13. TABIR

73 9 1
                                    

Aku bisa bersaing dengan siapa pun, tapi tidak dengan perempuan yang disukainya. Akan kupastikan, jika dia tidak ingin menjauhkan perasaannya, perempuan itu yang harus dijauhkan sejauh mungkin darinya!”

—Dellyara Nania

***

SAMA seperti hari biasanya, Toyota Vios yang mengantar siswi kembar di hadapan garda terdepan sekolah kembali memarkir kesekian kali. Sedan berwarna gelap tersebut memang tidak begitu sering terlihat di gerbang sekolah sebelum Abi datang di negeri ini, dikarenakan yang menjadi supir tetapnya adalah Zain. Kali ini Abi tak membiarkan putri identiknya harus diantar orang lain, selama dia masih ada maka tak perlu menggunakan jasa siapa pun.

Sebelum keluar, Auro teringat satu hal. Cepat-cepat kedua selempang ransel toscanya dibereskan ke bahu sembari mengumpulkan keberanian mengangkat bicara di antara kesibukan Aura yang merapikan tentengan bukunya dan Abi yang menunggu disalami.

“Bi, Auro hari ini pulang agak telat ya. Ada kegiatan di sekolah,” kata Auro meminta izin agar dia bisa bertanding dengan aman dan tidak sedang berbohong juga. Memang bertanding masih termasuk kegiatan sekolah kan?!

Sekalipun ... terlarang.

“Abi jemput?” lirik Abi ke arah jok tengah dengan ekor matanya.

“Nggak usah, Bi,”

“Yakin?”

“Iya, yakin. Aku sama Aura biasanya juga naik Go-Car kok, nggak bakal diculik kali, Bi,”

“Ya udah, kalau gitu baik-baik di sekolah ya, belajar yang bener.”

“Iya, Bi. Auro pamit dulu, assalamualaikum.”

Auro segera mencium punggung tangan Abinya diikuti Aura di belakang keluar meninggalkan Abi masuk ke dalam area sekolah. Desir napas Auro sampai bisa terdengar alirnya menuju kelas, dia berharap segala semoganya berjalan lancar di pertandingan nanti, dia sudah mengusahakan agar tidak menipu siapa pun.

Lain halnya dengan Auro hari ini yang lega sebab izinnya diterima, sosok musuh yang selama ini kerap memperlakukan Auro tidak baik malah memurung di tempat seolah hal besar menimpa hidupnya. Weni juga Hulya merasa bingung sendiri, apa yang habis terjadi hingga merenggut keceriaan Delly yang selama ini tak pernah luruh.

Perawakannya jadi seperti terserang penyakit mematikan dan harus segera melakukan kemo berpuluh-puluh kali. Lemas tak memercayai harapan hidupnya lagi.

“Delly, kamu ada masalah apa sih?”

“Nggak,” balas Delly singkat meletakkan wajah di atas lipatan tangan. Seisi matanya kosong, hanya terisi bengkakan habis menangis sepanjang malam.

“Masa gitu sih, Del, kita kan temen lu,” Hulya ikut menyahut juga.

“Udah. Nggak usah gangguin gua. Hari ini gua nggak enak badan,” lirih Delly tak mau memberi tahu.

“Siapa tahu kita bisa bantuin, Del. Kita nggak bisa liat kamu jadi murung gini,”

“Iya, Del. Kita harusnya saling berbagi, kita bertiga kan udah kaya saudara. Duka lu, duka kita juga. Seneng lu, seneng kita juga,”

Delly mendadak ambigu, kepalanya diangkat menghadap mereka seakan ia memang benar membutuhkan tangan lebih hendak membantu menopang persoalannya. Bekas luka tak berdarah itu telah sukses merobek ruang-ruang utuhnya yang tersisa, harapannya dijatuhkan bahkan kurang dari sedetik setelah terungkap tabir mengerikan itu.

“Sakit banget, guys,” lirih Delly berubah berkaca-kaca.

“Apanya yang sakit?” Weni mempertanyakan kembali. Delly lalu meraih telapak Weni kemudian meletakkan di atas dadanya.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang