.
“Istirahat aja, Ro, Aura udah buat kompresan,”
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...