33. Surat 'Kamu'-ku

66 12 2
                                    

Selepas pulang menjenguk Delly, langkah Auro sigap menuju kamar Ibun dengan bawaan martabak telur kesukaannya. Dugaan Auro tiba-tiba saja mengatakan ‘martabak’ untuk melihat Ibun segera mengisi perut, kemungkinan akan berhasil.

Pintu kamar Ibun kemudian setengah lancang dibukanya, sedikit Auro memunculkan kepalanya perlahan mengintip ke dalam dan sudah menemui Ibun yang juga tengah melemparkan dia tatapan di hadapan lemari pakaiannya.

“Ibun lagi ngapain?” lirih Auro jadi penasaran.

“Lagi beresin isi lemari, gak ada kerjaan aja,” balas Ibun setengah sembab.

“Auro bawain martabak nih, tadi nemu deket rumah sakit. Ibun makan ya,” lanjut Auro kini memberanikan diri masuk menaruh piring di atas nakas lalu menemani Ibun duduk melipat pakaian.

“Udah dari tadi beresin lemari?”

“Iya, sisa lemari Abi yang perlu diberesin. Lemari Ibun udah selesai,” ucapnya masih sibuk membereskan.

“Oh iya, sandal yang Auro liat waktu itu ke mana, Bun? Ibun buang ya?” Auro tiba-tiba teringat keberadaan barang berharga yang bukan kepemilikian Ibun itu.

“Ada di laci nakas, sengaja Ibun pindahin biar gak kecampur,”

“Kenapa nggak sekali dipake aja, Bun, kan lumayan buat di rumah,”

“Mau dibalikin,” tutur Ibun sembari melipat pakaian Abi juga.

“Loh, emang Ibun udah tahu yang punya sendalnya sekarang di mana?”

“Kamu kan tahu,” ujarnya santai.

“Hah? Kok Auro sih yang tahu?” Auro jadi ikut mengerut tak paham.

“Sore nanti anterin Ibun ya ke rumah Arkan, sendalnya udah kelamaan di sini. Kamu juga nggak pernah cerita kalau Arkan itu anaknya Tante Rika,”

“Jadi sandal itu punya Arkan, Bun?” tanya Auro semakin terkejut lagi.

“Iya, dia yang udah nolongin Ibun waktu itu. Udah jarang anak jaman sekarang kaya Arkan, Ibun suka anak kaya dia,”

“Bentar, Bun, kalau sendalnya punya Arkan berarti yang Ibun maksud mau dijodohin sama Aura waktu itu, Arkan dong?” tebak Auro seperti menyambung-nyambungkan ingatannya mengenai segala yang berbau sandal tersebut.

Heuh … dada Auro jadi tak kuasa mempertanyakan kondisinya sekarang, mengapa jadi bertambah sesak begini sih?

“Maunya sih gitu, tapi nggak tau mereka berdua mau apa enggak. Nanti bantuin Ibun bujukin ya, kamu kan deket sama Arkan dan bundanya juga,” tutur Ibun lagi.

Auro seketika diam, bingung harus menjawab apa. Andai ada yang mampu mendeskripsikan perasaannya sekarang mungkin dialah yang paling menyedihkan. Segala luka seakan datang bertubi, kehilangan seolah tak ada hentinya berdatangan, sampai dia pun bertanya pada benak sendiri, di mana ujung usai ceritanya ini?

“Nanti Auro usahain,” balas Auro ikut menyertakan senyum getirnya. Tak diusahakan pun Auro sudah mendapat jawaban langsung dari Arkan sendiri. Dia memang menginginkan Aura, bukan?

“Oh iya, Bun, Auro sekalian mau izin ikut kursus bahasa, Auro mau kuliah di luar negeri, Bun. Sebelum Willi meninggal, dia pernah cerita soal Finlandia dan Auro tertarik, boleh nggak?”

“Seriusan mau kuliah di luar negeri? Boleh dong, Nak. Ibun malah dukung kalau kamu jadi semangat gini belajarnya,”

Lebih tepatnya tak ada pilihan lain, setelah Bandung mengusir paksa kehadiran Auro, kini serasa Indonesia lagi yang meminta dia segera menepikan diri. Raganya memang terlampau kuat menahan beban, namun lain pada jiwanya yang memintanya segera menghilang. Bagaimana mungkin dia mampu berjalan dalam keadaan sekacau ini, seolah kehadirannya selalu tak diinginkan dan tidak pernah dianggap penting.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang