“Meski aku terlalu timpang untuk jadi anak Ibun, namun dilahirkan di dalam keluarganya adalah kesyukuran terbesarku sejauh ini.”
—Aurora, 2018
***
SESUAI perjanjian hari kemarin, Aura dan Auro tidak benar-benar datang menyaksikan pertandingan Arkan. Mereka memilih di rumah menjalani hidupnya sebagai seorang anak sekarang. Auro dengan celemeknya berusaha sebisa mungkin menjadi koki sukarelawan sehari yang membantu Ibun memasak di dapur.
Lain halnya dengan Aura, dia menghabiskan waktunya menemani Wirdah membenarkan perabotan kamar Wirdah. Banyak yang perlu direnovasi setelah beberapa barangnya raib, terlebih rumah mereka masih terbilang baru dipindahi. Sedang Zain dan Abi, tak ada aktivitas menyenangkan bagi keduanya selain sharing pengetahuan tentang segala hal yang berbahasa Latin. Sampai tiba pada titik mereka sedang seru-serunya, maka tak ada harapan lagi keduanya memedulikan apa pun di sekitar mereka.
Auro mulai mengaduk sup panas yang tengah dimasak Ibun, kepalanya sembari berpikir betapa sulitnya memasak dengan lengan baloknya.
“Bun, kenapa sih perempuan harus bisa masak?” celetuk Auro asal, setelah sekian lama berdebat sendiri dengan dirinya.
“Ya iyalah, suaminya nanti mau dikasih makan apa?”
“Suami kan nyari pendamping hidup bukan nyari pembantu, Bun,” lirihnya memelas tidak setuju pernyataan Ibunnya barusan, “Kalau pengen di rumah ada yang masakin, ada yang nyuciin, beresin kamarnya, nyapu, suruh aja cari pembantu ... jangan disuruh cari istri. Repot istrinya dianggap pembantu.”
Ibun terdiam sebentar lalu mengalihkan ekor matanya ke arah Auro yang kewalahan memainkan centong sayur di dalam panci.
“Seenggaknya kalau insyaa Allah udah nikah, kamu udah bisa mengurangi beban suami kamu yang harusnya sewa pembantu, atau order makanan jadi gak perlu lagi, karena udah ada kamu!”
“Suami emang nikah bukan nyari pembantu, tapi kamu sebagai istri juga setidaknya nggak jadi beban buat suami!” lanjut Ibun.
Auro jadi mematung mendengar petuah Ibun yang menasihatinya, dia makin hening sendiri berpikir. Ada betulnya juga kata Ibun. Sudah cukup menjadi beban berat keluarga dengan menampung manusia sepertinya, jangan sampai menikah nanti bukannya meringankan malah hanya berpindah tempat menampung beban. Kasihan keluarga orang.
“Jadi kamu udah seharusnya bisa masak. Apalagi kamu udah mau kuliah, kan. Nggak mungkin kamu order makanan terus. Ibun mau dapet uang dari mana, butik yang di Bandung juga udah ada yang nawar ...” kata Ibun lagi.
“Ya udah Auro nggak usah dikuliahin, Auro juga udah capek sekolah, Bun. Auro di rumah aja, belajar masak, nyari kerjaan, Auro bisa kok semuanya. Kecuali disuruh sekolah, Auro benci di sekolah!” beber Auro meluapkan inginnya sejak lama. Dia sudah tidak mau bersekolah, aktivitas tersebut sama sekali tidak berguna teruntuk dia.
“Ro, denger Ibun! Kamu itu harus sekolah tinggi, harus punya pendidikan yang tinggi. Bukan Ibun butuh kamu punya kerjaan bagus nantinya, Ibun cuman mau kamu jadi beradab lewat pendidikan .... Kamu bisa hormat ke guru, sopan ke yang lebih tua, menghargai sesama kamu, Ibun minta itu aja!”
“Ibun pengen ngerasain sukses jadi umminya Auro, Nak, pengen liat Auro jadi orang hebat, nggak direndahin orang, Ibun nggak mau anak Ibun terus-terusan dibilang nakal, karena Ibun yakin anak-anak Ibun tuh nggak pernah punya niat buruk ke orang,” lirih Ibun memelankan nasihatnya berharap kali ini apa yang dikatakan berhasil masuk ke dalam hati Auro.
“Ibuuun ...” cicit Auro segera datang memeluk sang ibu. Tersadar begitu banyak kesalahannya kepada Ibun yang telah berjuang hanya agar ia tidak menjadi manusia tanpa etika.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...