“Aku mempercayai Aura sialan ini, sama seperti aku mempercayai diriku sendiri.”
—Aurora, 2018
ʕ´•ᴥ•'ʔ
“HASH, sakit! Pelan-pelan kenapa!” pekik Auro mengeram setiap kali obat merah pada kendali Aura menyentuh luka di ujung bibirnya.
“Masih untung kamu di-skors, nggak dikeluarin sekalian!” balas Aura dengan derai air matanya yang tak berhenti sejak mengobati luka adiknya di kamar. Meski tangisnya terus mengalir, tetap saja lirih kesal di setiap nada Aura ikut terdengar.
“Kenapa sih lu marah-marah terus, yang di-skors kan gua bukan lu!”
“Kamu emang nggak kasihan sama Ibun?! Ibun sama Abi udah capek-capek sekolahin kita, kamu malah berulah terus. Kamu nggak malu digampar guru BK sampai bibirnya robek gini? Malu Ro!” tangis Aura makin pecah tak mengundang gemingan lagi dari pihak Auro. Seluruhnya dibenarkan dari kalimat Aura tersebut, tingkah Auro memang telah melampaui batas normal seorang siswa.
“Iya, iya ah, udah, gua bakal minta maaf ke Ibun nanti!”
“Dasar pembangkang!” dumel Aura menepis seluruh air matanya, sesaat tepisan air matanya tidak sengaja mengenai pelipisnya yang sakit.
“Pipi lu kok merah? Abis berantem juga ya?” tebak Auro.
“Ini kepentok bukan berantem. Emangnya kamu!” balas Aura masih menyisakan nada kesal.
“Ra, lu pinter, tapi nggak bisa bodohin gua, mana ada kepentok di muka sampai merah-merah kaya abis kena tabok gitu, ada tuh pecah atau benjol,”
“Terserah kamu deh, Ro, aku jujur atau enggak pun kamu emang nggak pernah percaya sama aku,”
“Hmmm ... bentar! Kayanya gua tahu nih, pasti sama Delly kan lu berantemnya?” lanjut Auro malah terdengar tak peduli segala pernyataan Aura barusan. Aura hanya diam membiarkan Auro berjalan di atas argumennya sendiri, dia sudah cukup lelah menghadapi tingkah aneh Auro.
“Tuh kan bener!” tambah Auro.
“Nggak usah sok tahu!”
“Makanya lu ngomong cepetan. Mumpung gua masih sehat, lu nggak tahu besok di-skorsing bersihin seluruh sekolah capeknya kaya gimana?!”
“Kenapa sih, Ro, kamu tuh suka banget nyari tahu semua masalah orang, tapi ke diri kamu sendiri enggak?! Kenapa kamu cuman suka nanyain aku kenapa, tapi nggak pernah mau ditanyain kamu juga kenapa?!” Aura tiba-tiba meledak di hadapan Auro. Hari yang panas itu akan sangat bersejarah bagi Auro sebab pertama kalinya dia dibentak oleh sosok kakaknya yang paling pendiam.
“Karena pertanyaan lu tuh nggak pernah berfaedah. Beda sama gua, kalau nanya itu pasti buat ngelindungin lu—”
“Buat nyari masalah, bukan buat lindungin aku!” tegas Aura membenarkan segera kalimat Auro.
“Eh, otak buku …!” lirih Auro sembari jemarinya menoyor-noyor kening Aura, “Jangan sok bijak depan gua kalau isi kepala lu cuman bisa mikirin buku lu doang! Lu nggak pernah di posisi gua yang selalu berusaha supaya kalian, Ibun, Abi, Kak Wirdah, Kak Zain, lu, sama buku-buku lu itu, bisa tetep aman nggak ada yang ganggu. Dan lu masih bilang gua cuman bisa nyari masalah? Lu nyadar, Ra, lu tuh lemah, lu nggak berdaya, diapain aja nggak apa-apa, kalau bukan gua yang harus lindungin kelembekan lu itu … siapa lagi?”
Spontan, Aura hening beberapa saat, sorot matanya tanpa diminta berkaca-kaca memandang sang adik sebelum dekapnya menyambar tubuh yang terduduk malas di kasur itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...