3. Pertarungan dan Pertaruhan

153 16 10
                                    

Jika ada yang mesti diperhitungkan dalam setiap pilihan, maka dia pasti adalah ibun.”

—Aurora, 2018.

***

ENTAH ada apa dengan matahari pagi ini, udara yang berembus seolah memanaskan suhu tinggi di tengah lapangan yang teriknya ikut menutupi segarnya suasana pagi. Tetes keringat jadi berderai dua kali lipat membasahi badan ketika pemanasan awal olahraga tengah berlangsung.

Di antara kerumunan yang beraktivitas di lapangan, hadir juga Auro yang setia mengikat fokusnya menelusuri pinggiran lapangan hingga hitungan terakhir dari lari pemanasannya kelak selesai.

Napas yang berembus kian terengah, namun tak sedikit pun terindah agar tetap konsentrasi, tak sadar bahwa sedari Auro datang tadi terdapat gerombolan khusus yang terus mengintai dia mengelilingi lapangan bersama teman-teman sekelasnya.

Seberes putaran berakhir, Auro langsung mendaratkan bokongnya duduk meregangkan kaki di tengah hamparan lapangan. Napasnya dibenarkan, keringat diseka, menunggu guru olahraga barunya datang memulai pelajaran utama yang ditunggunya sepekan ini.

Beberapa di sampingnya tidak luput membentuk perkumpulan dadakannya juga, kedengaran bodoh mereka berbisik dengan keras membahas sosok yang sama sejak awal menapaki lapangan.

Auro cuek saja mendengar sekilas bisak-bisik tetangganya, mengikuti bahasan tidak penting mereka bukan gaya berteman Auro. Pun jika Auro ikut terlibat menyimak siapa yang tengah mereka bahas, dia tetap tak akan tahu sosok tersebut seperti apa. Maklum, siswi baru.

“Arkan ya ampun keren banget, Tuhaaan,”

“Gua harus dateng di pertandingannya nanti pokoknya!”

“Gua nggak bakal kalah! Mesti gua yang paling depan pokoknya, biar keliatan!”

“Dih, pede banget bakal dilirik Arkan. Nggak bakal mungkin woy, sadar! Lu siapa sih di sekolah ini?!”

Begitu kira-kira hal aneh yang didengarkan Auro yang salah memilih tempat mendarat tepat di samping kumpulan gadis-gadis dengan sorot mata tertuju pada pemain tim basket sekolah di seberang sana.

Makin didiamkan, obrolan mereka justru tak kira-kira semakin heboh saja, adu cekcok akan pertandingan yang berlangsung kelak menjadi bahasan yang makin memancing keringat. Sampai tidak sadar obrolan mereka mungkin sudah kedengeran hingga lantai paling atas gedung sebelah.

“Awas!!!”

Pekikan dari kejauhan tiba-tiba bergema, membuyarkan pandangan kosong Auro. Cepat dia menyingkirkan diri membiarkan bola besar yang sempat dimaini kemarin meluncur hampir menembak lagi ubun-ubun satu di antara mereka.

Bola berhasil melintas, memental jauh ke belakang tanpa satu lengan pun hendak meraih seperti hari kemarin. Sama sekali Auro tak berniat bangkit mengulang hari melelahkan itu, cukup dengan menemukan senyum jahil sosok-sosok mereka menembus pupilnya saja sudah langsung terbaca ada unsur kesengajaan tembakan barusan hendak mengisyaratkan sesuatu padanya.

Auro mendengkus tidak semangat meladeni pemandangan oknum di sana, perasaannya masih terpaut geram, tidak tertarik dengan apa pun buah dari permohonan maafnya kemarin yang seolah mencoreng nama baik sendiri. Tak perlu ketambahan unsur menyebalkan lagi seperti mereka yang entah menginginkan apa di balik keisengannya di sana.

AURORA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang