"Kesalahan terbesarku adalah menghancurkan hati Ibun dan Abi di saat mereka seharusnya bahagia di setiap pertemuannya."
-Aurora, 2018
ʕ'•ᴥ•'ʔ
Tuk... tuk... tuk...
Ketuk pintu yang berasal dari luar pintu kamar Auro tersebut mengalun lembut, Auro yang saat itu baru saja selesai berpakaian tiba-tiba berdebar, hendak diapakan lagi dia? Dia melangkah setengah berani membukanya. Ditemui ada Abi ternyata yang membawa nampang berisi roti bakar dan segelas susu di sana.
Bukankah dia seharusnya senang setelah beberapa hari berlalu akhirnya ada yang peduli? Namun raut Auro malah berbeda, bagai tak ingin menerima kedatangan Abi sekarang.
Pintu hendak ditutup kembali, tetapi cepat ditahan oleh kaki Abi. Auro melempar atensinya kembali pada objek yang menyerahkan nampangnya pada Auro. Tidak punya pilihan Auro pun menerimanya.
Tidak sampai di situ saja, Abi juga menyambar masuk ke dalam tempat persemedian Auro. Melihat sekeliling kamarnya dan sempat menemui cela lotengnya terbuka sedikit. Mata Auro terbelalak, ceroboh sekali dia. Dia tak berpikir bahwa meski seisi rumah mengucilkannya bukan berarti kejadian ini tetap tidak akan terjadi.
"Atapnya mau diganti ya?" tanya Abi kembali menoleh ke Auro.
"Em, nggak usah. Nanti Auro yang benerin,"
"Emangnya bisa?"
"B-bisa," Auro menunduk terbata-bata di kasurnya memangku tangan yang kedinginan habis mandi selepas menaruh nampang di atas nakasnya. Kebetulan tak ada meja lain di dalam ruangan tersebut selain nakas dan meja belajar yang tak pernah digunakan, Abi lalu mengambil posisi berhadapan dengan Auro kini.
"Maaf ya, Abi ganggu me time-nya anak jagoan Abi. Abi mau ngobrol sebentar, boleh?" tanya Abi meminta perizinan.
"Boleh,"
"Gini, Kak Wirdah sebentar lagi udah mau pulang, itu artinya Abi juga harus ikut pulang ..." hening sejenak menanti nada Abi yang tiba-tiba digantung dalam suasana sunyi itu.
"Sedih sih, sebentar lagi ninggalin rumah, padahal lagi di suasana tegang gini ..." kata Abi lagi.
"Mm ... Auro minta maaf ya, Bi," timpal Auro dengan nada ikut bersalahnya, "Gara-gara Auro, Abi nggak bisa ngumpul sarapan bareng lagi sebelum pulang,"
"Lah, bukan salah Auro kok, Ibun emang udah pusing sebelum ke sekolah hari itu, jadi sampai sekarang belum bisa keluar kamar siapin sarapan lagi. Menurut Abi, Auro nggak salah loh, namanya belain kakak kan! Cuman caranya aja yang salah ... besok-besok harus diselesaikan dengan jalan yang tenang ya," nasihat Abi.
"Emang Auro salah sih, harusnya Auro denger Ibun sama Abi. Harusnya Auro tetap jadi kembarannya Aura, bukan justru jadi diri sendiri! Auro selalu lupa gen yang ada di badan Auro semuanya berasal dari Aura yang berbagi. Auro nggak tahu diri dipinjemin kesempatan hidup untuk bahagiain Ibun sama Abi-"
"Hush, udah udah!" Abi melerai segera kalimat perandai-andaian Auro. Jemari putrinya digenggam hangat tidak sanggup melihatnya menangis.
"Auro denger Abi, Abi cuman bisa pesan ... Auro tugasnya jadi anak yang bener aja sekarang ya. Kalau nanti Abi pergi, kamu nggak boleh mukul orang lagi, nggak boleh kasar, nggak boleh jahat, kamu harus jadi anak Abi ... yang nanti buat Abi bangga dengan perilaku kamu. Nanti kalau Abi udah pergi, Abi udah nggak bisa juga ingatin kamu untuk selalu pakai jilbab, kalau bukan sekarang Abi ngajarin kamu, mau tunggu kapan lagi? Abi tuh cuman minta satu hal dari Auro, Abi pengen Auro jadi anak baik ke siapa pun itu, nggak peduli mau dia jahat atau baik ke kamu, kamu harus bisa balas dia lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...